Aku hanya mampu mengintip mu dari sebuah celah
sempit yang bernama gengsi. Mungkin karena itu kau tidak menyadari keberadaan
ku. Dan jika itu adalah sebuah kesalahan karenanya lah aku minta maaf.
“Bagaimana kabar keluarga di
sana, Om?”, tanya gadis itu pada pemilik suara di ujung line telepon, di
seberang sana.
“Alhamdulillah, baik. Kamu
sendiri bagaimana? Ayah-Ibumu? Kapan kamu ke sini lagi?” balas suara itu.
“Kami di sini juga
alhamdulillah dalam keadaan baik. Soal keinginan untuk ke situ.....” gadis itu
menimbang sejenak, “saya belum bisa. Masih ada kerjaan di sini.”
“Padahal ada yang
merindukanmu di sini....,” suara itu lagi.
Perkataan seseorang di
seberang sana itu tak pelak membuat kenangan-kenangan ketika sang gadis menjadi
bagian dari keseharian keluarga itu menjelma slide-slide yang berkelebatan di pikirannya. 7 tahun yang lalu, dia
yang diterima menjadi mahasiswi dari salah satu perguruan tinggi di kota itu,
meninggalkan rumah orang tuanya untuk kemudian tinggal dengan keluarga pamannya
demi menuntut ilmu. 5 tahun dihabiskannya dengan keluarga pamannya itu sebelum
dia memutuskan untuk kembali ke kota tempat kedua orang tua dan
saudara-saudaranya tinggal tepat setelah dia menyelesaikan kuliahnya. 5 tahun
mungkin bukanlah waktu yang lama namun juga tak bisa dikatakan singkat untuk
mengesampingkan keakaraban yang telah ditawarkan keluarga pamannya itu selama
dia menumpang di sana. Jujur, ada rasa rindu untuk kembali ke sana, ke tengah
kehangatan mereka. Hanya saja...............
“Halow......,” suara Om nya
di ujung telepon berganti suara manja bocah kecil. “Kak Emma....”
“Rifky?” tanya gadis itu
memastikan. Bocah itu pastilah Rifky, anak pamannya yang masih berusia 2,5
tahun. Dia memang sudah tak berada di sana saat Rifky lahir, tapi apa sih yang
tidak bisa dilakukan di zaman gadget
seperti sekarang? Dia sering memantau pertumbuhan adik sepupunya itu dengan
berkomunikasi lewat skype, facebook, atau sekedar menengok
foto-foto Rifky yang diposting
tantenya di instagram. Rifky pun
mengenalnya dengan cara yang sama. Hanya sebatas itu, tapi itupun sudah cukup
untuk membuat mereka merasa dekat.
“Kak Emma.... Mmmmm....”,
suara itu terdengar ragu. Dibelakangnya samar terdengar seseorang sedang
memberikan instruksi, lalu.... “Lownan.... Lownan.... Yes!”
“Low-nan?” diulangnya lagi
seruan yang terlontar tak jelas dari sepupunya itu dengan kening berkerut.
“Hahahaha.....”, suara tawa
Om nya menggantikan suara manja Rifky. Tampaknya Om nya itu telah mengambil
alih telepon. “Maksud Rifky itu.... Ronan.... Ronan.... Yes!”
“Ronan. Nama itu.... Kenapa?! Masih?! Belum berhenti juga?!
Oooohhhh.... Please come on!” pintanya
dalam hati.
“Ko’ diam?” tanya suara di
seberang.
“Ampun deh, Om. Rifky itu
masih kecil. Jangan diajari yang macam-macam dulu.” Gadis itu berusaha
mengalihkan pembicaraan. Dia sedang tidak berminat membahas soal itu.
“Hahaha.... Justru begitulah
cara saya mengajarinya mengucapkan huruf –R-, Emma.”
“Om.... tolong deh, berhenti
mengejekku seperti itu. Lagipula kasihan nanti anak orang, tersedak karena
diomongin”, pintanya. Dia sebenarnya justru berharap dialah yang dikasihani
untuk tak lagi mengungkit nama itu. Mereka tak tahu saja kalau sebenarnya pernah
ada cerita diantara mereka, yang menggantung, belum menemukan akhir atau memang
sebenarnya tak pernah ada akhir dalam kisah itu, akan tetap mengawang-awang,
selayaknya kertas-kertas penuh impian yang digantungkan pada sebatang pohon
bernama pohon pengharapan, menanti tuk dikabulkan, entah kapan, sampai akhirnya
terlupakan. Terlupakan. Mungkin sang pemilik nama itu sudah lupa akan cerita
yang pernah ditulis waktu dengan menyertakan namanya sebagai pelakon wanita
untuk mendampinginya. Tapi tidak untuk gadis itu. Dia tak sepenuhnya lupa.
Ibarat perjalanan jarum jam, yang selalu kembali pada titik angka yang telah
ditinggalkannya, gadis itu pun tak punya pilihan selain berhadapan kembali
dengan kenangan itu. Kenangan yang dulu disangkanya akan punah, tak berfosil,
setelah dia merangkai kenangan lain bersama beberapa nama yang sayangnya juga
berakhir di pohon yang sama, pohon pengharapan. Hanya saja, untuk nama-nama ini,
dia menyisipkan waktu, melepaskan ikatannya, menjatuhkannya ke tanah sampai
akhirnya disaksikannya sendiri terinjak, terkoyak oleh panas dan hujan.
Karenanya, dia tahu, dia tak perlu berharap lagi. Namun, entah mengapa, dia
lupa mencari nama seseorang itu, atau memang dia masih ingin berharap? Untuk
itukah, dia masih membiarkan namanya tergantung di sana? Entahlah.
“Kamu sudah pernah bertemu
dengannya lagi?”
Gadis itu menggigit bibir
bawahnya. Mencoba memanipulasi getir yang terasa. “Belum,” jawabnya lirih. Bibirnya
perih namun getir itu tidak juga beranjak.
“Kamu sudah dengar kabar terbaru
darinya?”
Gadis itu berharap bahwa jawabannya adalah
belum dan tidak agar dia tak perlu kembali pada kenangan itu. Kenangan yang
seharusnya masih menggantung di tempat yang sama. Tetap menggantung di sana
sampai dia lupa pernah ada satu nama yang pernah menjadi pengharapannya.
Tapi.... kenyataan memang tak selalunya mengabulkan harapan. Pemilik nama itu,
yang memang masih terhitung kerabatnya, hadir kembali dalam hidup Emma lewat kabar
yang dibawa salah satu tantenya yang berkunjung ke kediaman gadis itu. Lewat
tantenya itulah, Emma tahu sang pemilik
nama itu telah menjelma sebagai seorang pria impian, tak hanya tampan tapi juga
mapan. Tunggu.... Tampan? Yah.... tak serupawan para model memang, tapi gadis
itu masih ingat, kulitnya yang sewarna sawo matang, potongan rambutnya yang
selalu cepak demi menyamarkan kekeritingan yang mungkin saja membuatnya tak nyaman
memanjangkannya, dan senyumannya yang memikat, manis. Ah, Emma memang tak
pernah lupa pada sosoknya yang meskipun tak terlalu tinggi tetapi mampu
mengangkatnya, mengawang-awang dan berharap. Dia, yang dengan menyebut namanya
saja bisa membuat desir hangat di hati gadis itu, kini kabarnya bukan lagi
mahasiswa tapi sudah menjadi pengajar mahasiswa. Seandainya saja dulu tak ada
gengsi yang mencegahnya untuk berkata “ya” dan tak ada nama-nama lain yang
menginterupsi sehingga mereka berdua bisa berkata berbarengan “baiklah....ayo
kita jalani ini bersama!”. Seandainya.......
“Sudah dengar sih dari Tante Maya, tapi memang kami belum pernah bertemu lagi. Nantilah, Om, kalau saya ke
sana, sekalian bersilaturahmi dengan dia”. Gadis itu berbohong. Beranikah dia?
Tidak. Dia sangsi sesangsi-sangsinya.
“Oh... ya ... Bagus itu. Kami
tunggu.”
“Om... kalau begitu, saya
tutup dulu ya. Nanti kapan-kapan kita sambung lagi.” Saatnya menghindar agar
tak terjatuh dan terperosok lebih dalam.
“Baiklah. Salam sama semua
yang di sana ya. Assalamu’alaikum”.
“Iya, Om. Salam juga untuk
yang di sana. Waalaikumsalam.” Telepon ditutup. Gadis itu menarik napas
panjang. Huuuffftttt....... Kepalanya tiba-tiba pening. Dipijitnya keningnya. “Tidak.... Jangan! Aku selalu punya saran
untuk menenangkan orang-orang galau yang datang padaku. Ini jadi tidak lucu
ketika aku sendiri yang mengalaminya tapi tak mampu berbuat apa-apa,”
bisiknya dalam hati.
***** *****
Ronan Dewanto. Sebenarnya
Emma Anindyia sudah tak asing lagi mendengar nama pemuda itu. Namanya acapkali
menjadi bahan eluk-elukkan di keluarganya. Ronan yang smart, yang diterima di salah satu perguruan ternama di kawasan
Indonesia timur, UNHAS. Ronan yang lowprofile.
Ronan yang ramah. Ronan yang bla...bla...bla... Emma mengenal sosok pemuda itu dari cerita
tante, paman dan kerabat mereka lainnya. Ronan dan Emma memang masih terhitung
sebagai kerabat. Tapi keduanya belum pernah bertemu. Sebelum pertemuan pertama
mereka, Emma masih menganggap Ronan hanya sebagai salah satu kerabatnya. Tak
ada yang istimewa dengan itu. Sudah tidak heran lagi, ketika kumpul bersama ada
satu orang yang menjadi on the spot,
dan dikeluarganya Ronan inilah orangnya.
Sampai tiba hari itu. Ronan
yang kuliah di kota tempat keluarga Emma tinggal, pulang ke kotanya untuk libur
lebaran. Emma yang kuliah di kota tempat keluarga Ronan tinggal dan sedang tak
pulang kampung, berkunjung ke rumah Ronan dalam rangka silaturrahim. Di sanalah
Emma melihat Ronan untuk pertama kalinya. Jika memang cinta pada pandangan
pertama itu ada, mungkin Emma mengalaminya. Gadis itu melihat sesuatu yang
berbeda pada Ronan. Dan entah mendapat kekuatan dari mana, gadis itu menjelma
menjadi tak ubahnya detektif wanita on
duty. Dia berusaha mencari tahu segala sesuatu yang lebih spesifik berkenaan
dengan Ronan. Bukan hanya dari sepupu dan kerabat-kerabat lain yang seumuran
dengannya, gadis itu bahkan berhasil mendapatkan nomor telepon Ronan dari ayah
Ronan sendiri. Ketika anaknya adalah
sasaranmu, maka orangtuanya adalah umpan yang paling ampuh. Emma telah
terlebih dahulu dekat dengan keluarga Ronan. Namun, karena mereka berkuliah di
kota yang berbeda, umpan yang dilemparkan Emma tidak mampu menarik Ronan untuk
menjumpainya.
Berhentikah gadis itu sampai
di situ? Tidak. Gadis itu tak kehilangan ide. Dia memberanikan diri menghubungi
Ronan setelah terlebih dahulu menyiapkan skenario tentang seseorang yang
menghubungi nomor yang keliru, salah sambung. Kali ini Emma berhasil. Ronan
menanggapinya. Berkirim dan berbalas pesan berlangsung lumayan sering. Emma merasa
mempunyai kesempatan untuk berharap. Pada liburannya, Ronan berjanji untuk
menemui gadis itu. Serasa menemukan oase setelah berhari-hari berjalan di
tengah padang tandus tanpa tahu akan berujung dimanakah perjalanan itu, Emma
menantikannya mewujudkan janjinya. Setelah kepulangannya dari jadwal kuliahnya
yang padat di kota lain, Ronan kembali ke kotanya. Mendengar kepulangannya,
selama 3 hari berturut-turut, dari waktu dimana senja mengantar mentari tuk
rebah sejenak, digantikan rembulan, sampai denting jam dinding berdentang 9
kali, seperti yang dijanjikan Ronan sebagai saat dimana mereka akan bertemu,
Emma duduk dalam penantiannya yang resah, berharap sebuah ketukan di pintu dan
Ronan ada dibaliknya demi memenuhi janjinya. Namun, tak satupun dari ketiga
hari itu, tak sedetikpun dari waktu yang dijanjikannya itu yang sanggup
mengantar Ronan mengetuk pintu dimana dibaliknya lah Emma telah menunggu. Satu-satunya
yang berani dilakukan pemuda itu adalah mengirimkan berbagai alasan kebelum-hadirannya
lewat pesan-pesan singkat yang terbaca di layar ponsel Emma. Sementara itu,
bulir-bulir embun yang menggantung di kelopak mata gadis itu ketika membaca
kata “maaf” di layar ponselnya, terlalu sesak untuk tak membuncah keluar namun
juga terlalu malu untuk mengalir, menjadi penanda ada luka yang belum ingin
diakuinya, bahkan sebelum dia membaca keseluruhan pesan yang tertulis di sana.
Dia tak butuh alasan. Kata maaf saja sudah cukup untuk menandai ketidakseriusan
Ronan untuk menepati janjinya. Itulah yang terpikir olehnya. Terluka kah gadis
itu? Tidak. Emma tak boleh merasa telah dilukai karena Ronan memang belum
menjanjikan apa-apa selain kedatangannya yang bukanlah urgensi.
Sehari sebelum kepulangannya
untuk kembali ke kota tempatnya kuliah, Ronan akhirnya benar-benar datang ke
rumah Emma. Bukan untuk menepati janjinya yang lalu, lebih karena Emma punya
alasan lain yang berhasil membuatnya datang. Gadis itu, di pagi sebelum mentari
menyapa embun yang membuatnya mengering, sirna, telah mengirimkan pesan untuk Ronan. Sebuah
pesan, permintaan tolong. Emma bertanya apakah Ronan keberatan jika gadis itu
menitipkan sesuatu padanya untuk disampaikan pada adiknya. Ronan menyatakan
kesediaannya mengantar titipan itu. Dan di sanalah dia, berbincang beberapa
menit dengan Emma. Pemuda itu tak menyadari, betapa beberapa menit itu berarti
beberapa bulan bahkan tahun untuk gadis itu. Setidaknya Emma mempunyai simpanan
kenangan tentang perbincangannya dengan Ronan jika dia dan pemuda itu tak lagi
bertemu untuk waktu yang lama. Yah... Ronan selalu mempunyai alasan untuk menghindari
pertemuan dengan Emma namun Emma menolak untuk menyerah untuk membuat Ronan
datang menemuinya.
Ketika kau jatuh cinta,
kau hanya punya satu alasan mengapa kau ingin selalu berada di sisinya, ya
karena kau tak bisa jauh darinya. Dan seribu satu ketidakmungkinan yang siap
menghadangmu untuk tak menemuinya tak pernah cukup untuk menjadi alasan untuk mu
tuk mengatakan “tidak” ketika dia bertanya padamu “bisakah kau menemuiku
sekarang?” Kau selalu di sana.
***** *****
Ronan kembali ke kota
tempatnya kuliah. Emma masih menggantungkan harapan yang sama. Gadis itu masih
rajin menanyakan kabar Ronan lewat pesan-pesan singkat. Berkirim dan berbalas
pesan dengan Ronan sudah menjadi ritual bagi gadis itu. Namun, beberapa bulan
kemudian, nomor Ronan tak dapat lagi dihubungi. Penjelasan yang sampai pada
Emma adalah, Ronan ternyata telah mengganti nomor ponselnya. Setidakpenting itu
kah dia di mata Ronan sampai pemuda itu pergi tanpa terlebih dahulu pamit
padanya? Dia mulai kehilangan harapan. Harapan yang dulunya terpampang 30 cm jaraknya
di depan matanya, kini mulai mengabur, nge-blurr.
Emma tak lagi yakin apakah dia masih punya kesempatan untuk mewujudkan
harapannya itu.
Serasa bermandi ratusan
kelopak mawar merah di depan Menara Eiffel, itulah yang dirasakannya ketika di
suatu hari di tahun 2006, kurang lebih setahun setelah Emma kehilangan kontak
dengan Ronan, dia mendapat nomor telepon Ronan yang baru dari seorang kerabat.
Gadis itu, melalui pesan-pesan singkat yang dikirimkannya untuk Ronan, dia
berusaha sekali lagi menuliskan harapannya. Sayangnya, respon yang
didapatkannya dari Ronan tak sehangat yang diharapkannya. Kecewa. Emma pun
menyerah. Gadis itu tak lagi berani berharap pada Ronan.
Akhirnya, dia menerima
perjodohan yang diatur oleh temannya. Dengan hati yang masih separuhnya untuk
Ronan, dia menerima seseorang bernama Arya sebagai kekasihnya. Emma tak
bermaksud menjadikan Arya sebagai pelarian, toh sebelum Arya memintanya
benar-benar menjadi kekasihnya seperti yang disarankan teman Emma, gadis itu
telah menceritakan perihal Ronan padanya. Namun Arya sepertinya tak ambil
pusing dengan hati Emma yang masih tertambat pada seorang Ronan. Pemuda itu tak
keberatan. Mereka pun menjalani hubungan selama 1 tahun sampai akhirnya Emma mengetahui bahwa ternyata Arya bermain dibelakangnya. Arya yang
ketahuan selingkuh mencari pembenaran akan keputusannya menduakan Emma. Dia
beralasan bahwa gadis itu ternyata benar-benar belum bisa menjauhkan dirinya
dari kenangan Ronan. Kalau Emma bisa membagi hatinya, maka gadis itu tidak
berhak marah ketika Arya pun memutuskan memiliki kekasih lain. Emma tetap saja
merasa dikhianati sampai pada puncaknya gadis itu meminta Arya memutuskannya.
Emma benar-benar terluka.
Setelah rasa yang ditawarkannya pada Ronan tak bersambut, dia kembali harus
merasakan perih diduakan Arya. Dia merasa harus membalas dendam. Entah pada
siapa. Yang pasti dia merasa harus melakukan sesuatu demi meringankan beban di
hatinya. Untuk itu, Emma kembali mengiyakan ketika sahabatnya sendiri, Kak
Randy, memintanya tuk menjadi kekasihnya. Di saat yang sama ketika dia
menjalani hubungan itu dengan Kak Randy, dia pun membuka hati pada seseorang di
belahan lain dunia lewat chatting di
YM. Seseorang itu bernama Pierre, pemuda dari Perancis. Sosok Pierre inilah yang memperkenalkannya
dengan Perancis sampai akhirnya Emma tergila-gila dan terobsesi pada segala
sesuatu yang berbau Paris. Sementara itu, hubungannya dengan Kak Randy hanya mampu bertahan kurang dari 1 tahun.
Terlalu banyak ketidakcocokan yang ditemukan Emma pada sosok yang sebenarnya
adalah sahabatnya itu. Mereka mungkin memang ditakdirkan hanya sebagai sahabat,
bukan yang lain. Akhirnya mereka pun sepakat untuk tak lagi menambahkan kata
kekasih sebagai embel-embel penjelas pada
nama mereka. Mereka kembali menjadi sahabat.
***** *****
Rasanya yang tak bersambut,
kisah pengkhianatan Arya dan keinginannya untuk membalas dendam ternyata
berdampak buruk bagi kuliahnya. Emma tak dapat berkonsentrasi pada
pelajaran-pelajaran di kampusnya. Nilainya anjlok. Gadis itu benar-benar butuh
rehat. Akhirnya pada pertengahan 2009 dia mengajukan cuti pada kampus tempatnya
kuliah. Emma memutuskan untuk kembali ke kotanya.
Di tengah usahanya menata
hati, Ronan kembali muncul. Kedatangannya yang tiba-tiba, meminta sebuah
kesempatan untuk mencoba membuat Emma bimbang. Gadis itu ragu takut kalau-kalau
hatinya akan berakhir sama, terluka. Namun, Emma juga tak dapat memungkiri
bahwa rasa itu masih ada. Diapun menyetujui untuk memberikan kesempatan kedua
untuk Ronan. Dan sekali lagi, Ronan berjanji akan menemuinya di rumah. Emma
mendapat suntikkan semangat yang sama besarnya seperti ketika pertama kali
Ronan berjanji menemuinya. Gadis itu seperti tak kenal lelah, dia menyapu,
mengepel lantai, melap kaca jendela dan apa saja yang berpotensi ternoda debu,
menyiapkan cemilan, membantu ibunya menyiapkan makanan, dan berdandan sejak
pagi. Sebenarnya Emma tidaklah serajin itu. Semuanya dia lakukan semata-mata
hanya untuk menyambut Ronan. Namun, sekali lagi, Ronan menyia-nyiakan
kesempatan yang diberikannya. Gadis itu harus kembali menelan kecewa ketika
sampai pada jam 8 malam, waktu maksimal untuk berkunjung, Ronan tak juga
muncul. Pada akhirnya yang datang hanyalah another
reason yang disampaikannya lewat telepon. Emma terluka sekali lagi, namun
yang ini terasa lebih perih dari yang sebelumnya. Dia memutuskan meluapkan
kekesalannya via YM, mengobrol
sepanjang malam dengan Pierre, pemuda dari Perancis yang belum pernah
ditemuinya. Namun kesal itu masih ada.
Ronan tak pernah datang sekalipun setelah kejadian itu. Perasaan tak dianggap
itu terasa jelas sudah. Emma benar-benar menyerah sekarang. Hanya saja dia menolak
tuk menghabiskan harinya dengan meratapi kemalangannya. Dia memutuskan untuk
kembali melanjutkan hidupnya, melanjutkan kuliahnya.
Sekembalinya ke kampus, Emma
yang tinggi semampai, dengan rambut hitam sebahu yang berkilau ketika ditimpa
cahaya mentari, serta mata yang melankolis dengan tatapan mengintimidasi,
sebuah perpaduan yang menarik, tentu saja tak butuh berapa lama untuk membuat
seseorang bernama Saka ingin mengenalnya lebih jauh. Gadis itupun tak keberatan
untuk kembali membuka hati. Luka hatinya mungkin belumlah mengering, tapi itu
bukan alasan yang bisa dijadikannya sebuah pembenaran untuk menutup hati. Emma
mengizinkan Saka untuk membuktikan seberapa ingin pemuda itu menjadi
kekasihnya. Dan usaha Saka tak sia-sia. Emma menghargai usahanya dan
menerimanya sebagai kekasihnya.
***** *****
Di tengah hubungannya dengan
Saka, Emma mendapat kabar bahwa Ronan datang mencarinya ke rumahnya. Ronan
mengira gadis itu masih berada di kota yang sama dengannya. Emma tak bisa
menebak apa yang diinginkan pemuda itu lagi darinya setelah berkali-kali kecewa
yang diberikannya. Ronan terlalu tidak jelas. Dia tak ingin lagi berharap pada
satu-satunya yang bisa ditawarkan olehnya, ketidakjelasan.
Namun ketika bulan puasa
tiba, di tahun 2010, Ronan yang sedang berlibur, pulang ke kotanya, kembali
menghubungi Emma. Ronan meminta waktu Emma untuk bertemu. Emma yang masih
terluka atas semua ketidakjelasan yang ditawarkan Ronan entah mengapa
menyanggupinya. Masihkah pengharapan Emma untuk Ronan?
Malam itu, tak seperti
sebelumnya, Ronan memenuhi janjinya, dia benar-benar datang. Diajaknya Emma
menikmati malam yang dihiasi lampu-lampu Tumbilotohe. Sesampainya di pinggir
Danau Limboto, Ronan meminta Emma duduk di sampingnya di antara perahu-perahu
tua. Ada jeda yang lama yang melingkupi mereka. Tanpa kata. Mereka hanya saling
berdiam diri, bergantian mengamati satu-satu perahu yang tertambat di sana.
“I went to your house couple
of months ago,” Ronan akhirnya membuka obrolan setelah 10 menit kebekuan yang tercipta. Matanya masih menatap
perahu-perahu tua itu.
“Hhhmmm... Ya...” Hanya itu
yang sanggup terucap dari bibir Emma. Tangannya saling meremas, resah.
“I thought your still there.
That day..... I wanted to tell you something....” Tatapan Ronan beralih pada jemari Emma yang
masih saling meremas.
“Yah... I came back here to
continue my study...” jelas Emma masih dengan keresahan yang sama.
Ronan memperbaiki posisi
duduknya. Diraihnya tangan Emma, digenggamnya. Gadis itu tak berontak.
Dibiarkannya kedua tanggannya berada dalam genggaman Ronan. Ditatapnya gadis
itu. Sementara pandangan gadis itu sendiri tak sejengkalpun berpindah dari perahu-perahu
tua dan riak-riak kecil di danau. Sebenarnya gadis itu tak berani menatap
pemuda di hadapannya ini. Dia sibuk menata debaran jantungnya, dia sendiri
mampu mendengarnya. Apakah Ronan juga bisa? Bukankah itu memalukan?
“I was little bit upset when
I couldn’t find you there.”
“Why?”
“Because I can’t wait. I
really need to ask you.......”
Deggg..... Degggg..... Deggggg...............
“Would you please...........”
Ronan berhenti sejenak “be my girlfriend?”.
Emma serasa beku. Serasa
dihujani beratus-ratus ice cube,
tubuhnya kaku.
“My family likes you.
And...... I’m sure your family will give me their blesses too. So......... As
our family wish. I would like you to be my future wife. What do you think?”
Slide-slide yang memutar kenangan ketika
Ronan pertama kalinya berjanji padanya, membuatnya menunggu lalu
mengingkarinya, saat dimana dia mengetahui perselingkuhan Arya dengan
menggunakan Ronan sebagai pembenaran, lalu sewaktu Ronan datang kembali hanya
untuk membuatnya kecewa untuk kedua kalinya. Ronan... Ronan... Ronan...
Bukankah semua yang terjadi padanya hanya karena dia terlalu berharap pada
pemuda ini? Sejak 2005 sampai sekarang, 2010. 5 tahun. Pemuda ini perlu waktu 5
tahun untuk memintanya seperti ini? Hanya untuk seorang Ronan, tanpa dia
inginkan, dia harus merasakan tidak jelasnya tergantung. Lalu jawaban seperti
apa yang harus diberikannya pada Ronan? Perih dari lukanya kembali terasa.
Slide terakhir yang muncul adalah kebersamaannya dengan Saka. Yah... Dia sudah
bersama Saka sekarang. Pemuda ini sudah terlambat.
“Sorry....,” Emma menarik
tangannya, melepaskannya dari genggaman Ronan. “I can not!” lanjutnya sambil
berdiri. Gadis itu membelakangi Ronan. “Please....take me home. I wanna go home
now!”
Ronan menarik napas pelan dan
berat sebelum akhirnya berdiri, mensejajari Emma, berdiri tepat di sampingnya.
“Ok... I’ll take you home. Come on!”
Tak ada kata. Lampu-lampu di
sepanjang jalan mengawal perjalanan yang berlalu dalam kebisuan itu. Lalu
setelah 20 menit berjalan, tibalah mereka pada sebuah jalan berbatu. Sunyi.
Hanya diterangi remang dari lampu-lampu jalan. Ronan mengajak Emma istirahat
sebentar sebelum melanjutkan perjalanan ke rumah gadis itu yang masih
menyisakan waktu sekitar 15 menit lagi untuk sampai. Ronan mengajaknya duduk di
batu.
“Will you fasting tomorrow?,”
tanya Ronan memulai percakapan.
“No... I won’t. I get my
pregnant....”, jawabnya tanpa menyadari ucapannya.
“Sorry.... Pregnant?” Ronan
mencoba memastikan bahwa dia tidak salah dengar.
“What? Pregnant? Did I say
that word?” Emma menyadari kekeliruannya. Pipinya menyemburat merah. Dia
benar-benar grogi dihadapkan pada situasi seperti ini. Kegugupannya tak berdaya
menyortir kata yang seharusnya terlontar dari mulutnya. Malu. Berharap gelapnya
malam akan menelannya, membuatnya tak kasat mata. Hhhuuuffftttt... Andai
saja.....
“I heard that word too...”
Ronan tersenyum.
“What I meant to say was – I
got my period-” jawab Emma sembari berharap itu akan mengurangi rasa malunya.
Tak berhasil. Dia terlanjur menunjukkan betapa groginya dia.
“It’s Ok. I know. Don’t
worry.”
“Hhhmmm.....”
“Emma....,” Ronan menatap
gadis di sampingnya yang masih mencoba memanipulasi kegugupannya lewat
jari-jemarinya yang masih saling meremas.
“Ya....”
“Is there any
possibility....that you will change your mind, and be my girlfriend?”
“Don’t you remember? We are
cousins.”
“No. We are not. We are just
relatives,” sanggah Ronan. Dia masih berusaha meyakinkan Emma. “Don’t you know
that our big family want us to be together?”
Emma terdiam. Jari-jemarinya
basah kini. Keraguannya atas kesungguhan Ronan semakin nyata. “Jadi, mungkinkah semua yang kau katakan
sekarang hanya karena dorongan keluarga? Bukan karena kau benar-benar
menginginkannya? Begitukah?” bisik batinnya. Gadis itu semakin terluka. Pemuda
yang dinantikannya selama bertahun-tahun datang padanya bukan karena gadis itu
benar-benar berarti untuknya tapi karena keluarganya mengharapkannya bersama
gadis itu. Bisakah dia menerima itu? “Tapi
kalaupun dia memintanya dengan hati, akankah aku tega menduakan Saka? Ada Saka
sekarang. Aku tahu sakitnya diduakan. Aku tak kan melakukannya. Aku tidak bisa.”
“Emma.... I need your answer.”
“It’s still the same...
sorry,” jawab Emma lirih.
Dan.... Sisa malam itu pun
kembali diliputi kebisuan. Ronan mengantar Emma pulang. Di sepanjang jalan itu
tak ada kata. Selayaknya bibir mereka kaku, dikunci udara malam yang dingin.
Setelah
penolakan Emma, Ronan tak lagi menanggapi SMS dan telepon dari Emma. Sepertinya
pemuda itu tak terima atas keputusan Emma. Ronan pun menghilang.... Lagi....
Emma mungkin sudah mulai terbiasa. Ronan.... datang.... lalu pergi.. kemudian
datang lagi... namun setelahnya menghilang kembali.
Setelah benar-benar kehilangan kontak dengan Ronan, Emma berjanji
untuk tak lagi memikirkan pemuda itu. Dia toh sudah memiliki Saka. Dia mencoba
menjadi kekasih sepenuhnya bagi Saka. Dukungan dan motivasi setulusnya dia berikan
agar Saka yang tadinya menghabiskan hampir seluruh waktunya di kampus hanya
untuk kegiatan aktivis kampus, juga dapat mengimbanginya dengan kegiatan akademik
perkuliahan. Emma berhasil. Saka memang masih aktif sebagai aktivis kampus,
namun nilai-nilai mata kuliahnya pun bagus. Emma mencoba menikmati
kebersamaannya dengan Saka. Gadis itu sedang dalam perjalanan menjemput
kebahagiannya, bukan dengan Ronan, mungkin dengan Saka. Sayangnya.... Mungkin
Saka juga bukan jalan untuknya meraih bahagia. Hanya dengan alasan bahwa Saka
tak lagi menemukan kecocokan dengannya, Saka memutuskannya. Dalam
ketakmengertiannya akan alasan Saka, belakangan diketahuinya bahwa sebenarnya
Saka sudah memiliki orang lain di sampingnya. Emma terluka untuk kesekian
kalinya. Setelah dia membuang kesempatan untuk orang yang dinanti-nantikannya
selama 5 tahun untuk seorang Saka, justru pengkhianatan yang dia dapatkan. Dia
tidak bisa menerima itu. Gadis itu kembali teringat pada Ronan. Dia menyesal
telah menolak pinangan pemuda itu. Jika saja waktu dapat diputar kembali, Emma
ingin kembali ke waktu di mana Ronan memintanya menjadi pasangannya. Masihkah
ada kesempatan untuknya jika dia memberanikan untuk balik meminta Ronan?
Masihkah Ronan menunggu kemungkinan itu, kemungkinan untuknya merubah
keputusannya? Terlambatkah dia jika dia memintanya sekarang?
“What if” stands between “hope” and “regret”.
***** *****
Hello...
Is it
me you’re looking for?
‘Cause
I wonder where you are
And I
wonder what you do
Are
you somewhere feeling lonely?
Or is
someone loving you?
Tell
me how to win your heart
For I
haven’t got a clue
But
let me start by saying
I
LOVE YOU
Setelah perdebatan panjang
dengan hati dan pikirannya, Emma memutuskan akan mencoba. Untuk mendapatkan
jawaban dia harus mengajukan pertanyaan. Dia berhak tahu apakah dia masih
memiiki kesempatan itu, karena ternyata nama Ronan masih menggantung di pohon
pengharapan, dan Emma masih menunggu hari dimana harapannya kan dikabulkan.
Namun, jikalaupun memang dia tak lagi diperbolehkan untuk berharap, dia ingin
mengetahui itu secepatnya.
Diketiknya penggalan lirik
lagu lawas milik Lionel Ritchie, Hello,
lalu dicarinya nama Ronan di daftar kontaknya. Ditariknya nafas berat dan
panjang sebelum dia menekan tombol kirim. Hhhhhhhh..... Sekarang atau tidak
sama sekali. Kirim.
Dengan debar jantung yang
berpacu, seakan baru saja mengikuti lomba lari marathon 10 kilometer, Emma
menatap layar ponselnya, menanti balasan dari Ronan. Selang beberapa menit
kemudian.... Ddddrrrrtttt..... Ponselnya bergetar. 1 pesan diterima. Dibukanya dengan
pelan pesan itu. Dari Ronan. Disiapkannya hatinya untuk kemungkinan terburuk
sebelum dia benar-benar membaca isi pesan itu.
“I’m sorry. I have a
girlfriend already.”
Duuuggggghhhhhh........
Seakan dinding di
sekelilingnya runtuh dan menimpanya. Untuk sepersekian detik dia merasa sulit
untuk bernafas. Dia memang sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk
namun dia tidak tahu kalau rasanya akan tetap sama. Sakit. Sesak. Tapi
bagaimanapun, Emma bersyukur, dia sudah lega. Dia sudah menemukan jawaban dari
pertanyaannya. Meskipun jawaban itu bukanlah jawaban yang diharapkannya, dia
harus menerimanya. Diketiknya beberapa kata. Kirim.
“Ok... I’m glad for you
then...”
Ronan mungkin memang tidak
berjodoh dengannya. Saatnya dia berhenti mengharapkan pemuda itu. Namun....
***** *****
Memaafkan bukan hanya sekedar kata “ya”, anggukan
kepala atau uluran tangan yang menjabat erat yang kau berikan pada seseorang
yang memintanya. Memaafkan berarti tersenyum untuk setiap kenangan pahit yang
tercipta karenanya. Jika tak mampu melupakan, maka berdamailah dengan
kenangannya.
“Kak Emma, kenapa belum
siap-siap? Bukannya check in-nya jam 10 pagi ini ya? Ini sudah jam 8 loh.”
Emma mengalihkan pandangannya
dari awan putih yang berarak di luar sana. Dari jendelanya yang terkuak, awan
putih itu tampak seperti cotton candy.
Dia melirik jam dindingnya. Pukul 8 tepat.
“Thanks, Dea. Ini kan tinggal
manggil taksi juga.”
Beberapa menit kemudian, dia
sudah siap berangkat. Taksinya pun sudah berada di depan pagar rumahnya.
Setelah berpamitan pada kedua orang tua dan adik-adiknya, Emma meminta sang
supir taksi membawanya ke bandara.
Seingatnya, cinta yang tak
sampai berjodoh akan selalu berakhir dengan kebencian. Itu dulu. Tidak untuk
Ronan. Bagi Emma, Ronan adalah rasa sayang yang sedang dalam perjalanannya
menemukan rumah. 2014. Emma ternyata masih sama. Nama Ronan masih tergantung di
pohon pengharapan itu. Dia belum melepaskan ikatannya. Dia berharap kalaupun
Emma bukan rumah yang dicari Ronan, dia rela menjadi salah satu persinggahan
untuknya kapanpun pemuda itu merasa lelah dan perlu beristirahat. Kapanpun
Ronan menoleh ke arahnya, akan selalu ada maaf untuknya. Apakah ini yang
dinamakan cinta sejati? Ataukah inilah salah satu kebodohannya yang nyata?
Entahlah. Namun yang pasti, meskipun sekarang dia tak ubahnya kemarau yang merindukan
hujan, gadis itu tetap menatap satu kertas bertuliskan nama Ronan di sana,
masih tergantung di pohon pengharapan.
“Kepada para
penumpang...............”
Panggilan di ruang
keberangkatan membuyarkan lamunannya. Gerbang pun telah dibuka. Maka di sinilah
dia, dengan langkah pasti, Emma bertolak ke suatu tempat bukan untuk melupakan
Ronan, hanya mencoba mencari cara berdamai dengan kenangannya. Dan Paris adalah
pilihan pertamanya.
"Untuk mu, aku percaya, jika cinta memang ditakdirkan ada di antara kita, maka cinta itulah yang akan menuntun kita, mencari jalan, menyatukan kita. Di saat itulah aku akan kembali ."