Duniaku
adalah dimana lembaran-lembaran novel bertransformasi menjadi sebuah lokomotif
yang membawaku pada sebuah petualangan. Duniaku adalah dimana cokelat dan es
krim menjelma menjadi dopping pembangkit semangat. Duniaku adalah dimana
denting jam terlalu lemah untuk terdengar sehingga tak perlu peduli pada waktu. Duniaku adalah dimana gelap dan
keheningan menjadi teman yang paling menyenangkan justru ketika aku ingin
sendiri. Duniaku adalah dimana aku setiap harinya menghabiskan separuh waktuku,
tempat yang kan selalu menerimaku tanpa syarat apapun, tempat untuk ku pulang.
Tanpa ragu kan ku titipkan peluh dan keluh ku di pintu depannya, dijaga oleh
sebaris kata “Jangan diganggu, sedang istirahat!”. Dan di dalamnya aku akan
kembali menjadi aku; tersenyum pada bait-bait lagu yang mengalun bahkan
terkadang berjingkrak seolah setuju akan setiap melodi yang terdengar; terkikik
dan tersedu, kadang bergantian namun tak jarang pula bersamaan, karena
tulisan-tulisan penuh imajinasi yang terbaca dari lembaran-lembaran inspirasi
yang mampu membuatku betah tanpa peduli pada waktu; berterimakasih pada rasa
pahit cokelat yang menawarkan sensasi rasa manis di akhir sebagai hadiah bagi
yang bersabar dan menikmati prosesnya meleleh. Dunia ku adalah dunia dimana ada
aku, bait-bait lagu dan melodi, lembaran-lembaran novel serta batangan-batangan
cokelat. Ku pikir tak ada yang salah dengan itu.
Siapapun
bebas menentukan dengan cara apa dan bagaimana dia menciptakan kenyamanan dan
kebahagiaannya sendiri. Karena bahagia itu relatif, maka beginilah bahagia
menurut versi ku. Aku lebih betah menyimak orang-orang disekelilingku bertukar
cerita. Wujudku memang menjadi bagian dari mereka, namun tidak untuk cerita-ceritaku
karena mereka adalah konsumsi terbatas. Satu-satunya keahlian ku adalah
tersenyum sebagai sebuah penghargaan untuk mereka yang telah berbagi.
Selebihnya, aku akan sibuk menebak-menebak apa yang ada dipikiran mereka
melalui ekspresi yang hadir secara spontan bersamaan dengan kalimat-kalimat
panjang yang terlontar dari mulut mereka yang selalu menimbulkan tanya untuk ku
“bagaimana mungkin mereka bisa merangkai kata dan mengeluarkannya selancar itu
sementara aku akan tersendat bahkan pada
kata ya atau tidak, lalu harus puas diakhiri dengan gelengan, anggukan,
deheman, atau gumaman?!”. Adalah sebuah pencapaian tersendiri bagi ku ketika
aku mampu mengutarakan apa yang ku pikirkan secara lisan walaupun hanya dalam
sebuah kalimat pendek dan sederhana. Dan ketika aku sudah merasa lelah lebih ke
bosan, aku pun pamit undur diri. Hilang. Sekali lagi, ku pikir tak ada yang
salah dengan itu.
Lalu
tibalah pada suatu saat dimana aku harus meninggalkan beberapa bagian dari
duniaku. Untuk beberapa lama, tak kan ada pintu tuk kutitipi peluh dan keluhku.
Mungkin pula tak ada lagu dan melodi, tak juga ada lembaran-lembaran novel. Ada
resah memang, namun aku mencoba tuk tetap tenang, “ini hanya sementara,” bisik
ku pada otak ku sendiri yang sedang sibuk menghalau pikiran-pikiran negatif
yang melemahkan ketenanganku yang juga masih ragu. “Lalu kau akan kembali
pulang pada pintu itu dimana dipintunya kau kan kembali menitipkan peluh dan
keluh, dimana di dalamnya akan ada lagu dan melodi serta lembaran-lembaran
imajinasi penuh inspirasi”. Semoga....
Aku
dihadapkan pada sebuah keadaan dimana aku harus berkenalan dengan orang baru,
tempat baru dan rutinitas baru. Dan kalau boleh jujur, aku tak begitu
menyukainya. Sesuatu yang baru selalu membuatku cemas. Namun sebuah proses tak
bisa melompat bukan?! Aku menguatkan hati untuk menghadapinya dengan sebuah
pemikiran, “Anggap saja aku sedang menikmati beberapa gigitan dark chocolate
dengan sensasi rasa pahit pada gigitan awal namun menjanjikan kelembutan dan
rasa manis di akhir, dan inilah prosesnya”. Maka di sanalah aku, di sebuah
tempat baru bersama orang-orang baru dengan rutinitas baru.
Saat ini
aku tak sedang membagi kisah romantis. Ini hanya sebuah penggalan cerita
tentang aku dan sedikit juga tentang
dia dan beberapa orang lagi yang ku
jadikan satu sebagai mereka. Aku yang adalah orang tanpa keahlian
berbasa-basi dan berbaur yang lebih senang memamerkan senyum. Dia adalah orang dengan penampilan cuek
lebih ke preman karena rambut gondrongnya terkesan urakan. Aku dan dia memiliki
satu persamaan, kami jarang berkata-kata. Dan aku boleh dikatakan mensyukuri keberadaannya karena itu berarti aku tak sendiri. Bisa ku bayangkan, betapa pun orang-orang bijak
berkata menjadi berbeda adalah anugerah karena itulah yang bisa membuat
seseorang mendapatkan perhatian lebih, tapi aku akan tetap mengatakan menjadi berbeda tak begitu menyenangkan. Aku, tentu saja berbeda dari mereka karena mereka adalah orang-orang dengan kemampuan sosialisasi tingkat
lumayan dan pandai bergaul. Kami, yaitu aku,
dia dan mereka ditakdirkan tinggal dalam satu rumah.
Awalnya
hari-hariku tak sesulit yang ku pikirkan. Aku
mengerjakan yang bisa ku kerjakan, lalu beberapa menit meluangkan waktu untuk menjadi
bagian dari mereka walaupun hanya
dalam bentuk perwujudan karena sebenarnya aku
tak lebih dari sekedar perekam yang juga takkan diputarkan hasilnya, sesekali
berdiri di teras hanya untuk memamerkan senyum sebagai tanda “bukan hanya ada mereka dan dia tapi juga ada aku”
pada orang-orang yang melintas.
Dia lebih beruntung. Dia masih mungkin menciptakan sebuah
eksistensi, keberadaannya. Kerja bakti memperbaiki jalan, bermain bulutangkis
dan bermain bola tak perlu banyak kata. Cukup ada di sana, bermandi peluh, dia dikenal. Sementara aku.... Bersosialisasi berarti duduk
berkumpul di satu titik bersama beberapa ibu dan hasil akhirnya adalah “berita
terbaru tentang ini dan itu, si anu dan si itu”. Tak ada yang bisa ku lakukan
selain tersenyum. Merasa tak begitu penting mencampuri urusan para tokoh yang
terlibat dalam cerita yang dibicarakan, dan belum tentu kebenarannya, dan
mungkin saja mereka keberatan menjadi tajuk, membuatku sering kehilangan minat.
Rindu pada tulisan-tulisan imajinatif yang bisa membawaku berkelana membuatku
serasa menemukan harta karun ketika salah satu dari mereka ternyata membawa beberapa judul yang sepertinya menarik.
Setelah mengantongi izin dari yang empunya, aku akhirnya lebih memilih menikmati waktu di dalam kamar terbawa
alur oleh cerita imajinasi daripada mendengarkan suara-suara lain yang
membuatku berprasangka pada orang yang bahkan tak ku kenal. Lagi-lagi aku pikir tak ada yang salah, maka aku terus seperti itu.
Pada
suatu hari... Aku sedang menekuni
beberapa lembaran terakhir dari novel yang dipinjamkan salah satu dari mereka itu. Aku bersandar di dinding kamar menghadap tepat di depan pintu
dengan novel di pangkuan. Terusik oleh aktivitas di depan kamar yang pintunya
terbuka lebar, aku mengangkat
pandangan dari tulisan di atas kertas. Mataku menangkap sosok dia dengan pakaian kebesarannya, kaos
oblong hitam dan celana jeans warna krem dengan beberapa sobekan di lutut,
tangan kanannya memegang sapu. Dia berdiri
tepat di depan pintu dan juga sedang menatapku dengan senyum tipis. Dahiku
berkerut dan dia berhasil menangkapnya sebagai pertanyaan “ada apa?”. Aku rasa kemampuan inilah yang menjadi
nilai tambah bagi orang-orang seperti kami; kami mungkin tak pandai merangkai
kata, namun kami cukup ahli menafsirkan ekspresi. Dia menggeleng sebagai jawaban, masih dengan senyum dia berujar, intonasi suaranya lebih
kepada bertanya, lirih “Terharu sampai terkadang menangis hanya karena membaca
cerita di dalam novel?!”. Tanpa menunggu jawaban dia berlalu melanjutkan kegiatannya, menyapu. Aku terpaku beberapa detik. Setelah tersadar, mataku mengerjap
beberapa kali. Refleks, punggung telunjuk kananku terangkat menghampiri sudut
kedua mataku. Basah. Aku
menghentikan pengembaraanku dalam tulisan-tulisan itu, kembali ke dunia nyata.
“Terharu
sampai terkadang menangis hanya karena membaca cerita di dalam novel?!”.
Pertanyaan itu membuatku berpikir, mencari jawaban. Lama..... Lalu..... Mungkin
karena lisanku tak begitu pandai merangkai kata maka aku tak pernah benar-benar tahu ragam rasa. Ketika berada di antara
orang-orang, aku hanyalah wujud yang
terprogram untuk memamerkan senyum, berusaha terlihat tegar dan bahagia. Di
luar pintuku, tempatku menitipkan peluh dan keluh, aku hanya tahu tentang ketiga hal itu; senyum, tegar dan bahagia. Namun,
ketika membaca, aku menemukan
defenisi dari setiap rasa yang ingin ku mengerti. Malu, kecewa, sedih dan
tangis, terkejut, penasaran, geregetan, tawa dan bahagia, aku mampu
merasakannya. Lalu?! Memangnya kenapa?!
Salahkah itu?! Keyakinanku tentang duniaku yang ku pikir tak ada masalah mulai
tergerus. Namun aku masih terus
menjalani rutenya.
Tapi
kemudian aku mulai mendengar
omongan-omongan tak bersahabat. Tak pernah terdengar secara langsung memang,
tapi justru omongan yang dibelakang itu yang selalu mengganggu apalagi ketika mendengarnya
hanya dari balik dinding yang seolah-olah menggemakan rahasia yang tak
seharusnya didengar. Aku tak pernah
benar-benar tahu apa alasan mereka
untuk semua omongan tak bersahabat itu. Mereka
tak pernah datang memberi sebuah penjelasan dan aku pun tak merasa perlu untuk menuntut kejelasan itu. Maka cerita
ini akan membuat kalian membaca begitu banyak kata mungkin. Karena ini adalah
ceritaku, aku hanya dapat mereka-reka
dasar dari ketidaksenangan mereka.
Dan cerita itu pun berlanjut.... Entah sejak kapan, salah satu dari mereka atau mungkin juga mereka tak
suka pada ku dan dunia ku yang mungkin dari tempat mereka berdiri tampak begitu gelap sehingga tak terbaca. Mungkin
karena ketidakmampuan mereka untuk
membaca itulah sehingga mereka berlaku selayaknya bocah usia dini yang disuguhkan
sebuah buku penuh tulisan, mereka tak
suka, mereka berontak, tak terima.
Dan entah sejak kapan pula salah satu dari mereka
atau mungkin juga mereka mulai bertukar
cerita, mengeluarkan satu persatu keluhannya dan itu tentang aku. Yang aku tahu, entah bagaimana, tiba-tiba aku merasa asing. Tapi aku,
entah karena terlalu tak peduli, terlalu egois atau bodoh, aku tetap memilih rute yang sama dengan sebelumnya.
Tibalah
saat itu.... Aku menjadi bagian dari
mereka. Aku berada dalam lingkaran yang sama, duduk bersama. Hari itu
berlangsung sebuah rapat. Agendanya pasti akan sama seperti agenda rapat
sebelumnya, itu dugaanku. Aku masih
menjadi sekedar wujud saat salah satu dari mereka,
yang memang telah ditunjuk bersama sebagai pemimpin kami, membuka rapat.
Basa-basi di awal. Sepuluh menit berlalu, rapat berlangsung memang masih
seperti biasa. Namun selanjutnya.... Namaku disebut. Aku tak kan keberatan jika seandainya namaku tak dilabeli dengan
keterangan sebagai orang yang tak melakukan apa-apa selama kami berada di rumah
itu. Aku yang awalnya hanya mendengarkan
sambil menghitung sudah berapa semut di lantai yang hilir mudik di dekat kaki
ku mau tak mau mengangkat pandanganku menatap si pemimpin. Aku
mengerutkan keningku, tapi tak ada reaksi. Aku
lupa kalau si pemimpin bukan dia, si pemimpin adalah salah satu dari mereka. Si pemimpin tak
mengerti arti kerutan di keningku. Aku
tak kan mendapatkan jawaban dari sekedar memamerkan kerutan di kening.
“Melakukan
apa ini, maksudnya?!” Aku bersuara
sebagai reaksi sebuah ketidakterimaan atas keterangan penjelas yang mereka
tempelkan pada namaku.
Si pemimpin mengatas namakan “kami”
mungkin untuk mewakili keberatan-keberatan mereka.
“Kamu terlalu sering di kamar, jarang bersosialisasi dengan masyarakat di sini
padahal setahu kami justru sosialisasi dengan masyarakat itulah yang menjadi
tujuan kita di sini”, si pemimpin
berbicara tanpa menatapku, pandangannya jatuh pada tangannya yang sibuk
menggulung buku yang seharusnya digunakannya untuk mencatat hasil rapat kali
itu.
“Apa
pernah aku tidak mengikuti satupun
kegiatan yang telah kita tetapkan bersama?! Apa pernah aku berada di kamar saat aku tahu kalian sedang mengerjakan
sesuatu?! Apa pernah aku mengatakan
keberatan, menolak apa yang kamu tugaskan padaku?!”
“Memang
tidak, tapi bukan itu yang menjadi masalah”. Si pemimpin mulai membingungkan. Di awal, si pemimpin, ah, katanya bukan hanya si pemimpin saja sih, tapi mereka,
mempermasalahkan aku yang
menurutnya, tak melakukan apa-apa selama di sana. Tapi sekarang si pemimpin membenarkan bahwa aku tak
pernah sama sekali mangkir dari kegiatan yang memang telah menjadi agenda kami.
Kontradiktif.
“Aku ke kamar kalau aku yakin kita sedang tidak punya agenda apa-apa. Aku kebanyakan berada di kamar karena
memang kita tak punya banyak agenda untuk dilakukan. Apa yang harus aku lakukan di sini kalau kita tak
sedang mengerjakan sesuatu?! Menonton kalian main game?!”, aku mulai menyala.
“Maksudnya
bukan seperti itu,” satu suara lagi dari mereka,
seorang gadis yang juga teman
sekamarku, terkesan membela si pemimpin.
Pandanganku teralih padanya. Persis seperti si pemimpin, gadis itu
berbicara tanpa memandangku. Gadis itu
sibuk memainkan jarinya. “Tidak baik kalau kamu keseringan di kamar. Aku juga
tidak tahu mau menjawab apalagi kalau orang-orang di sini bertanya padaku
tentang keberadaanmu saat aku sedang ngobrol dengan mereka”. Jawaban gadis itu membuatku kecewa. Gadis itu tahu benar apa yang aku lakukan di kamar, membaca novel
yang dipinjamkannya padaku. Bagaimana mungkin gadis itu tidak tahu jawaban apa yang harus dikatakannya saat
orang-orang menanyakan apa yang sedang aku
lakukan?! Dalam hati aku berontak. Jikalau
itu yang dijadikannya alasan, aku
punya pertanyaan yang lebih masuk akal untuknya. “Sakit apa lagi yang harus ku
kambinghitamkan saat orang-orang bertanya mengapa kamu pulang ke kampung lagi
untuk kesekian kalinya?!” Kalau gadis
itu mungkin saja lupa telah meminjamkan novel untuk ku baca di kamar,
sementara aku, aku benar-benar tidak tahu mengapa gadis itu sering sekali mengajukan izin pulang ke kampungnya.
Mungkin aku terlalu naif, tapi
betulkah hal seperti itu bisa dijadikan alasan untuk menyidangku sebagai
seorang yang bersalah?!
Aku berusaha mencari jawaban namun aku hanya mendapati mereka tertunduk,
entah mengapa, mungkinkah melanjutkan keisenganku menghitung semut?! Aku
mengerutkan dahi, mencari sosok dia. Aku
menemukannya. Dia tak sedang
menunduk seperti yang lain. Dia
sedang menatapku. Beberapa detik kemudian dia
tersenyum.
“Sosialisasi apa yang kalian harapkan aku untuk ada?! Ikut sama kalian
cowok-cowok main bola?! Atau bergosip dengan ibu-ibu di sekitar sini?!
“Ya
setidaknya janganlah terlalu sering di kamar”. Si pemimpin kembali bersuara. Tak ingin memperpanjang masalah
akhirnya aku pun menyetujui
keinginan mereka tapi itu bukan berarti membenarkan sikap mereka yang telah menempatlkanku pada posisi bersalah. Aku bukannya tidak pernah menyapa
orang-orang di sekitar situ, aku
tidak pernah berlaku angkuh, aku
merasa telah berlaku sopan dan ramah, tapi aku memang tidak betah bercerita
ngalor-ngidul terlalu lama. “Kalau kamu bisa, lakukanlah!” Aku berharap dapat
mengatakan ini pada gadis itu, tapi,
ya sudahlah...
Dengan
beberapa pertimbangan, aku pun
mengikuti ritme yang mereka inginkan. Aku
melakukan pekerjaan rumah yang telah kulakukan secara rutin sejak awal, yang
mungkin justru karena rutin itulah mereka
tak menganggapnya lagi sebuah konstribusi yang berarti bagi mereka. Atau mungkin aku perlu memberikan pengumuman lewat
speaker ketika aku akan mencuci
piring dan memasak agar orang-orang tak perlu repot bertanya dan gadis itu tak perlu bingung menjawab?!
Sebenarnya aku masih tak habis
pikir. Namun aku akhirnya bersedia
meluangkan beberapa menit ku di setiap sore untuk mencari dan duduk mengobrol
dengan beberapa ibu di sekitar rumah. Yah...walaupun aku hadir hanya dengan senyum, tak lebih.
Aku pikir setelah aku memutuskan untuk mengikuti ritme
yang mereka inginkan, semuanya akan baik-baik saja. Tapi ternyata aku salah. Namaku kembali diangkat
dalam rapat karena ada seseorang yang memberikan pengaduan. Si pemimpin kembali berbicara dan ternyata
gadis itu lah yang mengajukan keberatan. Akibat dari rapat yang pertama, gadis itu merasa telah dimusuhi. Gadis itu merasa asing di tengah-tengah
kami. Kami di sini adalah aku, teman sekamarku, serta dia dan teman sekamarnya. Sementara gadis
itu membeberkan keberatannya, aku
memiliki kesempatan untuk menyusun puzzle, merangkai kata demi kata dari mulut gadis itu, mencoba memahami apa yang
sebenarnya terjadi. Lalu aku tiba
pada sebuah kesimpulan, mungkin “kami” yang dimaksud oleh si pemimpin bukanlah mereka
tapi hanya gadis itu dan si pemimpin itu sendiri.
Hubunganku
dan gadis itu memang tak lagi bisa
seakrab dulu. Aku tak lagi ingin
meminjam novel-novel yang dibawanya setiap kali dia kembali dari kampung,
betapapun baik hatinya ia menawarkan. Aku
tidak tahu kalau ini adalah manifestasi dari dendam akibat kekecewaanku atas
perkataannya yang memberatkanku, tapi aku sadar telah menghindarinya dengan
menyibukkan diri melakukan pekerjaan rumah saat gadis itu sedang tak pulang kampung agar kami tak punya kesempatan
mengobrol. Dendam, sakit hati atau apapun namanya, aku tak peduli, yang aku
tahu, aku hanya punya satu cara
untuk menghadapi orang yang telah membuatku kecewa, yaitu menghindar karena
berada di dekatnya hanya kan membuatku merasa tak nyaman. Teman sekamarku yang satu lagi pun ternyata bertingkah sama. Sebenarnya
dia pun tak sepenuhnya setuju dengan apa yang si pemimpin dan gadis itu
katakan tentangku sebelumnya. Apalagi sebenarnya teman sekamarku itu memang telah mengenalku sejak lama.
Dibandingkan yang lain, teman sekamarku
itu tahu betul kalau aku memang
lebih suka berdiam diri di kamar sambil membaca daripada harus berbasa-basi
dengan orang yang baru dikenal. Mungkin teman
sekamarku itupun tak begitu menyukai tabiatku karena teman sekamarku itu adalah orang yang bertipe sama dengan mereka, pandai berbasa-basi dan
bergaul, hanya saja teman sekamarku
ini sudah sampai pada tahap memakluminya. Alhasil aku dan teman sekamarku
sibuk melakukan pekerjaan berdua, dan membiarkan gadis itu mencari kesibukannya sendiri. Mungkin karena itulah gadis itu merasa terasing.
Maka aku kembali menjadi bagian dari mereka, berada dalam sebuah lingkaran,
duduk bersama. Namaku kembali disebut, tapi kali ini aku tak sendiri, nama teman
sekamarku juga ikut terseret hanya karena kami selalu melakukan setiap
pekerjaan berdua. Hhhuuuufffttt.... Setelah ini masihkah ada sidang karena alasan
yang menurutku lebih absurd lagi?! Aku
sudah merelakan ruteku berbelok ke ritme yang si pemimpin dan gadis itu
inginkan, namun lagi-lagi, keduanya
mencari kesalahanku. Apa yang ingin keduanya
tahu dengan mengadakan rapat seperti ini?! Jawaban mengapa gadis itu merasa terasing dan dimusuhi?! Apa keduanya lupa agenda rapat sebelumnya?! Ibarat seorang manula yang
mencari kacamata yang sudah dipakainya sejak tadi. Aku merasa semua ini menggelikan. Aku mendapati diriku berada diantara dua orang yang begitu lucu tapi sayangnya aku tak bisa menertawakan keduanya.
Jika aku tertawa mungkin kedua orang ini akan punya bukti lebih
betapa salahnya aku. Aku pun memilih diam. Namun ketika aku diam, teman sekamarku melakukan pembelaan untukku dan dirinya sendiri. Tapi
dari yang kuamati betapapun teman
sekamarku itu membela diri, si
pemimpin dan gadis itu tetap
pada kelucuan mereka. Dan ternyata bukan hanya teman sekamarku yang merasa harus bicara, dia yang selama ini hanya menjadi penonton pun akhirnya angkat
bicara. Dia mengatakan bahwa dia sebenarnya juga tak sepenuhnya
setuju dengan apa yang dikatakan pada rapat sebelumnya oleh si pemimpin dan gadis itu. Teman sekamar dia
pun mengangguk-angguk setuju. Tapi lagi-lagi dari pengamatanku, tampaknya si pemimpin dan gadis itu tetap kekeuh mempertahankan kelucuan keduanya. Sampai
akhirnya, tensi rapat itu memanas. Intonasi suara yang terdengar tak lagi
wajar. Cukup sudah! Daripada semakin panas, aku berdiri tanpa berkata sedikitpun, menarik tangan teman sekamarku, mengajaknya pergi, meninggalkan
mereka, kami mengungsi ke rumah
salah satu warga yang sangat dengan kami, yang telah kami anggap keluarga. Kami
disambut hangat, diberikan tempat untuk tidur tapi aku tiba-tiba rindu rumah. Aku
rindu pada kamarku. Aku rindu pada
pintu yang selalu jadi tempat untukku menitipkan peluh dan keluh. Aku rindu pada remang dan heningnya
kamarku. Aku ingin pulang. Aku tak lagi berminat menertawakan
kelucuan si pemimpin dan gadis itu. Aku justru mendapati betapa sedihnya aku. Kurasakan mataku memanas, ada yang berusaha aku tahan namun pertahanan itu runtuh
dan aku menangis. “Aku mau pulang...,” bisikku lirih pada teman sekamarku yang kemudian
merangkulku. “Sabar, tinggal 2 minggu lagi!,” jawabnya berusaha menenangkan
tapi lewat suaranya yang bergetar aku tahu teman
sekamarku itu pun menyimpan getir yang sama. Akhirnya kami terisak bersama.
Keesokan
harinya, setelah shalat subuh, bapak sang pemilik rumah tempat aku dan teman sekamarku mengungsi mengajak kami mengobrol. Rupanya sang bapak tahu bahwa kami sedang dalam
pelarian dari apa yang tidak menyenangkan. Berdua kami menceritakan yang
terjadi, dan tentu saja, dengan versi ku dan teman sekamarku. Obrolan itu pun menyadarkanku sesuatu bahwa
seorang yang periang dan pandai bergaul memang selalu lebih dapat diterima
dibandingkan dengan orang tertutup dan hanya bisa tersenyum sepertiku. Sang bapak bilang kalau sang bapak itu pun sebenarnya tak
begitu respect dengan keberadaanku
karena aku sering tak terlihat.
Karena sering tak terlihat itulah sang
bapak juga beranggapan bahwa aku
tak pernah melakukan apa-apa. Aku
pun menggaris bawahi kata sering. Hari itu bagiku kata sering pun
menjadi sesuatu yang relatif. Sering bagimu dan bagiku, serta baginya
dan mungkin juga bagi mereka memiliki intensitas yang berbeda dan hadir pada
waktu yang tak sama, maka ketika aku,
kamu, dia dan mereka bersumpah
sering ke suatu tempat yang sama, jangan heran ketika tak satu waktupun kita pernah bertemu.
Hhhhhhhh.....
Aku memang punya hak untuk menjadi
apa yang membuatku nyaman. Tapi orang lain juga punya hak untuk tak menyukai
apa yang menjadi pilihanku. Lalu mengapa aku
perlu repot-repot memikirkan cara agar mereka menyukaiku?! Kupikir ketika aku tak bisa menjadikan orang-orang
menyukaiku, aku hanya perlu
menghargai itu. Aku tak perlu
menjadi orang lain. Aku harus tetap
menjadi diriku sendiri. Jika aku
menyibukkan diri mengikuti apa yang orang lain inginkan untuk ku, maka aku akan kehilangan waktu untuk
membahagiakan diriku sendiri. Karena itu, aku
memutuskan akan tetap setiap pada duniaku. Selebihnya aku hanya harus mengerti, berempati dan bertoleransi atas ketidaksukaan
orang lain akan itu. Akan ada waktu dimana aku
harus muncul walaupun hanya untuk tersenyum, bertegur sapa, berbasi-basi. Aku harus tahu, aku adalah bagian dari mereka,
seberapa tak terkenalpun aku, tapi aku memiliki wujud dan sudah menjadi
kewajibanku untuk memperkenalkan wujud itu agar mereka punya kalimat untuk melabelinya betapapun pada akhirnya aku akan terlupakan.
“Untuk
sebuah pertengkaran, menghindar mungkin akan menjadi jalan yang paling aman,
namun dalam menghadapi masalah, menghindar tak pernah membuat masalah itu selesai.
Kembalilah ke teman-temanmu.”, ujar sang bapak menasehati.
Aku dan teman sekamarku pun
memutuskan kembali ke rumah tempat kami tinggal. Aku tak begitu peduli lagi akan apa yang ada di pikiran mereka. Jika mereka tak bisa memaklumi pembawaanku maka aku yang harus menerima
dan bertoleransi terhadap ketaksukaan mereka
atasku. Itulah yang akan menjadikan aku
lebih baik dari mereka. Bukan karena
kita berbeda yang akan membuat kita menjadi dikenal namun kemampuan kita untuk
menerima dan menghargai perbedaan kita dengan orang lain lah yang menjadikan
kita berada satu tingkat di atas mereka.
Aku dan teman sekamarku mendapati rumah itu sepi, keadaan yang terjadi
hampir setiap hari di rumah ini. Aku
hanya melihat seorang dia sedang
duduk menghadap komputer. Dia sedang
asyik bermain game. Aku dan teman sekamarku pun masuk ke kamar, di
sana tak ada siapa-siapa. Aku keluar lagi. “Mana yang lain?”, tanyaku pada dia.
“Pulang
kampung lagi, entah sakit apalagi, tadi malam diantar sama pembelanya”,
jawabnya tanpa berbalik. Dia hanya
menyebutkan dua orang. Dia tahu
kalau aku memang hanya mencari kedua orang itu karena teman sekamar dia pastilah sedang tidur
di kamarnya. Teman sekamar dia itu
memang tak bisa bangun sepagi ini.
Lalu....
“Sarapan
apa hari ini?!”
Aku terkekeh, dia berbalik. “Bagaimana kalau nasi goreng?!
“Ok,”
jawabnya dengan senyum.
Dua minggu...
Dua minggu adalah waktu yang tersisa untukku bertoleransi pada kelucuan dua
orang yang tak bisa memaklumi duniaku. Dan aku
pikir aku akan baik-baik saja, harus
baik-baik saja karena dua minggu lagi aku
dapat kembali seutuhnya pada duniaku dimana hanya ada aku, bait-bait lagu dan melodi, lembaran-lembaran novel serta
batangan-batangan cokelat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar