Dipublikasikan pertama kali di tanggal ini "August 20, 2011 at 3:23pm"
Sebuah hadiah kecil untuk seorang sahabat yang meyakini bahwa aku bisa menulis. "Thank you so much for believing in me".
"Rama."
Gadis
itu terhenyak, menyadari apa yang baru saja terlintas di pikirannnya
yang membuatnya mengeja kembali nama itu tanpa diinginkannya.
Lalu....tanpa bisa dicegah, rekaman-rekaman masa lalu yang menampilkan
sosok itu kini tergambar jelas di depan matanya.
Seragam
putih biru. Lapangan basket salah satu sekolah menengah pertama di Kota
Daeng yang juga sekolah favorit. Inilah pertama kali gadis itu bertemu
dengannya. Dalam pandangannya, sosok itu tak istimewa. Badan tambun,
kulit hitam, dan tak bisa dikatakan tampan. Namun, dia memiliki nilai
lebih, berdompet tebal yang memungkinnya selalu berpenampilan modis. Dan
tentu saja, kemampuannya bermain basket mampu membuatnya menjadi bahan
obrolan gadis-gadis di sekolahnya. Dialah..... Rama.
Entah
kapan dan bagaimana awalnya, gadis itupun tak tahu-menahu. Rama, yang
merupakan kakak kelasnya ternyata jatuh hati padanya. Dia datang
menawarkan perhatian layaknya sosok Prince Charming dalam film-film romantis. Seharusnya, selayaknya ending
dalam film itu, gadis ini akan terlena, namun....tidak. Rama, mungkin
seorang pangeran, tapi dia bukanlah pangeran tampan seperti yang selalu
didengar dan dibacanya dalam dongeng. Sampai pada akhirnya hanya
penolakanlah yang bisa diberikannya pada sosok itu.
Kecewa
kah Rama?! Mungkin... Namun, usahanya belum berhenti sampai di situ.
Tak mempan dengan jurus rayuan maut, dia beralih ke jurus lainnya, yang
entah dia pungut dimana teorinya. Berbanding terbalik dengan jurus
rayuan maut yang mengandalkan perhatian maka jurus kali ini, "anggap
saja tidak ada". Kapan dan dimanapun Rama berpapasan dengan gadis itu,
dia akan menganggapnya angin lalu, tak ada sapa, tak ada senyum manis.
Gadis
itu terjebak. Terasa ada sesuatu yang hilang ketika tak ada lagi
perhatian yang sama yang didapatkannya dari sosok itu. Ketidakpedulian
Rama padanya setelah semua perhatian-perhatian sebelumnya membuatnya
resah. Tanpa disadarinya, dia merasa kehilangan karena sejujurnya dia
mulai menikmati apa yang telah dilakukan sosok itu untuknya. Berhasilkah
Rama dengan strateginya kali ini?! Yah....perlu proses memang,
namun....dia berhasil. Gadis itu menerimanya. Entah siapa yang kemudian
memulai kembali.
Tak ada yang salah dengan Rama. Dia masih sama. Perhatiannya, sikap gentlemennya
untuk seusianya, sejujurnya membuat gadis itu merasa sangat istimewa.
Masalah justru ada pada gadis itu. Dia merasa tak nyaman menjalani
hubungan dengan Rama. Ada saja yang mampu membuatnya illfeel
pada sosok itu. Mulai dari omongan mengejek dari teman-temannya soal
fisik Rama yang tambun dan entah apa lagi. Semua itu membuatnya berpikir
untuk mengakhiri saja hubungan yang baru berjalan beberapa minggu itu.
Langkah teraman yang dipilihnya adalah, menghindar. Sebisa mungkin tak
bertemu dengan Rama di sekolah. Bahkan ketika Rama menelpon ke rumahnya,
jawaban-jawaban ketuslah yang akhirnya terucap dari bibirnya.
Begitulah.....sampai
benar-benar tak ada komunikasi lagi. Rama sibuk mempersiapkan diri
menghadapi ujian kelulusan. Gadis itu sendiri merasa itulah yang terbaik
untuknya. Toh, dia masih sangat belia, masih ada waktu untuk
mendapatkan sosok Prince Charming seperti dalam khayalannya.
Tak ada kata putus. Semuanya berakhir begitu saja. Sebenarnya, sebelum
acara penamatan, Rama masih berharap mendapatkan penjelasan tentang
perubahan sikap dari gadis itu yang tiba-tiba saja menghindarinya, namun
gadis itu tak juga memberikannya. Keinginan Rama untuk bertemu yang
disampaikan lewat salah satu temannya, ditolaknya. Mereka pun tak pernah
bertemu lagi, kabar terakhir yang didengar gadis itu, Rama pindah ke
Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya di sana.
Dan kini, nama itu kembali terlintas di kepalanya. Rama. Betapa perhatian dan sikap gentlemennya
dulu pada usia yang masih begitu belia mampu membuatnya nyaman dan
merasa istimewa. Di usianya yang ke 24, kalau tidak salah hitung,
mungkin sudah kurang lebih 10 kisah cinta yang dijalaninya setelah
cerita singkatnya dengan Rama. Dan harus diakuinya, tak satupun dari
pemeran utama pria dalam kisah-kisah itu yang memperlakukannya semanis
Rama memperlakukannya. Bahkan beberapa diantaranya berakhir hanya
menorehkan luka penghianatan. Mungkin karena itulah, sekarang dia
merindukan Rama. Merindukan perhatian dan sikap gentlemen ala Prince Charmingnya.
"Dimana
ya dia sekarang?", tanyanya pada diri sendiri. "Apa dia masih ingat
padaku?". Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Dia bergegas menuju lemari
tempatnya menaruh rapi buku-bukunya. Di bongkarnya lemari itu,
dikeluarkannya buku-bukunya secara serampangan. Selama hampir setengah
jam mengobrak-abrik isi lemarinya, dia memekik tertahan. Sebuah buku
tulis usang berada erat digenggamannya. "Dapat!" Cepat-cepat dibukanya
lembar demi lembar halaman buku itu mencari sesuatu. "What if.....",
pikirnya. Letters to Juliet..... Judul film yang baru saja dinontonnya kemarin, yang menjadi topik hangat diperbincangkan dengan teman-temannya
di tempatnya mengajar, mendorongnya untuk setidaknya berusaha mencari
keberadaan Rama. Dia tak ingn terjebak pada pertanyaan "what if",
bagaimana jika, bagaimana kalau seandainya....... Maka dengan semangat
itu, matanya teliti mencari nomor telepon rumah Rama yang seingatnya
pernah dicatatnya di buku itu. Hampir saja putus asa, seulas senyum lega
mengembang menghias bibirnya ketika menemukan deretan nomor yang angkanya sudah buram, nyaris tak terbaca. Dipaksanya matanya berakomodasi
penuh untuk memastikan nomor-nomor itu. Dicatatnya ulang. Saatnya
mencari tahu keberadaan Rama dengan menghubungi nomor itu.
"Dodol!",
pekiknya tetap tertahan, takut kalau orang-orang di luar kamarnya
mendengar. "Telepon rumah kan lagi ngadat. Tidak bisa nelpon. Mo nelpon
pake' hp, pulsa nihil. Gajian masih harus nunggu 2 minggu lagi.
Duh......". Dia menimbang-nimbang. "Aha......", wajah seseorang
tiba-tiba saja melintas di kepalanya. Diambilnya hpnya. Kalau untuk SMS,
masih bisalah. Dia masih punya ratusan stock SMS gratis. Dia
mulai mengetik. Sebenarnya dia pun agak ragu ketika akan menekan tombol
send ke nomor itu. Diandra. Sahabatnya itu belum tentu bersedia
membantunya. Tabiatnya yang selalu terkesan malu-malu dan kadang memang
malu-maluin menjadi alasan kuat untuk menolak permintaannya.
Namun.... kembali lagi.... "what if". Maka ditekan juga tombol
send itu. Beberapa menit kemudian, balasan Diandra diterima.
"Maksudnya?", tulisan di SMS itu. Hampir saja dia mengumpat. Serasa ingin
menaruh cap "dong-dong" di jidat salah satu sahabatnya itu ketika dia
teringat bahwa dia memang belum menceritakan tentang Rama padanya. Tentu
saja Diandra merasa bingung ketika tiba-tiba saja dia memintanya
menghubungi nomor telepon seseorang bernama Rama itu. Maka, yang ada
kemudian adalah, inbox hp Diandra penuh dengan cerita tentang
Rama. Sebenarnya Diandra juga berat untuk mengiyakan menolong sahabatnya itu.
Belum pernah dilakukannya sama sekali, menelpon rumah cowok untuk
menanyakan dimana keberadaannya. Wooaaww...... rekor akan terpecahkan.
Namun..... akhirnya jawaban "ya" jugalah yang diterima gadis itu. Tak
cukup hanya dengan jawaban "ya" dari Diandra, dia berniat untuk coba
menghubungi sahabat-sahabatnya semasa SMP, berharap ada yang tahu
keberadaan Rama. Dan begitulah kegiatannya selama seminggu lebih.
Berburu Rama. Diandra tak mampu memberinya kabar bahagia, nomor telepon
yang diberikannya ternyata tak aktif lagi. Begitupun yang dikatakan
Gwen, sahabatnya satu lagi yang juga turut dikerahkan untuk mencari
Rama. Benar-benar nihil. Sia-sia.
Rama..... Entah perasaan
macam apa yang sebenarnya membawanya sejauh itu. Menelpon puluhan nomor
telepon, berharap ada yang mampu memberitahukan keberadaan Rama.
Mencarinya di FB. Tak ada satupun yang bernama Ramadhan Putra
Ardiansyah. Mungkin benar, kita tidak akan menyadari bahwa kita memiliki
sesuatu yang berharga sebelum kita kehilangan sesuatu itu. Walaupun
Rama tak setampan Prince Charming, toh.....dia mampu membuatnya merasa
istimewa, diperlakukan tak jauh beda dengan putri dalam dongeng itu.
Dulu bukannya dia tak menyadari betapa dia tersanjung, namun rasa terima
kasih itu terbekukan oleh omongan-omongan orang lain. "Rama..... aku
hanya ingin minta maaf sekaligus berterimakasih untuk semuanya",
bisiknya dalam hati.
Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya dia tak
bisa tidur. Dia hanya berbaring, bermalas-malasan. Mata sendu yang entah
bagaimana di saat bersamaan juga mampu memancarkan aura tajam itu
memandang kosong langit-langit kamar. Masih ada Rama yang terus
membayangi pikirannya. Tiba-tiba nada dering hpnya berkoar menyentaknya
dari lamunannya. Nama Gwen tertera di layar hp. "Keizha, liat berita di
tv, channel 5, cepat!", suara Gwen memaksa. Tanpa sempat protes sambungan
telah terputus, maka diturutinya Gwen. Dia baru saja akan bertanya
kenapa dia harus repot-repot menonton berita kecelakan helikopter ketika
sebuah nama terdengar disebut oleh sang reporter. "Ramadhan Putra
Ardiansyah, pilot helikopter yang juga satu-satunya korban dalam
kecelakaan itu, menghembuskan nafas terakhir dalam perjalanan ke rumah
sakit". Nama itu..... Sekujur tubuhnya mulai terasa dingin. Ramakah? Dia
tidak mau memikirkan kemungkinan terburuk. Sampai akhirnya sebuah foto
yang menghiasi layar tv meyakinkannya bahwa itu memang Rama. Tak
setambun dulu memang, sebaliknya, terlihat gagah dengan seragam
penerbangnya, namun dia tahu itu Rama. Tanpa disadarinya, wajah Rama
ternyata terekam dengan jelas dalam memorinya dan foto itu mengajaknya
untuk kembali menjelajahi waktu, kembali ke Rama yang dulu, yang
berseragam putih biru. Dan Keizha, gadis itu, mendapati kenyataan bahwa
dia memang harus terjebak pada frase hidup "what if...." tanpa punya
kesempatan bahkan untuk meminta maaf dan berterimakasih. Yah.... life is
not only about a princess who looks her Prince Charming.
"Rama.....
aku benar-benar ingin minta maaf. Dan terimakasih untuk semuanya",
bisiknya lirih, kemudian melangkah pelan mematikan tv lalu menyambar buku
tulis usang berisi nomor-nomor sahabat-sahabat semasa SMPnya yang
tergeletak di atas meja di samping tv dan menghampiri lemari. Dibukanya
lemari itu, ditaruhnya buku usang itu, diselipkan diantara buku-buku
lainnya. Buku usang itu akan tetap disimpannya. Buku usang yang bagi
orang lain mungkin akan berakhir di tong sampah. Namun baginya, itulah
satu-satunya perantara bagi dirinya untuk mengenang saat-saat terbaik
yang dulu pernah diberikan Rama untuknya. "Selamat jalan Rama".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar