Senin, 01 Agustus 2016

Pejuang ASI

Prolog

Baby Aisy... Usianya belum genap 3 bulan ketika aku menulis curhatan ini. Peri kecil buah cinta aku dan suami yang Alhamdulillah terlahir normal, sehat, tanpa kurang suatu apapun. Terimakasih ya Rabb, Engkau begitu menyayangi kami. PemberianMu ini adalah hadiah terindah untuk pernikahan kami.

Jangan tanya bagaimana rasanya menjadi seorang ibu. Aku tak sanggup menjabarkannya hanya dengan kata-kata. Rasa bahagia ketika pertama kali mengetahui ada bakal makhluk mungil yang bertumbuh di rahimmu, menjadi bagian dari dirimu, dimana apapun yang kau lakukan akan berdampak padanya. Was-was apakah dia akan tumbuh optimal di dalam sana sementara selera makanmu jadi absurd. Takut akan proses persalinan, dimana dari kata-kata mereka yang pernah mengalaminya bercerita bagaimana menyakitkannya. "Apakah aku sanggup?" Namun, ketakutan itu kau singkirkan demi bertemu dengannya, melihatnya, memeluknya dengan tanganmu sendiri. Dan tibalah hari itu. Yah.... benar, prosesnya begitu menyakitkan. Barulah menyadari betapa kerasnya perjuangan seorang ibu.  Ma.... maafkan anakmu ini... :'(

Hari itu hari Sabtu. Sejak pagi badan sudah lemas. Sebagai calon ibu baru, aku belum berpengalaman tentang tanda-tanda akan melahirkan. Di sore hari, tak hanya lemas, perut sudah terasa sangat kencang. Aku masih belum menyadari bahwa sudah saatnya... Kemudian datanglah sang Mama bertanya, apakah aku merasa akan melahirkan. Aku hanya menjawab "Tidak tahu." Namun melihat keadaanku yang tak henti-hentinya berkeringat, Mama yakin bahwa waktu persalinanku sudah dekat. Maka beliau pun berinisiatif menelepon suamiku untuk memberitahunya. Beberapa menit kemudian datanglah sang suami beserta sang mertua dan juga kakak ipar. Aku tak bisa menebak apa yang difikirkan suamiku saat itu. Wajahnya datar, bukan wajah bahagia, bukan pula wajah khawatir. Dia mondar-mandir, tapi tak sampai komat-kamit sih. Ah, atau mungkin dalam hati? Aku tersenyum geli melihatnya, reaksinya, dia malah manyun, bertanya sebab aku tertawa. "Aaaiiissshhh... tampangmu lucu saat ini, lelaki kesayanganku", jawabku dalam hati. Yang menjadi jawabanku untuknya adalah gelengan. Dia beringsut ke sampingku yang tengah berbaring lalu memijat kakiku. Hanya saja pijatan itu tak begitu membantu, aku merasa begitu "aneh" dengan keadaan tubuhku.  Tapi... apapun itu, "Terimakasih untuk pijatan mu waktu itu, Yang" 😃 Sebenarnya saat itu belum ada kontraksi -keadaan dimana perut terasa sangat kencang, sakit sampai menembus punggung- begitu orang menyebutnya. Walaupun demikian, rasanya tetap saja tak karuan. Sehabis Isya aku sudah merasa kesakitan, sudah timbul flek ketika aku mengecek ke kamar mandi. Segera setelah itu, kami berangkat ke rumah sakit. Sesampai di sana, bidan mengecek, mengobok-obok mencari tanda persalinan. Belum ada pembukaan, aku disarankan untuk pulang dulu, kembali ke rumah, beristirahat, menyiapkan tenaga untuk persalinan yang kata bidannya mungkin baru akan terjadi sehari atau dua hari lagi. Kami pun pulang. Tapi malam itu aku tak bisa benar-benar tidur. Rasa sakit itu tak bisa kuelakkan. Akhirnya keesokan paginya, di hari Minggu yang cerah itu aku meminta suami dan ibuku untuk membawaku ke rumah sakit saja. Aku sudah kesakitan. Mungkin bidan punya saran untuk meringankan rasa sakit itu. Sesampainya di rumah sakit sang bidan kembali memeriksa tanda-tanda persalinan. Yap... pembukaan satu. Sesakit ini... dan baru pembukaan satu... Bidan tak memberiku apapun untuk meringankan rasa sakitnya. Harus dijalani. Hhhuuuffff... baiklah... masih ada 9 pembukaan lagi. Semangat!!! Ayo Nak, kita bisa!!! Tapi, rasa optimis itu perlahan-lahan tergerus ketika sampai di jam 9 malam harinya pembukaan hanya bertambah 1 cm. Pembukaan 2 namun rasa sakitnya terasa bertambah 10x lipat dari sebelumnya. Astaghfirullah... Ampuni dosa-dosaku ya Rabb... Semua kata-kata menguatkan dari Mama dan bidan yang membantu persalinanku tak mempan. Rasa sakitnya... TERLALU. Aku hampir putus asa. Dua hari dua malam merasakan sakit. Dalam tangis yang mengiris aku tak henti-hentinya memohon maaf pada Mama dan suami untuk segala khilaf yang pernah kulakukan. Dengan menghiba, -semenghiba-menghibanya- memohon mereka untuk mendoakan kelancaran dan kemudahan proses persalinan. Sang suami yang mungkin tak tega melihatku bergantian, memeluk-mengelus kepala-mengurut punggung, tak juga bisa mengurangi rasa sakit itu. Allahuakbar... Mama menjadi saksi betapa aku kesakitan. Tangannya mungkin saja terasa ngilu akibat genggamanku. Suamiku tak bisa ikut menemani karena hanya akhwat yang boleh berada di ruang bersalin. Akhirnya, di jam 12 malam, optimis itu merangkak kembali, perlahan. Pembukaan bertambah seiring meningkatnya intensitas rasa sakit. Aku tak bisa mengontrol mulutku yang terus-menerus meracau, berharap mengurangi rasa sakit. Tapi ternyata aku masih harus menunggu. Tak ada induksi untukku. Tak boleh. Aku alergi antibiotik, maka mau tak mau aku harus berjuang sendiri tanpa obat-obatan. Namun, karena riwayat asma yang aku punya, bidan akhirnya memberiku bantuan pernafasan, takut kalau-kalau aku tak kuat mengedan nantinya. Sebotol cairan infus pun harus masuk ke dalam tubuhku untuk membantu menguatkanku. Dan... penantian itupun berakhir. Pembukaan 10, sempurna, ketika jam menunjukkan pukul 4 dini hari. Bidan masih sempat mengajariku bagaimana cara mengedan yang benar. Di hari Senin, Baby Aisy lahir tepat ketika Adzan shubuh berkumandang. "Alhamdulillah!". Aku memekik bahagia. Rasa sakit itu terbayar, lenyap tak bersisa ketika melihat badan mungilnya diangkat ke arahku, ketika pertama kali melihat wajahnya. Suara tangisannya seperti nyanyian selamat tidur yang menenangkan. Aku seperti mati rasa ketika sang bidan melakukan pekerjaan terakhirnya, menjahit apa yang sudah "terobrak-abrik". "Lakukan apa saja yang mau Anda lakukan, aku tidak akan bersuara lagi". Sentuhan kulit Baby Aisy di kulitku sudah menjadi antibiotik  alami untukku. Dan akhirnya... Aku punya anak... Yyyyeeaaayy!!!


Sakitnya tuh DI SINI!

Baiklah... sekarang... ini yang coba untuk ku sampaikan...

Sewaktu kuliah, kita akan ditanyai "kapan lulus?". Ketika sudah lulus orang-orang mau tahu kapan kita bekerja. Setelah bekerja kita masih harus menjawab kapan kita menikah. Belum berhenti sampai di situ, setelah menikah orang-orang akan mempertanyakan kapan kita punya anak. Thanks Rabb aku sudah melalui semua pertanyaan itu. Aku pikir aku tak perlu lagi menjawab pertanyaan-pertanyaan serupa itu. Pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya menyakitkan hati mendengarnya karena kita pun sesungguhnya tak tahu jawaban pastinya.

Hanya saja... 

"Kenapa tidak diberi ASI saja? ASI kan yang paling bagus untuk bayi." Yah... inilah yang harus aku jawab sekarang. Bagaimana rasanya mendapat pertanyaan seperti itu? SAKIT. Ibu mana yang tidak mau memberikan yang terbaik untuk anaknya? Jawabannya. Ibu sakit jiwa! Dan aku masih waras. Aku pun berusaha memberikan ASI bagi Baby Aisy. Sehari setelah Baby Aisy lahir, dia harus dirawat di rumah sakit, badannya menguning karena infeksi akibat kekurangan cairan. Aku terluka ketika harus pulang ke rumah sementara dia harus tidur bersama suster di rumah sakit. Aku tak bisa menyusuinya. Mengapa tidak dipompa lalu diberikan padanya? Sudah. Percayalah. Tapi yang keluar hanya seperti setetes embun di pagi hari. Karenanya... itulah perkenalan pertamanya dengan sufor. Dia dirawat selama 2 hari di sana. Seminggu setelah pulang ke rumah,  aku memutuskan untuk menghentikan pemberian sufor padanya. Aku ingin memberinya ASI ekslusif seperti yang seharusnya. Namun, aku merasa ada yang aneh dengannya. Ketika bayi-bayi yang lain akan bertambah besar seiring bertambahnya usianya, dia justru terlihat semakin kecil dan ringkih. Apalagi hampir sebulan dia tidak PUP. 3x ke dokter, dokter tak menemukan kelainan apapun, dia normal. Sejumlah artikel tentang kejadian serupa jadi santapanku di sela-sela waktu aku menyusuinya. Beberapa dari artikel itu menenangkanku ketika sampai pada baris yang menulis tentang kandungan ASI yang bisa terserap sempurna oleh bayi. Beberapa bayi memang mengalami hal itu, tidak BAB selama beberapa hari. Tapi bagaimanapun aku khawatir. Bayangkan, hampir sebulan bayiku belum BAB. Sekali lagi aku dan suami membawanya ke dokter. Ini dokter yang berbeda dari sebelumnya. Ketika pemeriksaan itu, ketika dia ditimbang, aku serasa tertampar. Beratnya hanya 2,6 kg di usianya yang sudah sebulan. Hampir menyentuh garis merah. Gizi buruk. Ya Rabb... Setelah menanyaiku beberapa hal, akhirnya dokter memeriksa ASIku. Itulah sebabnya. ASIku kurang. Tak cukup untuknya. Aku ingin bayiku mendapatkan yang terbaik, tapi jika bayiku harus menunggu ASIku cukup untuknya kemungkinan keadaannya akan lebih buruk lagi. Dia bisa dehidrasi. Dengan terpaksa, Baby Aisy harus disupport dengan sufor tanpa berhenti berusaha memberinya ASI. Aku tak punya pilihan. Semua saran yang ku dengar dari mereka yang prihatin telah ku coba. Mulai dari yang masih sejalan dengan logika sampai yang tak biasa. Suplemen pelancar ASI dari merek A-Z. Pijat Laktasi. Makan kacang asin, sayur jantung pisang, bubur kacang hijau, dsb. Tetap saja ketika dipompa, dari dua PD selama sejam hanya mendapat 20 ml. Tahukah bagaimana rasanya ketika melihat angka itu di botol ASIP yang sudah disiapkan beberapa bulan sebelum kelahiran Baby Aisy? Hancur. Beberapa kali menangis menyesali diri. Stress. Tapi... kalau aku terus terpuruk, apa kabar dengan bayiku? Tolong... jangan cap aku tak berusaha. Aku berusaha. Aku juga pejuang ASI, hanya saja aku mungkin pejuang yang tak bisa merayakan kemenangan karena sudah terlebih dahulu gugur di medan perang.

Epilog

Bukan baju-baju model terbaru atau tas-tas branded juga kosmetik-kosmetik import yang membuatku iri. Aku tak perduli dengan itu. Aku justru merasa nelangsa ketika mendengar seorang ibu yang bercerita tentang sudah berapa botol ASIP yang mampu dia pompa seharian ini untuk bayinya.


I love you "Aisyah"...

Jumat, 16 Januari 2015

Melayang


Kakimu mungkin hanya sesekali menapak di tanah.
Selayaknya layangan, inginmu adalah terbang ke langit luas.
Mungkin karenanyalah semua inginku sulit tuk kau dengar.
Suaraku tersamar hembusan angin di atas sana.


Tidakkah kau lihat tanganku?
Memerah dan nyaris berdarah.
Benang pengikatmu melukaiku.
Lelah menarikmu tuk tetap dalam jangkauanku, haruskah melepasmu?

Katamu kau tidak ingin kehilangan aku.
Katamu hanya aku yang kau mau.
Tapi pernahkah kau benar-benar menengok ke bawah?
Terasa kah perih ini bagimu?

Kau terlalu sibuk mengawasi arah angin untuk menstabilkan keberadaanmu.
Kau terlalu mengkhawatirkan layangan lain yang terbang jauh lebih tinggi darimu.
Kau terlalu takut pada benang lain yang mungkin saja memotong ceritamu.
Tidakkah kau lihat betapa aku berjuang tuk tetap membuatmu melayang?

Dan sekarang... ketika tanganku benar-benar terluka.
Kau bilang mungkin kau ingin pemegang benang yang baru.
Yang bertangan mulus, yang bisa memegang benangmu tanpa meringis.
Yang tidak perlu kau khawatirkan karena pastilah dapat menjagamu tetap di atas.

Lalu.... menurutmu aku harus bagaimana?
Tidak bolehkah aku kecewa?
Salahkah jika aku menangis?
Dosakah bila aku marah?

Kau egois...
Kau pengecut...
Kau pecundang...
Kau penjahat...

Mungkin aku sudah lelah.
Aku berhenti, melayanglah yang jauh.
Aku takkan lagi bermain dengan layang-layang.
Aku akan menemukan seorang ksatria.


Minggu, 24 Agustus 2014

Gelap itu...

"Sial... handphone-ku!" umpatnya ketika menyadari hp-nya ketinggalan. Dibantingnya lagi pintu mobil dengan keras. Dia berbalik, bergegas kembali ke dalam rumah. Atasannya menyuruhnya kembali ke kantor pada jam dimana ia seharusnya sudah berbaring di dalam kamarnya yang nyaman. Pukul 11 malam. Seharusnya ia sudah tidur bukan?

Ia terburu-buru membuka pintu kamar. Seingatnya ia menaruh hp-nya itu di meja kecil di samping ranjangnya. Kamar itu sudah gelap. Ia meraba dinding, mencari sakelar lampu. Menyala. 

"Sayang.... kamu belum tidur? Kenapa lampunya tidak kamu nyalakan?" tanyanya pada seorang wanita dalam balutan gamis berwarna hijau yang duduk dipinggir ranjang. Wanita itu mengangkat wajahnya, tersenyum lemah padanya.

"Kamu melupakan sesuatu?" tanya sang wanita pada pria itu. 

"Handphone-ku... tadi seingatku ku taruh di meja ini, tapi...." jawabnya seraya menunjuk ke meja yang dimaksudnya. Tak ada handphone di situ. "Kamu lihat?". Wanita itu tak menjawab, diraihnya tangan sang pria, ditariknya sampai ia berdiri tepat dihadapan sang wanita itu duduk.

"Tahukah kamu kenapa aku suka sekali dengan gelap?" tanyanya dengan menatap tajam mata sang pria. Pria itu mengerutkan dahi. Bingung. Ia menggeleng.

"Karena ia tak pernah mengkhianatimu..."

"Maksud kamu?" Sang pria semakin tak mengerti. Wanita dihadapannya itu menarik nafas panjang dan berat. Matanya tiba-tiba sayu, ia menunduk.

"Gelap selalu merahasiakan kepergianmu. Aku masih mau mempercayai janjimu untuk selalu berada di sisiku, tapi aku selalu tahu ketika kamu beranjak pergi dan gelap membantuku untuk tidak melihatmu berlalu."

"....."

"Kalau terang... ia tak pernah bisa bohong." Wanita itu tersenyum sambil merogoh saku gamisnya. "Terang membuatku bisa melihatmu beranjak menjauh. Dan tahu kah kamu? Menyaksikanmu membalikkan badan, menatap punggungmu yang perlahan menghilang dari pandangan, itu adalah saat-saat paling menyesakkan. Aku takut kalau-kalau kamu tak kan kembali lagi." Wanita itu berdiri, meraih tangan sang pria, diberikannya sesuatu yang diambilnya dari dalam saku gamisnya. Pria itu menatap was-was pada benda yang diberikan sang wanita. Handphone-nya. Ditekannya tombol on. Dia menelan ludah....

Dinda D'Big Boss

Sayang... maaf mengganggumu lagi malam-malam begini tapi materi meeting besok harus dirombak total, klien tidak suka konsepnya. Aku butuh teman begadang. Atau... sekalian saja aku buatkan spaghetti kesukaanmu? Kita candlelight dinner? Aku tunggu di kantor yah... Love you. ^_^

Pria itu membalikkan badannya, bersamaan dengan itu.... "Ppprraaakkkk!!!!" Pintu kamar ditutup dengan keras. Wanita itu tak lagi berada di dalam kamar bersamanya.


Sabtu, 14 Juni 2014

Saatnya Mengakui - Repost

(Untuk semua Bapak yang telah menjadi Bapak terbaik bagi keluarganya)

Aku menulisnya pertama kali di tanggal ini..... "August 7, 2011 at 11:56am"
 
Inilah pertama kali aku mengakuinya. Disela isak tangis, ditemani sesak, kuputuskan untuk mengabadikan pengakuan itu dalam sebuah tulisan.
 
Dan sudah kupublikasikan di blog ini di tanggal ini, Jumat, 08 November 2013.

Tak berharap apapun, hanya ingin berbagi... 
 
Aku tak ingat sudah berapa lama engkau pergi....
Bukan karena aku tak perduli, hanya saja aku tak ingin mengakui bahwa engkau tak akan pernah bersama kami lagi.....
Dan hari ini, lewat tulisan ini, ku kumpulkan keberanian memungut kembali kenangan-kenangan akan engkau yang sejak kepergian mu entah tercecer dimana....
Namun sekali lagi bukan karena aku tak perduli justru karena aku terluka.....
Tak berdarah memang, tapi perih yang ku rasa mampu menyesakkan dada, dan aku masih sulit bernafas....pun sampai saat ini...
Maka.....izinkan aku bercerita tentangmu... pada siapa saja yang sudi mendengarnya sebagai obat untuk sesak ku....
Dan dari sinilah semuanya bermula....
Inilah beberapa kenangan, dalam nanar yang enggan berlalu, ku coba memilahnya satu-satu, samar, tapi masih bisa terbaca....
Berada dibelakangmu, duduk manis, sementara engkau fokus menatap ke depan.....
Ini saat engkau membonceng ku....
Hampir setiap pagi..... sejak SD, SMP, SMA, Kuliah,  bahkan sampai beberapa bulan sebelum kepergianmu untuk selamanya....
Akan ku katakan sekarang.... betapa aku merindukan mu.... rindu untuk berada di boncengan mu lagi....
Cemilan dan kue.....setiap kali terdengar deru mesin motor mu di ujung lorong, kami, kedua putri kecil mu akan berebut membukakan pintu pagar demi menjadi yang pertama mengetahui apa lagi yang engkau bawakan untuk kami hari ini....
Akan ku katakan sekarang....ya....aku memang merindukan mu.... bukan karena cemilan dan kue-kue itu. 
Aku merindukan senyum puas mu ketika kami dengan rakus melahap semuanya....
Engkaulah yang aku rindukan, dan baru ku akui itu sekarang....
Dan aku berhenti di hanya kedua kenangan ini.... untuk melongok lebih dalam dan mengetahui..... masih ada setumpuk kenangan tentang mu yang tak kan cukup tuk ku bagi di sini....
Maka yang perlu mereka tau adalah betapa aku rindu memanggilmu lagi..... "BAPAK"....
Betapa aku bangga memiliki mu karena sejak kecil, yang ku tau, engkaulah pahlawanku, yang kan melakukan apapun, demi melihat senyum di wajah polos kami, kedua putri kecil mu....
Engkau pahlawan.... Engkau lah yang terkuat.... Maka tak pernah sekalipun terlintas di benak ku bahwa engkau bisa sakit.
Aku tak pernah mendengar mu mengeluh.... Maka tak mungkin engkau sakit.... Itu pikirku....
Sampai akhirnya di suatu malam, entah karena apa aku terbangun, samar-samar ku dengar perbincangan mu dengan Ibu....
Malam itu.... Aku sadar. 
Kau bukan Gatot Kaca, juga Bukan Kesatria Baja Hitam.
Engkau hanya seorang Bapak.
Engkau juga bisa sakit....
Dan karena engkau Bapak ku, Pahlawan ku, engkau meminta Ibu untuk merahasiakannya dari kami, kedua putri kecil mu.
"Jangan sampai mereka terganggu", itu kata mu.....
Jadilah aku pun berpura-pura tidak tau bahwa engkau sakit...... Entah karena untuk membuatmu tak mengkhawatirkan kami atau karena aku yang tak bisa menerima bahwa pahlawanku bisa sakit.
Tapi tak mungkin ku tepikan bahwa engkau sudah begitu jauh berbeda.....
Engkau smakin kurus....nampak begitu lemah....dan ringkih....
Aku masih tetap dalam kepura-puraanku.
Aku salah.....aku sadar itu....
Seharusnya aku tak membohongi diriku.... bahwa engkau sehat-sehat saja....
Aku salah.....aku akui itu....
Seharusnya aku tetap di sampingmu berjaga-jaga seumpama kau membutuhkn ku....
Tapi aku salah....aku malah menghindarimu....
Tahukah engkau mengapa?!
Aku takut....sangat takut....terlalu takut....
Engkau pahlawanku, yang terkuat, engkau tak mungkin sakit....tak boleh...
Aku takut....sangat takut....terlalu takut....
Engkau seharusnya tetap kuat....
Aku takut....sangat takut....terlalu takut....
Wajah letih itu....wajah pias itu....
Tubuh lemah itu....tubuh ringkih itu...
Itu bukan Bapak ku.... Bapak ku pahlawan.... Dia kuat.... tak mungkin sakit....
Aku masih terus menyangkal....
Meskipun engkau tak lagi mampu membonceng ku...
Meskipun engkau tak lagi mampu ke kantor....
Meskipun akhirnya engkau hanya mampu berbaring di kamar....
Aku bahkan takut masuk ke kamarmu sekedar untuk menjengukmu.....
Karena engkau tak mungkin sakit..... Aku tak ingin menjenguk orang yang tidak sakit...
Aku masih tetap menyangkal....
Sampai akhirnya aku harus juga masuk ke kamar mu....
Dan kulihat sosok asing itu berbaring di ranjang mu....
Sosok itu bukan bapak ku....
Dia berbeda...benar-benar berbeda....
Aku tak mengenalinya....
Aku semakin ngotot bahwa bukan Bapak ku yang sakit.....
Namun, di saat yang sama aku tau engkau tak akan lama lagi bersama ku....
Aku merasa bahwa engkau akan pergi jauh.....
Dan bodohnya aku.....aku masih tetap dengan penyangkalan ku, bersikeras bahwa engkau baik-baik saja...
Akhirnya, engkau pun diharuskan dirawat di rumah sakit....
Dan akupun terpaksa mengatakan bahwa kau memang sakit....
Tapi aku masih takut....sangat takut....terlalu takut....
Sempat aku hanya memandangimu dari jauh....
Mengamati mu yang hanya mampu menggumam dengan mata terpejam....
Tak juga ku beranjak mendekatimu....
Diam.....diam.....hanya diam....
Dan entah mengapa dalam diam itu aku merasa harus menyampaikan kata selamat tinggal padamu....
Namun....aku tak sanggup....benar-benar tak sanggup.....
Sampai tibalah saat itu....
Ku lihat Ibu ku menangis....meraung....tak pernah sebelumnya....
Ku pandangi wajahmu yang tampak begitu letih....
Ku lirik adik ku yang mulai gusar....
Ku beranikan diriku .... menghampirimu .... meraih tangan mu.... dingin .... lembab ....lengket ....
Ku elus tangan itu....tanpa suara.... masih dalam diam....
Ada perih yg teramat sangat di sini, Bapak,....di dada.....
Aku tak mampu mengucapkannya.......
Maka cukup dalam hati saja......
"Aku rela, Pak. Kalau engkau merasa tidak kuat....engkau bisa pergi sekarang... Aku janji.... Aku yang akan menjaga mereka"
Apakah kau dengar itu, Pak?!.....
Itu janji ku padamu.
Maka, aku harus kuat....
Untuk Ibu dan adik ku....
Maka aku tak mau menangis....
Tak boleh ada air mata dihadapan mereka karena aku memutuskan akulah yang harus kuat....
Namun....di tengah malam, saat aku tak bisa tidur, di sebuah bangku ruang tunggu,
Dan kuyakin semua sudah terlelap.... memandangi wajah polos adik ku yang tengah tertidur. Dia mungkin belum sanggup kehilanganmu, Bapak.....
Aku tak mampu lagi memendamnya....
Akhirnya, aku menangis, Bapak....
Maafkan aku....
Tapi....
Izinkan aku untuk sekali ini saja....
Biarlah ku habiskan rasa sakit ini dulu, lalu akan ku tepati lagi janji ku padamu.
Maka, jadilah aku menangis, bersedu sedan.....
Untunglah hanya sahabatku, yang juga ikut menungguimu, yang terbangun malam itu.
Engkau hebat, Bapak, sahabat ku pun tak ingin kau pergi...dan kami pun menangis bersama....
Tapi....aku benar-benar rela jikalau memang kau sudah tidak kuat.... 
Pergilah....dan kan ku hapus juga air mata ku....
Dan tetap ku jaga janjiku.....
Aku rela.....
Dalam shalat ku di malam di saat aku memutuskan untuk kembali ke rumah, malam terakhir aku melihat mu bernafas, aku meminta lagi pada-Nya Sang Pemilik Ruh...
"Kalau memang Engkau mau mengambilnya sekarang, ambillah. Jikalau itu yang terbaik buatnya, kami rela. Kami akan kuat"
Lalu, aku pun pamitan padamu. 
Kau tampak segar saat itu.
Mereka bilang bahwa kau akan baik-baik saja, jadi aku boleh pulang dulu.
Tapi.... sambil menggenggam tanganmu.... entah mengapa aku merasa bahwa inilah genggaman terakhir. Namun, bodohnya aku, akupun tetap pulang....
Keesokan harinya.... Mentari pagi pun belumlah terbit
Ku dengar dering telepon....
Aku tau.... Engkau telah pergi....
Dan benar....itulah yang terakhir karena engkau tak kan kembali lagi....
Maafkan aku karena aku tak berada di sana, di sampingmu, saat tarikan nafas terakhirmu....
Maafkan aku.... Bapak.
Adikku menangis...pilu....
Sakit....teramat sakit....tapi bukankah aku berjanji padamu, Bapak, aku akan menjaga mereka?!
Maka ada yang harus kuat....
Aku merengkuhnya dalam pelukanku, membelai kepalanya.... tanpa suara....
Mengapa?! Karena kuputuskan akulah yang harus kuat....
Aku menepati janji ku, Bapak....
Aku kuat....
Tangisku tanpa suara.....
Namun...tau kah engkau Bapak?!
Aku tak sekuat itu....
Sampai saat ini, aku tak pernah benar-benar mengakui bahwa kau telah pergi....tak kan bersama kami lagi....
Aku tak sekuat itu....
Aku merindukan mu...
Masih amat sangat merindukan mu
Mengapa?! 
Karena....., tanpa menepikan keberadaan adik tersayangku, seingatku, aku lah yang paling dekat dengan mu.... 
Dalam laporan ingatan yang kutemukan di ujung memoriku, engkau selalu hadir di sana....
Dan salah ku lah, aku tak pernah berterima kasih untuk itu....
Izinkan aku mengatakannya sekarang.....
TERIMA KASIH, BAPAK......
Aku mencintai mu.....
Aku merindukan mu.....

Jumat, 27 Desember 2013

Let Love Lead The Way



Aku hanya mampu mengintip mu dari sebuah celah sempit yang bernama gengsi. Mungkin karena itu kau tidak menyadari keberadaan ku. Dan jika itu adalah sebuah kesalahan karenanya lah aku minta maaf.

“Bagaimana kabar keluarga di sana, Om?”, tanya gadis itu pada pemilik suara di ujung line telepon, di seberang sana.
“Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri bagaimana? Ayah-Ibumu? Kapan kamu ke sini lagi?” balas suara itu.
“Kami di sini juga alhamdulillah dalam keadaan baik. Soal keinginan untuk ke situ.....” gadis itu menimbang sejenak, “saya belum bisa. Masih ada kerjaan di sini.”
“Padahal ada yang merindukanmu di sini....,” suara itu lagi.
Perkataan seseorang di seberang sana itu tak pelak membuat kenangan-kenangan ketika sang gadis menjadi bagian dari keseharian keluarga itu menjelma slide-slide yang berkelebatan di pikirannya. 7 tahun yang lalu, dia yang diterima menjadi mahasiswi dari salah satu perguruan tinggi di kota itu, meninggalkan rumah orang tuanya untuk kemudian tinggal dengan keluarga pamannya demi menuntut ilmu. 5 tahun dihabiskannya dengan keluarga pamannya itu sebelum dia memutuskan untuk kembali ke kota tempat kedua orang tua dan saudara-saudaranya tinggal tepat setelah dia menyelesaikan kuliahnya. 5 tahun mungkin bukanlah waktu yang lama namun juga tak bisa dikatakan singkat untuk mengesampingkan keakaraban yang telah ditawarkan keluarga pamannya itu selama dia menumpang di sana. Jujur, ada rasa rindu untuk kembali ke sana, ke tengah kehangatan mereka. Hanya saja...............
“Halow......,” suara Om nya di ujung telepon berganti suara manja bocah kecil. “Kak Emma....”
“Rifky?” tanya gadis itu memastikan. Bocah itu pastilah Rifky, anak pamannya yang masih berusia 2,5 tahun. Dia memang sudah tak berada di sana saat Rifky lahir, tapi apa sih yang tidak bisa dilakukan di zaman gadget seperti sekarang? Dia sering memantau pertumbuhan adik sepupunya itu dengan berkomunikasi lewat skype, facebook, atau sekedar menengok foto-foto Rifky yang diposting tantenya di instagram. Rifky pun mengenalnya dengan cara yang sama. Hanya sebatas itu, tapi itupun sudah cukup untuk membuat mereka merasa dekat.
“Kak Emma.... Mmmmm....”, suara itu terdengar ragu. Dibelakangnya samar terdengar seseorang sedang memberikan instruksi, lalu.... “Lownan.... Lownan.... Yes!”
“Low-nan?” diulangnya lagi seruan yang terlontar tak jelas dari sepupunya itu dengan kening berkerut.
“Hahahaha.....”, suara tawa Om nya menggantikan suara manja Rifky. Tampaknya Om nya itu telah mengambil alih telepon. “Maksud Rifky itu.... Ronan.... Ronan.... Yes!”
“Ronan. Nama itu.... Kenapa?! Masih?! Belum berhenti juga?! Oooohhhh.... Please come on!” pintanya dalam hati.
“Ko’ diam?” tanya suara di seberang.
“Ampun deh, Om. Rifky itu masih kecil. Jangan diajari yang macam-macam dulu.” Gadis itu berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia sedang tidak berminat membahas soal itu.
“Hahaha.... Justru begitulah cara saya mengajarinya mengucapkan huruf –R-, Emma.”
“Om.... tolong deh, berhenti mengejekku seperti itu. Lagipula kasihan nanti anak orang, tersedak karena diomongin”, pintanya. Dia sebenarnya justru berharap dialah yang dikasihani untuk tak lagi mengungkit nama itu. Mereka tak tahu saja kalau sebenarnya pernah ada cerita diantara mereka, yang menggantung, belum menemukan akhir atau memang sebenarnya tak pernah ada akhir dalam kisah itu, akan tetap mengawang-awang, selayaknya kertas-kertas penuh impian yang digantungkan pada sebatang pohon bernama pohon pengharapan, menanti tuk dikabulkan, entah kapan, sampai akhirnya terlupakan. Terlupakan. Mungkin sang pemilik nama itu sudah lupa akan cerita yang pernah ditulis waktu dengan menyertakan namanya sebagai pelakon wanita untuk mendampinginya. Tapi tidak untuk gadis itu. Dia tak sepenuhnya lupa. Ibarat perjalanan jarum jam, yang selalu kembali pada titik angka yang telah ditinggalkannya, gadis itu pun tak punya pilihan selain berhadapan kembali dengan kenangan itu. Kenangan yang dulu disangkanya akan punah, tak berfosil, setelah dia merangkai kenangan lain bersama beberapa nama yang sayangnya juga berakhir di pohon yang sama, pohon pengharapan. Hanya saja, untuk nama-nama ini, dia menyisipkan waktu, melepaskan ikatannya, menjatuhkannya ke tanah sampai akhirnya disaksikannya sendiri terinjak, terkoyak oleh panas dan hujan. Karenanya, dia tahu, dia tak perlu berharap lagi. Namun, entah mengapa, dia lupa mencari nama seseorang itu, atau memang dia masih ingin berharap? Untuk itukah, dia masih membiarkan namanya tergantung di sana? Entahlah.
“Kamu sudah pernah bertemu dengannya lagi?”
Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Mencoba memanipulasi getir yang terasa. “Belum,” jawabnya lirih. Bibirnya perih namun getir itu tidak juga beranjak.
“Kamu sudah dengar kabar terbaru darinya?”
 Gadis itu berharap bahwa jawabannya adalah belum dan tidak agar dia tak perlu kembali pada kenangan itu. Kenangan yang seharusnya masih menggantung di tempat yang sama. Tetap menggantung di sana sampai dia lupa pernah ada satu nama yang pernah menjadi pengharapannya. Tapi.... kenyataan memang tak selalunya mengabulkan harapan. Pemilik nama itu, yang memang masih terhitung kerabatnya, hadir kembali dalam hidup Emma lewat kabar yang dibawa salah satu tantenya yang berkunjung ke kediaman gadis itu. Lewat tantenya  itulah, Emma tahu sang pemilik nama itu telah menjelma sebagai seorang pria impian, tak hanya tampan tapi juga mapan. Tunggu.... Tampan? Yah.... tak serupawan para model memang, tapi gadis itu masih ingat, kulitnya yang sewarna sawo matang, potongan rambutnya yang selalu cepak demi menyamarkan kekeritingan yang mungkin saja membuatnya tak nyaman memanjangkannya, dan senyumannya yang memikat, manis. Ah, Emma memang tak pernah lupa pada sosoknya yang meskipun tak terlalu tinggi tetapi mampu mengangkatnya, mengawang-awang dan berharap. Dia, yang dengan menyebut namanya saja bisa membuat desir hangat di hati gadis itu, kini kabarnya bukan lagi mahasiswa tapi sudah menjadi pengajar mahasiswa. Seandainya saja dulu tak ada gengsi yang mencegahnya untuk berkata “ya” dan tak ada nama-nama lain yang menginterupsi sehingga mereka berdua bisa berkata berbarengan “baiklah....ayo kita jalani ini bersama!”. Seandainya.......
“Sudah dengar sih dari Tante Maya, tapi memang kami belum pernah bertemu lagi. Nantilah, Om, kalau saya ke sana, sekalian bersilaturahmi dengan dia”. Gadis itu berbohong. Beranikah dia? Tidak. Dia sangsi sesangsi-sangsinya.
“Oh... ya ... Bagus itu. Kami tunggu.”
“Om... kalau begitu, saya tutup dulu ya. Nanti kapan-kapan kita sambung lagi.” Saatnya menghindar agar tak terjatuh dan terperosok lebih dalam.
“Baiklah. Salam sama semua yang di sana ya. Assalamu’alaikum”.
“Iya, Om. Salam juga untuk yang di sana. Waalaikumsalam.” Telepon ditutup. Gadis itu menarik napas panjang. Huuuffftttt....... Kepalanya tiba-tiba pening. Dipijitnya keningnya. “Tidak.... Jangan! Aku selalu punya saran untuk menenangkan orang-orang galau yang datang padaku. Ini jadi tidak lucu ketika aku sendiri yang mengalaminya tapi tak mampu berbuat apa-apa,” bisiknya dalam hati.

                                                                   *****      *****

Ronan Dewanto. Sebenarnya Emma Anindyia sudah tak asing lagi mendengar nama pemuda itu. Namanya acapkali menjadi bahan eluk-elukkan di keluarganya. Ronan yang smart, yang diterima di salah satu perguruan ternama di kawasan Indonesia timur, UNHAS. Ronan yang lowprofile. Ronan yang ramah. Ronan yang bla...bla...bla...   Emma mengenal sosok pemuda itu dari cerita tante, paman dan kerabat mereka lainnya. Ronan dan Emma memang masih terhitung sebagai kerabat. Tapi keduanya belum pernah bertemu. Sebelum pertemuan pertama mereka, Emma masih menganggap Ronan hanya sebagai salah satu kerabatnya. Tak ada yang istimewa dengan itu. Sudah tidak heran lagi, ketika kumpul bersama ada satu orang yang menjadi on the spot, dan dikeluarganya Ronan inilah orangnya.
Sampai tiba hari itu. Ronan yang kuliah di kota tempat keluarga Emma tinggal, pulang ke kotanya untuk libur lebaran. Emma yang kuliah di kota tempat keluarga Ronan tinggal dan sedang tak pulang kampung, berkunjung ke rumah Ronan dalam rangka silaturrahim. Di sanalah Emma melihat Ronan untuk pertama kalinya. Jika memang cinta pada pandangan pertama itu ada, mungkin Emma mengalaminya. Gadis itu melihat sesuatu yang berbeda pada Ronan. Dan entah mendapat kekuatan dari mana, gadis itu menjelma menjadi tak ubahnya detektif wanita on duty. Dia berusaha mencari tahu segala sesuatu yang lebih spesifik berkenaan dengan Ronan. Bukan hanya dari sepupu dan kerabat-kerabat lain yang seumuran dengannya, gadis itu bahkan berhasil mendapatkan nomor telepon Ronan dari ayah Ronan sendiri. Ketika anaknya adalah sasaranmu, maka orangtuanya adalah umpan yang paling ampuh. Emma telah terlebih dahulu dekat dengan keluarga Ronan. Namun, karena mereka berkuliah di kota yang berbeda, umpan yang dilemparkan Emma tidak mampu menarik Ronan untuk menjumpainya.
Berhentikah gadis itu sampai di situ? Tidak. Gadis itu tak kehilangan ide. Dia memberanikan diri menghubungi Ronan setelah terlebih dahulu menyiapkan skenario tentang seseorang yang menghubungi nomor yang keliru, salah sambung. Kali ini Emma berhasil. Ronan menanggapinya. Berkirim dan berbalas pesan berlangsung lumayan sering. Emma merasa mempunyai kesempatan untuk berharap. Pada liburannya, Ronan berjanji untuk menemui gadis itu. Serasa menemukan oase setelah berhari-hari berjalan di tengah padang tandus tanpa tahu akan berujung dimanakah perjalanan itu, Emma menantikannya mewujudkan janjinya. Setelah kepulangannya dari jadwal kuliahnya yang padat di kota lain, Ronan kembali ke kotanya. Mendengar kepulangannya, selama 3 hari berturut-turut, dari waktu dimana senja mengantar mentari tuk rebah sejenak, digantikan rembulan, sampai denting jam dinding berdentang 9 kali, seperti yang dijanjikan Ronan sebagai saat dimana mereka akan bertemu, Emma duduk dalam penantiannya yang resah, berharap sebuah ketukan di pintu dan Ronan ada dibaliknya demi memenuhi janjinya. Namun, tak satupun dari ketiga hari itu, tak sedetikpun dari waktu yang dijanjikannya itu yang sanggup mengantar Ronan mengetuk pintu dimana dibaliknya lah Emma telah menunggu. Satu-satunya yang berani dilakukan pemuda itu adalah mengirimkan berbagai alasan kebelum-hadirannya lewat pesan-pesan singkat yang terbaca di layar ponsel Emma. Sementara itu, bulir-bulir embun yang menggantung di kelopak mata gadis itu ketika membaca kata “maaf” di layar ponselnya, terlalu sesak untuk tak membuncah keluar namun juga terlalu malu untuk mengalir, menjadi penanda ada luka yang belum ingin diakuinya, bahkan sebelum dia membaca keseluruhan pesan yang tertulis di sana. Dia tak butuh alasan. Kata maaf saja sudah cukup untuk menandai ketidakseriusan Ronan untuk menepati janjinya. Itulah yang terpikir olehnya. Terluka kah gadis itu? Tidak. Emma tak boleh merasa telah dilukai karena Ronan memang belum menjanjikan apa-apa selain kedatangannya yang bukanlah urgensi.
Sehari sebelum kepulangannya untuk kembali ke kota tempatnya kuliah, Ronan akhirnya benar-benar datang ke rumah Emma. Bukan untuk menepati janjinya yang lalu, lebih karena Emma punya alasan lain yang berhasil membuatnya datang. Gadis itu, di pagi sebelum mentari menyapa embun yang membuatnya mengering, sirna,  telah mengirimkan pesan untuk Ronan. Sebuah pesan, permintaan tolong. Emma bertanya apakah Ronan keberatan jika gadis itu menitipkan sesuatu padanya untuk disampaikan pada adiknya. Ronan menyatakan kesediaannya mengantar titipan itu. Dan di sanalah dia, berbincang beberapa menit dengan Emma. Pemuda itu tak menyadari, betapa beberapa menit itu berarti beberapa bulan bahkan tahun untuk gadis itu. Setidaknya Emma mempunyai simpanan kenangan tentang perbincangannya dengan Ronan jika dia dan pemuda itu tak lagi bertemu untuk waktu yang lama. Yah... Ronan selalu mempunyai alasan untuk menghindari pertemuan dengan Emma namun Emma menolak untuk menyerah untuk membuat Ronan datang menemuinya.
Ketika kau jatuh cinta, kau hanya punya satu alasan mengapa kau ingin selalu berada di sisinya, ya karena kau tak bisa jauh darinya. Dan seribu satu ketidakmungkinan yang siap menghadangmu untuk tak menemuinya tak pernah cukup untuk menjadi alasan untuk mu tuk mengatakan “tidak” ketika dia bertanya padamu “bisakah kau menemuiku sekarang?” Kau selalu di sana.

*****      *****

Ronan kembali ke kota tempatnya kuliah. Emma masih menggantungkan harapan yang sama. Gadis itu masih rajin menanyakan kabar Ronan lewat pesan-pesan singkat. Berkirim dan berbalas pesan dengan Ronan sudah menjadi ritual bagi gadis itu. Namun, beberapa bulan kemudian, nomor Ronan tak dapat lagi dihubungi. Penjelasan yang sampai pada Emma adalah, Ronan ternyata telah mengganti nomor ponselnya. Setidakpenting itu kah dia di mata Ronan sampai pemuda itu pergi tanpa terlebih dahulu pamit padanya? Dia mulai kehilangan harapan. Harapan yang dulunya terpampang 30 cm jaraknya di depan matanya, kini mulai mengabur, nge-blurr. Emma tak lagi yakin apakah dia masih punya kesempatan untuk mewujudkan harapannya itu.
Serasa bermandi ratusan kelopak mawar merah di depan Menara Eiffel, itulah yang dirasakannya ketika di suatu hari di tahun 2006, kurang lebih setahun setelah Emma kehilangan kontak dengan Ronan, dia mendapat nomor telepon Ronan yang baru dari seorang kerabat. Gadis itu, melalui pesan-pesan singkat yang dikirimkannya untuk Ronan, dia berusaha sekali lagi menuliskan harapannya. Sayangnya, respon yang didapatkannya dari Ronan tak sehangat yang diharapkannya. Kecewa. Emma pun menyerah. Gadis itu tak lagi berani berharap pada Ronan.
Akhirnya, dia menerima perjodohan yang diatur oleh temannya. Dengan hati yang masih separuhnya untuk Ronan, dia menerima seseorang bernama Arya sebagai kekasihnya. Emma tak bermaksud menjadikan Arya sebagai pelarian, toh sebelum Arya memintanya benar-benar menjadi kekasihnya seperti yang disarankan teman Emma, gadis itu telah menceritakan perihal Ronan padanya. Namun Arya sepertinya tak ambil pusing dengan hati Emma yang masih tertambat pada seorang Ronan. Pemuda itu tak keberatan. Mereka pun menjalani hubungan selama 1 tahun sampai akhirnya Emma mengetahui bahwa ternyata Arya bermain dibelakangnya. Arya yang ketahuan selingkuh mencari pembenaran akan keputusannya menduakan Emma. Dia beralasan bahwa gadis itu ternyata benar-benar belum bisa menjauhkan dirinya dari kenangan Ronan. Kalau Emma bisa membagi hatinya, maka gadis itu tidak berhak marah ketika Arya pun memutuskan memiliki kekasih lain. Emma tetap saja merasa dikhianati sampai pada puncaknya gadis itu meminta Arya memutuskannya.
Emma benar-benar terluka. Setelah rasa yang ditawarkannya pada Ronan tak bersambut, dia kembali harus merasakan perih diduakan Arya. Dia merasa harus membalas dendam. Entah pada siapa. Yang pasti dia merasa harus melakukan sesuatu demi meringankan beban di hatinya. Untuk itu, Emma kembali mengiyakan ketika sahabatnya sendiri, Kak Randy, memintanya tuk menjadi kekasihnya. Di saat yang sama ketika dia menjalani hubungan itu dengan Kak Randy, dia pun membuka hati pada seseorang di belahan lain dunia lewat chatting di YM. Seseorang itu bernama Pierre, pemuda dari Perancis.  Sosok Pierre inilah yang memperkenalkannya dengan Perancis sampai akhirnya Emma tergila-gila dan terobsesi pada segala sesuatu yang berbau Paris. Sementara itu, hubungannya dengan Kak Randy hanya mampu bertahan kurang dari 1 tahun. Terlalu banyak ketidakcocokan yang ditemukan Emma pada sosok yang sebenarnya adalah sahabatnya itu. Mereka mungkin memang ditakdirkan hanya sebagai sahabat, bukan yang lain. Akhirnya mereka pun sepakat untuk tak lagi menambahkan kata kekasih  sebagai embel-embel penjelas pada nama mereka. Mereka kembali menjadi sahabat.

*****      *****

Rasanya yang tak bersambut, kisah pengkhianatan Arya dan keinginannya untuk membalas dendam ternyata berdampak buruk bagi kuliahnya. Emma tak dapat berkonsentrasi pada pelajaran-pelajaran di kampusnya. Nilainya anjlok. Gadis itu benar-benar butuh rehat. Akhirnya pada pertengahan 2009 dia mengajukan cuti pada kampus tempatnya kuliah. Emma memutuskan untuk kembali ke kotanya.
Di tengah usahanya menata hati, Ronan kembali muncul. Kedatangannya yang tiba-tiba, meminta sebuah kesempatan untuk mencoba membuat Emma bimbang. Gadis itu ragu takut kalau-kalau hatinya akan berakhir sama, terluka. Namun, Emma juga tak dapat memungkiri bahwa rasa itu masih ada. Diapun menyetujui untuk memberikan kesempatan kedua untuk Ronan. Dan sekali lagi, Ronan berjanji akan menemuinya di rumah. Emma mendapat suntikkan semangat yang sama besarnya seperti ketika pertama kali Ronan berjanji menemuinya. Gadis itu seperti tak kenal lelah, dia menyapu, mengepel lantai, melap kaca jendela dan apa saja yang berpotensi ternoda debu, menyiapkan cemilan, membantu ibunya menyiapkan makanan, dan berdandan sejak pagi. Sebenarnya Emma tidaklah serajin itu. Semuanya dia lakukan semata-mata hanya untuk menyambut Ronan. Namun, sekali lagi, Ronan menyia-nyiakan kesempatan yang diberikannya. Gadis itu harus kembali menelan kecewa ketika sampai pada jam 8 malam, waktu maksimal untuk berkunjung, Ronan tak juga muncul. Pada akhirnya yang datang hanyalah another reason yang disampaikannya lewat telepon. Emma terluka sekali lagi, namun yang ini terasa lebih perih dari yang sebelumnya. Dia memutuskan meluapkan kekesalannya via YM, mengobrol sepanjang malam dengan Pierre, pemuda dari Perancis yang belum pernah ditemuinya. Namun kesal itu  masih ada. Ronan tak pernah datang sekalipun setelah kejadian itu. Perasaan tak dianggap itu terasa jelas sudah. Emma benar-benar menyerah sekarang. Hanya saja dia menolak tuk menghabiskan harinya dengan meratapi kemalangannya. Dia memutuskan untuk kembali melanjutkan hidupnya, melanjutkan kuliahnya.
Sekembalinya ke kampus, Emma yang tinggi semampai, dengan rambut hitam sebahu yang berkilau ketika ditimpa cahaya mentari, serta mata yang melankolis dengan tatapan mengintimidasi, sebuah perpaduan yang menarik, tentu saja tak butuh berapa lama untuk membuat seseorang bernama Saka ingin mengenalnya lebih jauh. Gadis itupun tak keberatan untuk kembali membuka hati. Luka hatinya mungkin belumlah mengering, tapi itu bukan alasan yang bisa dijadikannya sebuah pembenaran untuk menutup hati. Emma mengizinkan Saka untuk membuktikan seberapa ingin pemuda itu menjadi kekasihnya. Dan usaha Saka tak sia-sia. Emma menghargai usahanya dan menerimanya sebagai kekasihnya.

*****      *****

Di tengah hubungannya dengan Saka, Emma mendapat kabar bahwa Ronan datang mencarinya ke rumahnya. Ronan mengira gadis itu masih berada di kota yang sama dengannya. Emma tak bisa menebak apa yang diinginkan pemuda itu lagi darinya setelah berkali-kali kecewa yang diberikannya. Ronan terlalu tidak jelas. Dia tak ingin lagi berharap pada satu-satunya yang bisa ditawarkan olehnya, ketidakjelasan.
Namun ketika bulan puasa tiba, di tahun 2010, Ronan yang sedang berlibur, pulang ke kotanya, kembali menghubungi Emma. Ronan meminta waktu Emma untuk bertemu. Emma yang masih terluka atas semua ketidakjelasan yang ditawarkan Ronan entah mengapa menyanggupinya. Masihkah pengharapan Emma untuk Ronan?
Malam itu, tak seperti sebelumnya, Ronan memenuhi janjinya, dia benar-benar datang. Diajaknya Emma menikmati malam yang dihiasi lampu-lampu Tumbilotohe. Sesampainya di pinggir Danau Limboto, Ronan meminta Emma duduk di sampingnya di antara perahu-perahu tua. Ada jeda yang lama yang melingkupi mereka. Tanpa kata. Mereka hanya saling berdiam diri, bergantian mengamati satu-satu perahu yang tertambat di sana.
“I went to your house couple of months ago,” Ronan akhirnya membuka obrolan setelah 10 menit  kebekuan yang tercipta. Matanya masih menatap perahu-perahu tua itu.
“Hhhmmm... Ya...” Hanya itu yang sanggup terucap dari bibir Emma. Tangannya saling meremas, resah.
“I thought your still there. That day..... I wanted to tell you something....”   Tatapan Ronan beralih pada jemari Emma yang masih saling meremas.
“Yah... I came back here to continue my study...” jelas Emma masih dengan keresahan yang sama.
Ronan memperbaiki posisi duduknya. Diraihnya tangan Emma, digenggamnya. Gadis itu tak berontak. Dibiarkannya kedua tanggannya berada dalam genggaman Ronan. Ditatapnya gadis itu. Sementara pandangan gadis itu sendiri tak sejengkalpun berpindah dari perahu-perahu tua dan riak-riak kecil di danau. Sebenarnya gadis itu tak berani menatap pemuda di hadapannya ini. Dia sibuk menata debaran jantungnya, dia sendiri mampu mendengarnya. Apakah Ronan juga bisa? Bukankah itu memalukan?
“I was little bit upset when I couldn’t find you there.”
“Why?”
“Because I can’t wait. I really need to  ask you.......”
Deggg..... Degggg..... Deggggg...............
“Would you please...........” Ronan berhenti sejenak “be my girlfriend?”.
Emma serasa beku. Serasa dihujani beratus-ratus ice cube, tubuhnya kaku.
“My family likes you. And...... I’m sure your family will give me their blesses too. So......... As our family wish. I would like you to be my future wife. What do you think?”
Slide-slide yang memutar kenangan ketika Ronan pertama kalinya berjanji padanya, membuatnya menunggu lalu mengingkarinya, saat dimana dia mengetahui perselingkuhan Arya dengan menggunakan Ronan sebagai pembenaran, lalu sewaktu Ronan datang kembali hanya untuk membuatnya kecewa untuk kedua kalinya. Ronan... Ronan... Ronan... Bukankah semua yang terjadi padanya hanya karena dia terlalu berharap pada pemuda ini? Sejak 2005 sampai sekarang, 2010. 5 tahun. Pemuda ini perlu waktu 5 tahun untuk memintanya seperti ini? Hanya untuk seorang Ronan, tanpa dia inginkan, dia harus merasakan tidak jelasnya tergantung. Lalu jawaban seperti apa yang harus diberikannya pada Ronan? Perih dari lukanya kembali terasa. Slide terakhir yang muncul adalah kebersamaannya dengan Saka. Yah... Dia sudah bersama Saka sekarang. Pemuda ini sudah terlambat.
“Sorry....,” Emma menarik tangannya, melepaskannya dari genggaman Ronan. “I can not!” lanjutnya sambil berdiri. Gadis itu membelakangi Ronan. “Please....take me home. I wanna go home now!”
Ronan menarik napas pelan dan berat sebelum akhirnya berdiri, mensejajari Emma, berdiri tepat di sampingnya. “Ok... I’ll take you home. Come on!”
Tak ada kata. Lampu-lampu di sepanjang jalan mengawal perjalanan yang berlalu dalam kebisuan itu. Lalu setelah 20 menit berjalan, tibalah mereka pada sebuah jalan berbatu. Sunyi. Hanya diterangi remang dari lampu-lampu jalan. Ronan mengajak Emma istirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan ke rumah gadis itu yang masih menyisakan waktu sekitar 15 menit lagi untuk sampai. Ronan mengajaknya duduk di batu.
“Will you fasting tomorrow?,” tanya Ronan memulai percakapan.
“No... I won’t. I get my pregnant....”, jawabnya tanpa menyadari ucapannya.
“Sorry.... Pregnant?” Ronan mencoba memastikan bahwa dia tidak salah dengar.
“What? Pregnant? Did I say that word?” Emma menyadari kekeliruannya. Pipinya menyemburat merah. Dia benar-benar grogi dihadapkan pada situasi seperti ini. Kegugupannya tak berdaya menyortir kata yang seharusnya terlontar dari mulutnya. Malu. Berharap gelapnya malam akan menelannya, membuatnya tak kasat mata. Hhhuuuffftttt... Andai saja.....
“I heard that word too...” Ronan tersenyum.
“What I meant to say was – I got my period-” jawab Emma sembari berharap itu akan mengurangi rasa malunya. Tak berhasil. Dia terlanjur menunjukkan betapa groginya dia.
“It’s Ok. I know. Don’t worry.”
“Hhhmmm.....”
“Emma....,” Ronan menatap gadis di sampingnya yang masih mencoba memanipulasi kegugupannya lewat jari-jemarinya yang masih saling meremas.
“Ya....”
“Is there any possibility....that you will change your mind, and be my girlfriend?”
“Don’t you remember? We are cousins.”
“No. We are not. We are just relatives,” sanggah Ronan. Dia masih berusaha meyakinkan Emma. “Don’t you know that our big family want us to be together?”
Emma terdiam. Jari-jemarinya basah kini. Keraguannya atas kesungguhan Ronan semakin nyata. “Jadi, mungkinkah semua yang kau katakan sekarang hanya karena dorongan keluarga? Bukan karena kau benar-benar menginginkannya? Begitukah?” bisik batinnya. Gadis itu semakin terluka. Pemuda yang dinantikannya selama bertahun-tahun datang padanya bukan karena gadis itu benar-benar berarti untuknya tapi karena keluarganya mengharapkannya bersama gadis itu. Bisakah dia menerima itu? “Tapi kalaupun dia memintanya dengan hati, akankah aku tega menduakan Saka? Ada Saka sekarang. Aku tahu sakitnya diduakan. Aku tak kan melakukannya. Aku tidak bisa.”
“Emma.... I need your answer.”
“It’s still the same... sorry,” jawab Emma lirih.
Dan.... Sisa malam itu pun kembali diliputi kebisuan. Ronan mengantar Emma pulang. Di sepanjang jalan itu tak ada kata. Selayaknya bibir mereka kaku, dikunci udara malam yang dingin.
   Setelah penolakan Emma, Ronan tak lagi menanggapi SMS dan telepon dari Emma. Sepertinya pemuda itu tak terima atas keputusan Emma. Ronan pun menghilang.... Lagi.... Emma mungkin sudah mulai terbiasa. Ronan.... datang.... lalu pergi.. kemudian datang lagi... namun setelahnya menghilang kembali.
Setelah benar-benar  kehilangan kontak dengan Ronan, Emma berjanji untuk tak lagi memikirkan pemuda itu. Dia toh sudah memiliki Saka. Dia mencoba menjadi kekasih sepenuhnya bagi Saka. Dukungan dan motivasi setulusnya dia berikan agar Saka yang tadinya menghabiskan hampir seluruh waktunya di kampus hanya untuk kegiatan aktivis kampus, juga dapat mengimbanginya dengan kegiatan akademik perkuliahan. Emma berhasil. Saka memang masih aktif sebagai aktivis kampus, namun nilai-nilai mata kuliahnya pun bagus. Emma mencoba menikmati kebersamaannya dengan Saka. Gadis itu sedang dalam perjalanan menjemput kebahagiannya, bukan dengan Ronan, mungkin dengan Saka. Sayangnya.... Mungkin Saka juga bukan jalan untuknya meraih bahagia. Hanya dengan alasan bahwa Saka tak lagi menemukan kecocokan dengannya, Saka memutuskannya. Dalam ketakmengertiannya akan alasan Saka, belakangan diketahuinya bahwa sebenarnya Saka sudah memiliki orang lain di sampingnya. Emma terluka untuk kesekian kalinya. Setelah dia membuang kesempatan untuk orang yang dinanti-nantikannya selama 5 tahun untuk seorang Saka, justru pengkhianatan yang dia dapatkan. Dia tidak bisa menerima itu. Gadis itu kembali teringat pada Ronan. Dia menyesal telah menolak pinangan pemuda itu. Jika saja waktu dapat diputar kembali, Emma ingin kembali ke waktu di mana Ronan memintanya menjadi pasangannya. Masihkah ada kesempatan untuknya jika dia memberanikan untuk balik meminta Ronan? Masihkah Ronan menunggu kemungkinan itu, kemungkinan untuknya merubah keputusannya? Terlambatkah dia jika dia memintanya sekarang?
“What if” stands between “hope” and “regret”.

*****   *****

Hello...
Is it me you’re looking for?
‘Cause I wonder where you are
And I wonder what you do
Are you somewhere feeling lonely?
Or is someone loving you?
Tell me how to win your heart
For I haven’t got a clue
But let me start by saying
I LOVE YOU

Setelah perdebatan panjang dengan hati dan pikirannya, Emma memutuskan akan mencoba. Untuk mendapatkan jawaban dia harus mengajukan pertanyaan. Dia berhak tahu apakah dia masih memiiki kesempatan itu, karena ternyata nama Ronan masih menggantung di pohon pengharapan, dan Emma masih menunggu hari dimana harapannya kan dikabulkan. Namun, jikalaupun memang dia tak lagi diperbolehkan untuk berharap, dia ingin mengetahui itu secepatnya.
Diketiknya penggalan lirik lagu lawas milik Lionel Ritchie, Hello, lalu dicarinya nama Ronan di daftar kontaknya. Ditariknya nafas berat dan panjang sebelum dia menekan tombol kirim. Hhhhhhhh..... Sekarang atau tidak sama sekali. Kirim.
Dengan debar jantung yang berpacu, seakan baru saja mengikuti lomba lari marathon 10 kilometer, Emma menatap layar ponselnya, menanti balasan dari Ronan. Selang beberapa menit kemudian.... Ddddrrrrtttt..... Ponselnya bergetar. 1 pesan diterima. Dibukanya dengan pelan pesan itu. Dari Ronan. Disiapkannya hatinya untuk kemungkinan terburuk sebelum dia benar-benar membaca isi pesan itu.
“I’m sorry. I have a girlfriend already.”
Duuuggggghhhhhh........
Seakan dinding di sekelilingnya runtuh dan menimpanya. Untuk sepersekian detik dia merasa sulit untuk bernafas. Dia memang sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk namun dia tidak tahu kalau rasanya akan tetap sama. Sakit. Sesak. Tapi bagaimanapun, Emma bersyukur, dia sudah lega. Dia sudah menemukan jawaban dari pertanyaannya. Meskipun jawaban itu bukanlah jawaban yang diharapkannya, dia harus menerimanya. Diketiknya beberapa kata. Kirim.
“Ok... I’m glad for you then...”
Ronan mungkin memang tidak berjodoh dengannya. Saatnya dia berhenti mengharapkan pemuda itu. Namun....

*****   *****

Memaafkan bukan hanya sekedar kata “ya”, anggukan kepala atau uluran tangan yang menjabat erat yang kau berikan pada seseorang yang memintanya. Memaafkan berarti tersenyum untuk setiap kenangan pahit yang tercipta karenanya. Jika tak mampu melupakan, maka berdamailah dengan kenangannya.

“Kak Emma, kenapa belum siap-siap? Bukannya check in-nya jam 10 pagi ini ya? Ini sudah jam 8 loh.”
Emma mengalihkan pandangannya dari awan putih yang berarak di luar sana. Dari jendelanya yang terkuak, awan putih itu tampak seperti cotton candy. Dia melirik jam dindingnya. Pukul 8 tepat.
“Thanks, Dea. Ini kan tinggal manggil taksi juga.”
Beberapa menit kemudian, dia sudah siap berangkat. Taksinya pun sudah berada di depan pagar rumahnya. Setelah berpamitan pada kedua orang tua dan adik-adiknya, Emma meminta sang supir taksi membawanya ke bandara.
Seingatnya, cinta yang tak sampai berjodoh akan selalu berakhir dengan kebencian. Itu dulu. Tidak untuk Ronan. Bagi Emma, Ronan adalah rasa sayang yang sedang dalam perjalanannya menemukan rumah. 2014. Emma ternyata masih sama. Nama Ronan masih tergantung di pohon pengharapan itu. Dia belum melepaskan ikatannya. Dia berharap kalaupun Emma bukan rumah yang dicari Ronan, dia rela menjadi salah satu persinggahan untuknya kapanpun pemuda itu merasa lelah dan perlu beristirahat. Kapanpun Ronan menoleh ke arahnya, akan selalu ada maaf untuknya. Apakah ini yang dinamakan cinta sejati? Ataukah inilah salah satu kebodohannya yang nyata? Entahlah. Namun yang pasti, meskipun sekarang dia tak ubahnya kemarau yang merindukan hujan, gadis itu tetap menatap satu kertas bertuliskan nama Ronan di sana, masih tergantung di pohon pengharapan.
“Kepada para penumpang...............”
Panggilan di ruang keberangkatan membuyarkan lamunannya. Gerbang pun telah dibuka. Maka di sinilah dia, dengan langkah pasti, Emma bertolak ke suatu tempat bukan untuk melupakan Ronan, hanya mencoba mencari cara berdamai dengan kenangannya. Dan Paris adalah pilihan pertamanya.   
"Untuk mu, aku percaya, jika cinta memang ditakdirkan ada di antara kita, maka cinta itulah yang akan menuntun kita, mencari jalan, menyatukan kita. Di saat itulah aku akan kembali ."