Minggu, 16 September 2012

A dialogue....

"Are you Ok?"
"I'm fine..."
"You don't look fine."
"Maybe I don't look fine but I do feel...fine."
"No you are not."
"................"
"Still thinking of him?!"
"And your him refers to....?!"
"Come on, you know exactly who I'm talking about. Just don't lie to your heart. It will hurt you deeper."
"Do not pretend that you know everything about me."
"No I don't. I just care about you and I think it can be a good reason to stop you from hurting your self."
"Don't be so bother cause I don't feel like I'm hurting myself."
"Lie to your heart is as same as hurt yourself."
"Heh?! You told me. That is just your assumption."
"Lips can lie but eyes can not."
"Don't say that you can read what in my eyes. That's silly."
"I don't need to read it, that cold gaze told me."
".................."
"Share your grief is not a sin. As your friend, I just want to help relieve some of your burden. If you let me to..."
"What do you like to know?!"
"What exactly happened to both of you?"
".................."
"Ok... It's fine if you......."
"If I have an answer for it, I would not end like this......... It's not me that doesn't want to answer all the questions that come for me. I just haven't find the reason why. If you want to help me relieve my burden, please just sit there, give me your smile and that will be more than enough. Don't you know, you hurt me more by keep questioning."

Huh Gak(허각) - Whenever You Play That Song (ft. LE (of EXID)) MV |HD|

Sabtu, 05 Mei 2012

Lee.......

Pukul 22.00

Dalam kesendirian, berteman laptop, dan tugas-tugas kantor yang menumpuk.

Play the playlist on.......

Naff, Sheila on 7, Adele, Jessie J, Celine Dion, mengalun tanpa jeda, nyaris tak terdengar, hampir tak digubris. Gadis itu terlalu berkonsentrasi dengan tumpukan tugas. Sendiri. Sebenarnya suara-suara itu hanya untuk memanipulasi kesendiriannya. Lalu.....terdengarlah simfoni teduh itu. Batas Asaku-nya Siti Nurhaliza membuatnya melirik playlist, refleks tangannya menaikkan volume, tugas-tugasnya sejenak terlupakan, berganti mencerna setiap baitnya....

Bila kutercipta dari tulang rusukmu
Mengapa kumampu sempurnakan hidupmu
Bila ku ada karena kau ada
Mengapa kau tak bisa sendiri saja


Seminggu sebelumnya......
Pukul 23.20

Drrttt...drrrttt....
Pesan masuk. Lee, nama yang tertera di layar.
Dahinya mengerut.... Orang aneh itu, yang sejak beberapa bulan lalu pesan-pesannya mewarnai inboxnya. Dia tak ingat pernah kenal dengan nama "Lee", namun, entah apa yang membuatnya selalu meladeni pesan-pesannya. Setelah perbincangan aneh yang menyinggung masalah hati, dia menghilang tanpa penjelasan. Sebenarnya dia tak hendak ambil pusing tapi tak dapat disangkal dia sedikit terusik. Gadis itu menyadari satu hal, orang itu hanya satu dari sekian orang kurang kerjaan yang entah untuk alasan apa mempermainkannya. Dan orang seperti itu, pastilah perlu dibasmi; dimusnahkan. Namun yang terbaca kemudian membuatnya terlibat lebih dalam dengan permainan kata-kata yang disodorkan sosok tak kasat mata itu.

"Ada tanya yg tak perlu dijawab, namun harus dimengerti dengan sendirinya, Queen."
 
Jari-jarinya sibuk mengetik. Sedikit emosi, tuts-tust mungil itu diperlakukan bar-bar.

"Aku tak secerdas itu untuk mengerti sesuatu tanpa penjelasan." Tombol send ditekan cepat, masih dengan kekuatan penuh.

"Queen....ini masalah hati, sulit untuk menjelaskannya. Kau hanya perlu tau, aku tidak main-main."


Reff:
Dalam teguh tak larut belaian
Ranum sahaja bukan hiasan
Untaian cinta gapai genggaman
Yakinkan mimpi dalam iman

Ditengah asyiknya dilenakan simfoni indah itu.......
Drrrrttt....drrrttt....
Pesan masuk. Kembali, nama Lee menghiasi layar cellphonenya.

"Berharap menemukanmu di bilik kelam mimpiku
Puas pun walau hanya mampu menatap siluetmu
Tak bisa ku sentuh sekarang,
Namun, ketika saat itu tiba maka kaulah permaisuriku....
"

Matanya mendelik. "Apa-apaan ini? Maksudnya apa? Maunya nih orang apa sih?". Jarinya kembali sibuk, masih dengan kemarahan yang sama, tuts-tust itu tetap diperlakukan bar-bar.

"Maaf ya, tidak bermaksud kasar, tapi.... Aku tidak mau kau jadikan objek kegilaanmu!" Terkirim.

Diterima. "Jika berharap untuk menghabiskan sisa hidupku kelak hanya denganmu adalah sebuah kegilaan, maka aku rela menyandang predikat gila itu."

"GILA!!!!!!!." Terkirim.

Batasku sadari raut kodratku
Asaku menari terbalut sorbanmu
Lembutnya jiwa sambut nestapa
Terngiang syahdu iman di dada

Setahun sebelumnya.....

Malam terlihat kesepian, tanpa cahaya bulan dan bintang...... Di beranda rumahnya, gadis itu tak sendirian, sahabat tercintanya, Malika, si sweety, yang pusing sendiri melihat kesendirian sahabatnya itu di usianya yang dua bulan lagi memasuki 28 tahun sedang memberikan penawaran untuknya.

"Mau cari yang bagaimana?! Aku punya banyak stock. Yang cuakep ada, yang berondong ada, nah ini yang biasanya paling laku, tajir and sudah punya jabatan. Tinggal pilih, nanti aku kenalin"

"Tak ada kriteria. Ketika dua hati bilang cocok, maka merekalah yang kan menemukan jalannya sendiri. Akan ada waktunya."

"Ayolah.....aku dah capek-capek nyariin kandidat yang sekiranya bakal kamu suka, liat dulu deh....nih...apalagi yg dah mapan ini nih" Senyum manis sosok asing terpatri di selembar foto yang disodorkan Malika padanya.

"Bukan kemapanannya yang menjadi prioritas, sweety...." Gadis itu hanya meliriknya sebentar, tampak tak berminat. Tangannya masih betah menyilang di depan dada bahkan merapatkannya demi mencegah dinginnya malam merasuk lebih dalam dan membenarkan kekhawatiran Malika bahwa dia memang kesepian.

"OK, kalau mau yang masih dimodalin juga banyak, tapi jangan panggil aku sahabatmu kalau aku rela menyerahkan mu pada orang seperti itu. Kamu tuh di umur segini cocoknya sama yang mapan". Gadis berambut lurus sebahu itu tak mau menyerah melakukan penawaran. Dikeluarkannya semua stock yang dimilikinya. Beberapa foto berada dalam genggamannya.

"Mapan?! Tak perlu, yang penting bisa jadi imam. Sweety, kamu nd' ngerti. Kalau hati yang telah memilih, sulit untuk menolak. Mau mapan atau masih dimodalin sekalipun, ketika aku bilang ya, asalkan dia menjanjikan untuk mengimamiku, di saat itulah aku harus menerimanya apa adanya."

"Melow banget sih....nd' seru! Huh......"

"Seru lagi..... Justru di situ seninya, nyari orang yang bersedia mengimami sekarang susah loh...."

"Ah....whatever lah....". Malika sedikit kesal mendengar penolakan-penolakan sahabatnya itu. Baru diketahuinya bahwa menjadi Mak Comblang tak semudah perkiraannya. Bukan tanpa alasan Malika begitu gencar mencari pasangan untuk sahabatnya itu. Yang diketahuinya, gadis itu terlalu menutup diri, mempunyai banyak teman namun sahabat tempatnya berbagi hanyalah dirinya. Sementara tiga bulan lagi dia akan menjadi sorang istri, yang artinya, takkan punya waktu sebanyak ini lagi untuk sahabatnya. Dan karena dia begitu menyayangi sahabatnya itu, dia tak kan tega meninggalkannya sendirian. Inilah usaha terakhirnya, namun tampaknya usahanya ini pun menemui jalan buntu.


Bila cerita tak lagi ceria
Mahligai cinta merona terlena
Senada iman kusimpan derita
Kuatkan hati bersimpuh pada-Nya...


Sebulan kemudian......
Pukul 22.00
Kembali menikmati kesendirian....
Drrrttt....drrrttt.... Pesan masuk. Lagi, Lee.

Queen....ketika kau ragu padaku.... maka lihatlah sunset.....
Yang setiap senja kembali, memberikan kesempatan pada malam untuk bertahta,
Esoknya, dia pasti datang lagi, tak pernah ingkar janji....

Haruskah aku percaya sementara aku tak mengenalmu?! Tombol send telah ditekan. Terkirim.

Diterima. Kau dan aku bisa sama-sama belajar untuk saling mengenal ketika kau telah ku syahkan menjadi permaisuriku. Untuk saat ini cukuplah kau tau saja bahwa aku ada.

Lalu?!

Aku belum bisa datang padamu sekarang.... Untuk menjadikan mu permaisuri, maka aku harus terlebih dahulu menjadikan diriku seorang raja. Dan jikalau seandainya, jawabanmu adalah "ya", akan berlipat gandalah motivasi ku. Maka akan kutanyakan sekarang. Maukah kau menjadi permaisuriku?!

Gadis itu terdiam. Terasa ada yang menggelitik perutnya. Bisakah dia percaya?! Dia belum bisa menjawab. Ada takut yang teraba, samar, namun begitu mengganggu. Hanya saja tak bisa dipungkiri, sudut hatinya yang lain ingin mencoba.


Esok harinya....
Pukul 00.20, setelah bertanya pada Rabbnya, dalam khusyu' tahajuddnya... Seulas senyum mampir di kedua sudut bibirnya. Indah. Masih dengan senyum itu, yang setia mengawal imaginya, dia mengambil cellphonenya, mengetik beberapa kata. Bismillah...........

Dikirim. Aku akan menunggu.

Diterima. Terima kasih, Queen.

Setahun setelahnya....

Drrrttt....drrrttt.... Pesan masuk. Lee.

Queen, maaf telah membuatmu menunggu....
Seperti janji ku, aku akan datang saat aku telah menjadi raja.
Setidaknya menjadi raja bagi keluargaku
Maka, tunggulah aku di pintu rumahmu.
Jangan kecewa ketika aku tak seningrat para Sulthan,
Jangan mundur walau aku tak segagah pendekar jawara
Karena akan kutanyakan sekali lagi.....
Nadya Syafira Maharani, maukah kau menjadi istri ku?!
                                              Dzikrullah Aliansyah (Lee)

Mata gadis itu menghangat oleh genangan air yang muncul malu-malu, menggenang di kedua sudutnya, sampai akhirnya tak terbendung.  Dia menangis, bukan karena sedih. Dzikrullah Aliansyah. Kak Lian. Sosok yang sudah sejak dulu dikaguminya, Kakak sahabatnya, sewaktu SMA, Azka, yang telah bertahun-tahun kehilangan kontak dengannya sejak kepindahannya dari kota kelahirannya. Lalu bagaimana semua ini bisa berjalan seperti ini?!

Ada tanya yg tak perlu dijawab..... Queen.

Diketiknya sebuah balasan. "Bismillah....ya, aku mau, Kak..."




Allahu Akbar..... Pada waktunya, akan selalu ada cerita bahagia.
(Untuk mu yang masih menunggu, percayalah...... cerita mu akan indah pada waktunya) ^_^

Kamis, 29 Maret 2012

Tentang Ku (yang kebenarannya masih perlu dipertanyakan)

#Sekedar koreksi (untuk ku?).... #

Seseorang pernah bilang padaku bahwa sebenarnya pertama kali dia bertemu denganku, kesan yang didapatkannya adalah....... (Jreng....jreng.... #backsoundnya#) "Betapa menakutkannya aku......." Oh ya?! Adakah tampang kriminal di wajahku?! Atau apakah aku tampak seperti hantu bahkan penyihir?! Aaaiiissshhhh. Tapi....tak apalah....baru seorang ini yang bilang..... Tak jadi masalah. Dan ku rasa itu hanya penilaian sesaat toh terbukti bahwa aku memang tidak semenakutkan itu.... Mengapa?! Karena orang yang tadinya beranggapan seperti itu justru menjadi sahabat terbaikku sekarang..... ^_^

Saat aku lupa bahwa ada anggapan seperti itu tentangku tiba-tiba di suatu siang yang amat terik, saat rehat dari aktifitas yang melelahkan, sapaan halus dari mas penjual es teler yang kebetulan jualannya menjadi pilihan penghilang dahagaku membuatku teringat kembali... "Senyum donk, mbak!" sambil ketawa-ketiwi.... What?????????? Kenapa coba bisa-bisanya tuh mas-mas nyuruh senyum segala?! Merenung sejenak. Artinya ada yang salah dengan ekspresi wajahku. Hhhhhhmmmm...... Memangnya kalau tidak senyum tampangku kayak mau nelan orang?!

Belum berhenti sampai di situ. Di suatu pagi yang cerah, aku menikmati perjalanan ke tempatku menghabiskan seharian waktuku setiap harinya. Pandangan lurus ke depan, menghitung setiap langkah yang telah ku lewati. Hampir setiap pagi aku melewati jalan itu. Sebuah jalan kecil, hanya kendaraan roda dua yang menjadi sainganku (eh..... roda tiga juga, becak). Hampir tiap pagi pula aku bertemu dengan Bapak pemilik salah satu warung ikan bakar yang berjejer di sepanjang jalan di sana. Tak pernah ada percakapan sebelumnya karena aku memang cuma numpang lewat. "Permisi....permisi". Namun....pada suatu hari....ketika aku lewat di depannya, saat dia sedang sibuk mengipasi ikan bakarnya, dia memandang ke arahku lalu.... tak ku sangka kalimat yang terbahasakan darinya adalah..... "Janganko marah-marah kalau jalan ko. Kau ka kalau jalan ko kayak orang marah-marah!" (Dengan dialek Makassar yang kental) Wuuuiiihhhh....... I was shock...... Yang bisa ku lakukan hanyalah nyengir kuda ke arahnya berharap itu akan mematahkan persepsinya tentangku yang katanya terlihat selalu marah. Is that true?! Ooooohhhh...... No...no...no....
Oke....ngaku...masih ada lagi.... Temanku yang lain lagi. Dia memintaku untuk sering-sering tersenyum. Tanya mengapa. Jangankan pas waktu diam dan bengong, katanya senyumku pun terlihat seperti senyum pemeran antagonis. Ckckckckckckckckck...... Separah itukah?!  Am I look so scary?!

Jujur.... aku orangnya memang moody. Kadang sangat betah untuk diam tapi tak jarang juga bisa sangat cerewet. Dan percayalah, aku tak semenakutkan itu. Aku bisa jadi teman yang baik ko'. Hehehehehehe....
 
Sekali lagi, aku bukanlah orang yang menakutkan. Mungkin memang terlihat jutek. (Eiiitttssss....ini pun bukan aku yang bilang, menurutku sih, aku biasa aja. Hehehehehe..... Pembelaan.) Mungkin karena diam ku yang menimbulkan anggapan seperti itu?! Entahlah. Yang pasti aku orang baik-baik. Mengapa?! Karena aku tidak suka makan sabun. Wkwkwkwkwkw... Aku hanya seorang chocolate lover. Memakan segala olahan makanan berbau cokelat. Chocolate bar, chocolate cake, chocolate candy, ice cream chocolate, yang penting cokelat.

Oya, soal diam bukan karena bisu, hanya saja.....lebih merasa nyaman dengan itu, tapi bukan berarti tak butuh teman ngobrol, so....tak perlu ragu, asal punya bahan, sodorkan padaku, kalau cocok mungkin malah kita akan bicara tak putus-putus. ^_^ Tapi memang sih, lebih banyaknya aku ngobrol sama buku and novel-novelku. Tenggelam dalam setiap kata yang terangkai menjadi cerita dan aku terhanyut di dalamnya. Saat itu aku diam. Soal saat-saat diam ku yang lain.......mmmmm.....mmmmm.....aiiissshhh.... Entahlah bagaimana prosesnya. Pokoknya ada saat dimana maunya diam saja. (Untuk ini, jadi ingat adik ku yang sering marah-marah mengira aku mengacuhkannya saat dia bercerita. Hehehehehe....) Tapi aku tidak yakin bahwa ketika aku diam maka akan tampak seperti ada dua tanduk merah di kepalaku... Benarkah?! (Denial version)

Let me know.... What do you think?!.....


 All About Me

 

Inilah caraku menikmati indahnya hidup. I LOVE CHOCOLATE!!!!!!!!




Terima kasih untuk mereka yang telah menemukan ini. Hehehehehehehehe.......


Membaca itu wajib. Buku-buku ku adalah hartaku.
Ini caraku bercerita.

Masak.....masak..... Farah Quinn wanna be! Uwwwweeekkkk.... Setidaknya bisa bikin makanan yang bisa dimakan lah. Hhhhmmm. Resep baru apalagi yang bisa dipraktekkan?!
Kira-kira seperti inilah caraku menghabiskan waktu senggangku. ^_^

Ketularan virus teman-teman yang hobby fotografi. Awalnya cuma iseng. Minjem kamera. Coba-coba. Malah ketagihan. Hehehehehehehehe.....



















Selasa, 27 Maret 2012

Jika penat itu mulai meraja inginkan sesuatu tuk menyegarkannya, walaupun hanya sepercik air.............






Wwwwuuuuiiiihhhhh........... Segarnya....... Serasa pengen nyebur...... (Celingak-celinguk..... hunting lokasi........... Hhhmmmmm....... Nihil. Yang ada cuma jajaran gedung-gedung tinggi. Aku kehilangan mu....... Sungai...... Hiks....hiks....hiks....)


NB: Bagi yang merasa memiliki foto di atas, saya tidak bermaksud menyalahgunakan ko'....... Hanya ingin turut merasakan kesegarannya. ^_^

Senin, 20 Februari 2012

Tentang Rasa

Pukul 10. Terhitung masih pagi memang, namun teriknya sinar mentari sudah mampu menggelapkan yang putih dan menggosongkan yang hitam. Cuaca yang membuat gerah dan rencananya yang dipastikan batal sebenarnya membuatnya malas kemana-mana. Namun, sebagai tetangga yang baik, mendengar tetangganya sakit, gadis itu pun mau juga menjenguknya. Toh rumah tetangganya juga tepat di samping rumahnya. Tak butuh banyak tenaga untuk sampai ke sana.  Maka disanalah dia, di depan pintu rumah.
 
"Assalamualaikum, Bunda", sapanya pada wanita paruh baya yang tengah sibuk mencatat resep yang didemokan di TV.
 
"Waalaikumsalam", balasnya tanpa menoleh, tak hendak tertinggal satu bahan pun untuk resepnya.
 
"Aga dimana Bun?!" Wanita itu tak menjawab, hanya tangan kirinya saja yang diangkat menunjuk ke arah halaman belakang. Sadar telah mengganggu ketentraman Bunda, gadis itu bergegas ke tempat yg telah ditunjukkan. Di sana, dia menemukan Aga tengah berbaring di atas sebuah bangku panjang di samping kolam renang. Layaknya seorang model untuk iklan susu penambah nutrisi khusus cowok, bertelanjang dada, menantang matahari, memamerkan otot-otot perutnya yang memang terlihat kencang. Matanya tertutup, namun gadis itu tahu, cowok itu tidak tidur.

"Kata Bunda kamu lagi sakit. Trus ngapain berjemur di sini?!", tanya gadis itu. Dia berdiri di samping Aga, berkacak pinggang. Tak ada reaksi. "Ga!", nyaris berteriak, tak sabar menunggu respon cowok di hadapannya.
 
"Hobby banget ganggu orang". Datar, tanpa membuka mata.
 
"Aku berniat baik mau menjenguk kamu", Susah payah gadis itu menahan emosi supaya tidak mudah terpancing. Sejak dari rumah dia telah menyiapkan hati untuk lebih kebal mengingat kelakuan makhluk di depannya ini yang memang selalu tak terduga. Membatalkan janji secara sepihak adalah warning bahwa hatinya sedang tidak on pada tempat yang seharusnya.
 
"Aku nggak pa-pa, nggak perlu dijenguk. Pulang saja". Tetap datar, namun terasa begitu keras menampar ego gadis itu.
 
"Iiiiihhhhh....." Gadis itu menghentakkan kaki, gemes. Suntikan kekebalan yang dipersiapkannya ternyata tak mempan untuk menghadapi orang seperti Aga. Kenal bertahun-tahun dengan cowok itu bukan alasan untuk terbiasa dengan sikap anehnya. Kadang acuh-tak acuh, cuek, kasar, namun adakalanya begitu perhatian. Moody, mungkin Aga termasuk dalam tipe seperti itu. Dan bisa jadi dia ini sudah dalam tahap kronis, tak tertolong lagi.
 
Gadis itu kenal dengan Aga sejak 8 tahun lalu. Waktu itu, keluarganya baru pindah dari Semarang. Menurut peraturan tak tertulis yang entah siapa pemrakarsanya dan berlaku sejak kapan, tradisi untuk berbasi-basi dengan tetangga baru mutlak adanya. Maka dua hari setelah kepindahannya, di sanalah mereka, di rumah tetangga samping kanan rumahnya. Membawa serta gadis kecilnya, Zee, yang saat itu baru berusia 12 tahun. Tak ada perbincangan yang dimengertinya, semuanya berlalu membosankan yang membawanya bertemu dengan Aga, bocah laki-laki tanggung, anak si pemilik rumah, yang usianya setahun di atas Zee. Pertemuan pertama yang tak bisa dibilang menyenangkan. Pertemuan pertama yang membuat gadis kecil itu tahu bahwa ada orang setakbersahabat Aga. Namun, kenyataan bahwa mereka adalah tetangga terdekat dan bersekolah di tempat yang sama mengharuskan sebuah keakraban pun tak sengaja terjalin sampai saat ini. Akan ada hari dimana Zee mencak-mencak karena gemes mendapati sifat cuek dan tak berperasan Aga. Atau akan ada pula saat dimana Aga emosi, marah-marah tidak jelas, ketika Zee tidak ada saat dia membutuhkannya. Kebutuhan yang benar-benar membuat Zee merasa diperlakukan tak manusiawi. Bayangkan saja, jika Aga sedang bad mood, cowok itu akan menelponnya tanpa kenal waktu. Bahkan pernah di pagi hari, Zee pun baru saja bangun, tak memberikan kesempatan untuk Zee mandi dulu, Aga memaksanya menemaninya berkeliling dengan Kawasaki Ninjanya, lalu akhirnya berhenti di satu tempat, dia hanya berbaring, dengan posisi terlentang, dengan kedua tangan menyilang menyangga kepalanya, menutup mata, betah berjam-jam, tak bergerak, tak perduli betapa gondoknya Zee dianggurin, dibiarkan begitu saja. Seberapa sering pun gadis itu protes, maka yang didapatnya hanyalah tatapan mengintimidasi yang entah menggunakan kekuatan sihir apa selalu berhasil mengunci Zee hanya puas pada desahan nafas panjang. Dan hari ini pun, sama seperti bad day-nya Aga yang lain, Zee kembali harus menahan geram diperlakukan seperti itu. Sudah bertahun-tahun namun tetap takkan ada kata terbiasa.
 
Berniat meninggalkan Aga sendirian, gadis itu pun memutar badan,. Dia sedikit terlonjak mendapati seseorang berada tepat di depannya. "Kak Arif?!".
 
Sosok tampan berpostur tegap dengan mata teduh itu tersenyum, "Maaf, kaget ya?!", tanyanya masih memamerkan senyum sempurnanya. Zee menggeleng, kikuk. Reaksi seperti inilah yang selalu muncul ketika berhadapan dengan sosok Arif. Arif adalah kakak Aga satu-satunya. Kakak yang selalu dikagumi Aga. Kekaguman Aga pada sosok itu tanpa sengaja ditularkannya pada Zee. Dan tanpa sadar, gadis itu membangun persepsi bahwa Arif adalah sosok sempurna. Akibatnya, tiap kali Zee bertemu dengannya, kekikukan seperti inilah yg akan tercipta. Gadis itu mengakui, dari tampang, kakak beradik itu sama-sama menarik. Arif dengan senyumnya yang menawan dan Aga dengan tatapannya yang membius. Tapi, ditilik dari perilaku, Zee mengibaratkan sosok dihadapannya sebagai malaikat, berbanding terbalik dengan Aga yang tampak seperti pembangkang akut yang seratus persen akan ditolak surga. Bagaimana mungkin mereka bersaudara?! Zee pun tak habis pikir.

"Kenapa lagi?!", tanya sosok tampan itu, matanya memandang ke arah Aga yang tetap pada posisi semula. Zee mengikuti arah pandangannya. "Huh....kurang ajar!", tak sadar Zee nyaris berteriak mengingat perlakuan Aga tadi. Mata Aga yang tadinya tertutup tiba-tiba terbuka. Mencari..... kemudian berhenti begitu menemukan dua bola mata bening milik Zee, memandang tegas mata itu, membuatnya terkunci tak bergerak.
 
"Kata sekasar itu tak pantas keluar dari mulut seorang gadis". Masih datar. Namun tatapan itu berkata lebih dari cukup. Zee melihat kemarahan di sana. Untuk beberapa detik mereka terdiam, menetralisir rasa. Rasa yang selalu sulit untuk dimengerti.
 
"Yuk...aku antar ke toko buku", Arif mencoba menyelamatkan Zee dari api tak kasat mata yang menyala di antara mereka. "Kemarin kamu bilang mau ke toko buku kan?! Kamu liat sendiri, Aga tampaknya sedang tidak enak badan. Aku saja yang ngantar". Gadis itu baru ingat. Hari ini seharusnya Aga mengantarnya ke toko buku seperti janjinya minggu lalu. Setengah jam dia menunggu Aga di rumah, sosoknya tak juga muncul. Ketika dia menghubunginya ke rumah, Bunda bilang Aga sedang sakit. Dengan niat baik menjenguk, Zee datang dengan damai, namun tak disangka sesampainya di sana hanya perlakuan tak menyenangkan yang didapatkannya dari Aga. Untunglah masih ada Arif yang entah kebetulan atau apa, dia selalu hadir sebagai penyelamat.
 
Zee beralih menatap Arif setelah Aga memutuskan kembali menutup matanya. Dia mengangguk, mengikuti Arif meninggalkan Aga yang kembali ke dunianya. Dunia yang sebenarnya selalu coba dimasuki Zee demi mencari sosok Aga yang lain yang tak ingin disangkalnya selalu ingin ditemuinya.

************

 
"Kamu dan Aga sebenarnya statusnya apa sih?!", tanya Dea, sahabatnya di kampus yang tau ada rasa yang rumit yang tak tergambarkan antara mereka berdua. Pertanyaan itu tak ayal hampir saja membuatnya memuntahkan kembali mie goreng yang baru saja disendoknya ke dalam mulutnya. Dia terbatuk. Dea menyerahkan segelas teh hangat padanya. Senyumnya terlukis nakal di kedua sudut bibirnya. Matanya menyisir seisi kantin, memberikan kesempatan untuk Zee lepas dari pengamatannya, merangkai jawaban.
 
"Hubungan apa maksudnya?", tanyanya berlagak bodoh setelah berhasil menelan mie gorengnya.
 
"Ya terus saja seperti itu....menyangkal.... Zee....bukan sahabat namanya kalau tidak tau masalah yang tengah dihadapi sahabatnya."
 
"Masalah?! Apa aku terlihat seperti sedang punya masalah?! Ngarang. Kami.....sahabat. That's it. OK?!"

"Ya...kamu memang terlihat seperti sedang punya masalah. Masalah hati. Dan asal kamu tau, aku bukan tipe orang yang percaya ada persahabatan antara cowok and cewek"
 
"Ckckckckckckckc.....persahabatan tak mengenal gender, Dea".

************

Zee duduk santai di beranda rumah, dengan novel ditangannya, tak dibaca, dia lebih terhanyut oleh belaian lembut angin yang memanjakan. Di atas meja, tiga bungkus kosong Beng-beng tergeletak, menjadi bukti betapa gadis ini maniak coklat. Jika sedang suntuk, coklat selalu jadi penghibur setia. Dan hari ini, dia benar-benar tak hendak melakukan apapun. Lalu terdengar lah Marry You-nya Bruno Mars yang juga ringtone hp-nya.
 
"Keluar yuk", suara Aga. Rumah mereka yang hanya dipisahkan dinding pun tak berhasil mengurangi beban kerja cellphone. Keduanya lebih nyaman menggunakan benda itu untuk berkomunikasi daripada harus saling mengunjungi meskipun hanya terpisah jarak tak lebih dari 5 meter. Teknologi memang membuat manusia menjadi pemalas. Ataukah mungkin keduanya memang lebih nyaman tak saling bertatapan langsung, mengantisipasi rasa yang sulit dimengerti yang mungkin kan hadir. Entahlah.

"Malas...", jawabnya jujur.
 
"Kenapa?! Sakit?!"
 
"Nggak, hanya malas"
 
Tit....tit....tit.... Terputus. Dahi Zee berkerut. Heran. Tak biasanya Aga seperti itu. Seringnya dia akan memaksa Zee menemaninya. Tak terima alasan apapun. Zee harus pergi bersamanya. Titik. Namun hari ini, hanya dengan alasan malas, Aga tak mengoceh lagi. Diletakkannya hp-nya di atas meja di sampingnya.
 
"Es-krim?!" Aga tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Tangan kanannya menyodorkan Magnum Classic, dia sendiri sedang menikmati segelas coklat panas yang dipegangnya dengan tangan kirinya.
Zee menatapnya takjub. Melihat gadis dihadapannya hanya diam sambil menatap aneh padanya, Aga menarik kursi di samping Zee, menaruhnya tepat di hadapan gadis itu lalu duduk di sana.
 
"Mau tidak?!", tanya Aga lagi. Tangan kanannya menggoyang-goyangkan Magnum itu tepat di depan mata Zee. Aga tau gadis dihadapannya itu, selain maniac coklat, juga pencinta es krim sejati. Dia tak mungkin menolak godaannya. Dan benar saja, Magnum itu sekarang sudah berada di tangan Zee. Beberapa detik kemudian gadis itu tak lagi peduli apapun, sibuk menikmati es krimnya tanpa menghiraukan Aga yang tanpa diketahuinya menatapnya tak berkedip. Selalu seperti ini. Rasa nyaman yang sama. Rasa itulah yang didapatkannya setiap kali bersama Zee. Gadis itu, dengan caranya sendiri, entah bagaimana mampu memberikan kenyamanan untuknya. Untuk itulah, setiap kali dia merasa suntuk, dia butuh Zee untuk menenangkannya. Dan itu harus karena hanya bersama gadis itulah dia benar-benar mendapatkan ketenangan. Itu pulalah alasan kenapa dia bisa berada di sini sekarang.
 
Zee menikmati jilatan terakhir es krimnya. Tak rela kehilangan setetes pun. Namun ujung matanya masih mampu menangkap pergerakan Aga yang sibuk merogoh saku celana kargonya. Beberapa detik kemudian dia berdiri, melangkah menjauhi Zee. Es krim yang tadinya berhasil mengalihkan dunianya kini habis tak bersisa, membuatnya mampu memfokuskan diri pada sosok tegap di depannya yang kini sedang memunggunginya.
 
"Ya Rin?!" Aga menjawab panggilan di seberang. Terdiam lama. Yang terdengar kemudian oleh telinga Zee hanyalah tarikan nafas berat. "Baiklah, aku segera ke sana". Aga mengakhiri percakapan. "Aku balik dulu ya" Tanpa memandang ke arah Zee, Aga berpamitan, lalu menghilang. Zee menarik nafas, lebih berat dari tarikan nafas Aga yang tadi di dengarnya. Sepuluh menit kemudian raungan Kawasaki Ninja Aga memenuhi gendang telinga Zee memaksanya melirik ke arah teras rumah Aga yang dapat dilihatnya dengan jelas dari tempatnya duduk. Detik berikutnya, sosok itu melintas cepat, berlalu dari jangkauan pandangan Zee.

***************
 
"Sudah mulai bosan dengan coklat?!", tanya Arif melihat potongan Blackforest di piring gadis itu masih utuh, belum disentuh.
 
Zee tersenyum, malas. Mana mungkin dia bosan dengan coklat?! Tak ada cara yang lebih sederhana menikmati hidup selain duduk santai di beranda rumahnya ditemani segala cemilan berbau coklat. Tapi hari ini, dia seperti kehilangan selera. Dadanya sesak dipenuhi rasa kesal dan kecewa yang membuncah menjalar cepat dari dada menuju ubun-ubun, hampir meledak, menimbulkan pening di kepalanya.
 
"Dipesankan Cheese Cake saja ya?!". Arif baru saja akan mengangkat tangannya memanggil waitress ketika Zee menyendokkan potongan besar Blackforest ke dalam mulutnya. Tangan Arif refleks turun dengan sendirinya, beralih ke air mineral di depannya, lalu disodorkannya pada Zee yang pipinya terlihat menggembung karena mulutnya dipenuhi kue.
 
"Minum dulu, makannya pelan-pelan saja". Arif tampak khawatir melihat wajah gadis di depannya mulai memerah.
Zee meraih air yg disodorkan Arif, menenggaknya sedikit tergesa, membuatnya terbatuk-batuk, syukur tak menyembur Arif yg duduk di depannya.
 
"Aga!!!!!!!!!!!", batinnya menjerit berharap kan menetralisir rasa yang menyesakkan dada. Potongan besar Blackforest yg disendokkannya secara serampangan ternyata tak mampu meredam jengah yang bercokol di hatinya. Gadis itu kesal setengah mati. Pagi tadi, seperti biasa, kelakuan Aga yg suka seenaknya kambuh lagi. Dia sedang mengikuti kuliah Pak Ling, dosen kesayangannya, ketika dia mendapat SMS dari Aga, sebuah titah untuk menemaninya entah ke belahan dunia mana lagi. Tak boleh ada kata tidak. Maka dengan terpaksa dia pun pergi juga. "Bodoh", batinnya kembali memaki diri sendiri. Dia sebenarnya tau hari itu pasti akan berakhir buruk. Hanya saja entah mengapa dia tak bisa menolak permintaan Aga. Ralat, bukan permintaan, tapi pemaksaan. Dan dia benar-benar tak menyangka akhirnya ternyata amat sangat jauh lebih buruk dari yang sebelumnya. Aga membawanya ke sebuah Cafe. Zee takjub melihat dekorasi  Cafe itu. Dindingnya seluruhnya berwarna cokelat pasta, warna yang bisa jadi membuat Cafe itu akan tampak suram, namun pemilihan barang-barang penghias ruangan itu yang kaya akan warna membuatnya terlihat menarik. Unik. Akankah hari ini menyenangkan?! Zee pun awalnya berpikiran seperti itu. Apalagi cafe itu juga menyediakan ribuan koleksi buku yg menarik untuk dibaca. Surga untuk para penggila buku. Zee baru saja hendak memuaskan dirinya mencari buku yang sekiranya sesuai seleranya namun tangan kokoh Aga menariknya ke dalam sebuah ruangan berdinding kaca. Tampaknya kedap suara. Di dalamnya ada dua lemari kaca yang berdiri berdampingan menghadap pintu masuk, lemari yang juga kaca, di dalamnya tersusun rapi ratusan buku. Di tengah-tengah ruangan itu terhampar karpet berwarna coklat gelap. Tak ada kursi, yang ada hanya beberapa bantal kecil berbagai warna, kontras dengan warna karpet serta sebuah meja ceper bergaya klasik. Ruangan itu kosong. Aga membuka pintu, masuk terlebih dulu, mengambil tempat, bukan untuk membaca, melainkan berbaring dalam posisi seperti biasa, telentang dengan dua tangan terlipat menyilang di belakang kepala. Menutup mata. Zee melongo'. "Apa-apaan ini?!", bisiknya lirih. Dengan langkah sedikit disentak, kesal, dia masuk juga lalu menutup pintu di belakangnya. Melihat Aga yang betah dalam diamnya, Zee mencari kesenangannya sendiri, sibuk memilah-milih buku. Di tengah kesibukannya, tiba-tiba Aga pamit keluar. "Bentar ya!". Gadis itu hanya bisa mengangguk. Pasrah. Setengah jam, Aga belum juga kembali. Dia mulai gelisah. Tak lagi berkonsentrasi pada buku yang sedang dibacanya. Satu jam. Terlalu lama. Haruskah dia tetap sabar?! Tidak! Ditelponnya nomor Aga. Tidak aktif. Keterlaluan. "Kali ini tak kan ada kata maaf!", janjinya dalam hati namun kenyataannya dia masih betah menunggu sejam lagi setelah janji itu diikrarkannya tanpa suara. Masih berharap Aga akan datang menjemputnya dengan penjelasan masuk akal yang bisa diterimanya. Namun, sia-sia. 2 jam, sosok itu belum juga muncul. Matanya mulai memanas. Marah lebih pada diri sendiri, membiarkan dirinya begitu bodoh. Cukup sudah. Diambilnya hp-nya, ditekannya tombol dial. "Bisa jemput saya di Cafe Book's Hunger tidak, K'?!"........

*************

Dua minggu berlalu, setelah Aga meninggalkan Zee sendiri di cafe. Tak ada komunikasi. Zee terlalu kesal untuk menghubungi Aga. Aga sendiri tak berniat menghubungi Zee. Sebenarnya dia tau, gadis itu pasti amat sangat kesal dengan apa yang telah dilakukannya. Dia pun tau seharusnya dia meminta maaf, namun untuk meminta maaf dia perlu alasan yang jujur, dan untuk saat ini, Aga belum bisa memberikannya. Maka dia pun diam saja. Akan ada saatnya untuk mengatakan semuanya.

*************

Dia seperti memiliki dua kepribadian. Satu dari kepribadian itu memberikanku harapan, sedangkan yang lain menganggapku seperti tak pernah ada. Masalahnya adalah, aku tak bisa lepas dari keduanya.  Tombol send ditekan. Delivered to Dea.

Zee berbaring malas-malasan di kamarnya. Sudah dua hari dia membolos, tak ke kampus. Dia terserang flu seminggu yang lalu setelah nekat menemani Dea, sang pencinta makanan, keliling berwisata kuliner sampai jam 12 malam. Dua hari yang lalu bukannya membaik, flunya malah tambah parah karena tak tahan dengan godaan es krim yang dilihatnya sewaktu ke supermarket. Hasilnya dia demam. Hari ini demamnya memang sudah turun, tapi badannya masih betah bermalas-malasan. Dea yang tak yakin sakitnya hanya karena alasan-alasan yang tersebut sebelumnya terus menghubungkannya pada topik Aga. Zee yang tak sepenuhnya mengerti situasi yang terjadi di antara Aga dan dirinya akhirnya hanya bisa menceritakannya berdasarkan versinya. Dia memang dekat dengan Aga, tapi, dia tak sepenuhnya mengenal sosoknya, ada bagian dari dirinya yang tak tersentuh, terkunci, tak membiarkan siapapun masuk ke sana.
 
"Zee.......", panggilan Ibunya menghentikan sejenak pengembaraannya mengumpulkan fakta tentang potensi kedekatan macam apa yang mungkin kan terjalin antara dia dan Aga. Setidaknya untuk membekukan sejenak hipotesa-hipotesa Dea yang terus mencecarnya.
 
"Ya, bu", jawabnya sambil berlari menuruni tangga, menghampiri ibunya di dapur.
 
"Antarin buat Aga!", pinta ibunya seraya menyerahkan bungkusan.
 
"........" Zee diam menatap bungkusan itu.
 
"Semur daging. Ibunya nitip mereka sama ibu. Sekalian saja ibu masakin. Itu kesukaan Aga. Bawa sana".
 
"Bunda kemana?!", tanya Zee pada ibunya, tangannya ogah-ogahan menerima bungkusan itu.
 
"Urusan kantor, ke Surabaya, cepet sana! Sudah masuk waktu makan siang"

Zee melangkah enggan. Dia masih kesal dengan perlakuan Aga. Dia belum mau bertemu dengannya. Mudah-mudahan saja dia tidak ada di rumah. Namun, harapan Zee tidak terkabul, dia melihat Kawasaki Ninja Aga terparkir manis di halaman. Harapan selanjutnya mudah-mudahan dia sedang tidur. Lagi-lagi harapannya tak terkabul. Dilihatnya Aga sedang duduk di sofa. Sofa itu membelakangi pintu masuk. Namun, meja makan berada tak jauh di depan sofa. Untuk sampai ke meja makan, dia harus melintasi sofa. "Huh...............menyebalkan!", batinnya.
 
Dia menarik nafas berat sebelum melangkah masuk. Dibuatnya langkahnya seringan mungkin agar tak menimbulkan suara, berharap Aga sedang tidur dan langkah kakinya takkan membangunkannya agar tak perlu repot-repot berlagak tak pernah terjadi sesuatu.
 
Dia menaruh bungkusan itu di atas meja. Dilihatnya Aga yang tetap anteng. Matanya terpejam. Namun, sekali lagi, Zee tahu, dia tidak tidur. Dia berjalan pelan, berniat kembali ke rumahnya. Jantungnya berdegup lebih kencang saat melintasi sofa tempat Aga duduk. Lalu.....degupan jantung itu seakan terhenti ketika tangannya terasa dicengkram erat. Matanya melirik ke samping. Aga masih tetap dalam posisi yang sama. Hanya satu tangannya saja yang berpindah, menggenggam erat tangan Zee.... Diam.... Bisu....
 
"Maaf", suara Aga, terdengar tulus dan hangat.

Zee terpaku. Maaf. Pertama kalinya kata itu terlontar dari mulut seorang Aga. Butuh keajaiban untuk itu dan Zee tak ingin menodai kata itu dengan meminta penjelasan panjang. Maka, dia diam saja. Memilih bersandar di sofa, tangannya masih betah digenggaman Aga. Merasakan getaran hangat yang menenangkan.
 
"Sudah baikan?". Setelah beberapa saat lamanya, Aga melepaskan genggamannya. Berdiri, mengambil tempat di depan Zee. Mata hazel coklatnya mencari jawab. Zee diam saja. Menikmati tatapan Aga yang selalu membuatnya tunduk. Entah mengapa. Tak juga mendapat jawaban, Aga mengangkat tangannya, menaruh punggung tangannya di dahi Zee. Dengan cepat, Zee menepisnya.
 
"Cuma flu. Aku tak yakin itu bisa dikategorikan sakit."
 
"Kebanyakan makan es krim. Kalau lagi kesal, jangan merusak diri sendiri. Pulanglah. Istirahat."
 
Zee mengerutkan dahi. "Manusia satu ini............", batinnya geram.
 
"Pulanglah. Kau harus sehat. Dua hari lagi kami akan ke rumahmu."
 
"Maksudnya?! Kami?! Untuk apa?!", tanya Zee tak mengerti.
 
"Pulanglah. Istirahat. Please....," pinta Aga. Pemintaan pertama Aga yg terdengar hangat di telinga Zee.  Tangannya mengelus rambut sebahu Zee yg terurai berantakan. Gadis itu tak menyangka akan mendapat perlakuan semanis itu dari Aga. Aneh. Membuatnya melayang memang, namun harus ada sebuah alasan untuk itu. Dan dia tak kan beranjak sebelum mendapat jawaban.
 
"Ada apa sih?! Bilang dulu!", nada suaranya memaksa.
 
".....". Aga menatap Zee dengan tatapan tak setajam biasa, bukan pula tatapan lembut yang sesekali dilihatnya. Sendu. Ada kesedihan yang tersirat di sana.
 
"Kenapa malah diam?!" Zee makin penasaran.
 
"Ngelamar kamu......", bisiknya lirih.
 
"Apa?!". Zee bukannya tak mendengarnya. Dia hanya tak yakin mendengar itu dari Aga. Serasa ada sesuatu yang mencekat tenggorokannya. Dia terbatuk-batuk. Dengan lembut Aga menepuk-nepuk punggungnya. Setelah yakin batuk Zee mereda, dia melangkah ke meja makan mengambil gelas, menuangkan air dari ceret ke gelas, membawanya pada Zee lalu membantunya minum.
 
"Istirahat sana", pintanya pada gadis itu.
 
Zee masih tak percaya akan apa yang didengarnya. Masih ada tanya di kepalanya. Namun tak urung, dia pun menuruti permintaan Aga. Pulang. Berharap akan ada penjelasan manis dari Aga yang tak lama lagi akan didengarnya.

***********

"Gimana, Zee?!", tanya ibunya. Mereka berdua berada dalam kamar.  Sementara, Bunda, Aga dan seorang paman dari keluarga almarhum ayahnya sedang menunggu persetujuan darinya, di luar, di ruang keluarga. Pagi tadi, tepat jam 8, Bunda memastikan kedatangannya. Mereka akan datang dua jam lagi. Sontak kabar itu membuat Zee panas dingin. Aga tak membohonginya. Tapi mungkinkah?! Semuanya terasa bagai mimpi.
 
"Zee...mereka menunggu." Ibunya tak sabar.
 
Zee menarik nafas panjang. Berharap tarikan nafasnya dapat menghalau semua keraguannya.
 
"Ya, Bu", jawab Zee akhirnya bersamaan dengan itu senyum ibunya mengembang sempurna. Dipeluknya anaknya itu, lama. "Yuk", setelah tersadar dari haru-biru, sang ibu mengajak putrinya ke luar menemui tamunya.
 
Tak perlu ada kata. Senyum manis keduanya mampu menyampaikan segalanya. Hanya kata setuju yang mampu mengantar indah senyum itu. Keluar dari kamar dengan wajah yang berseri-seri, mereka mengambil tempat di kursi yang masih kosong.
 
Zee menatap Aga yang tertunduk. Bunda dan pamannya tampak sumringah, begitupun orang tuanya. Namun Zee tak menemukan reaksi yang sama pada raut wajah Aga.  Tiba-tiba, ada rasa yang aneh terasa menusuk-nusuk perut Zee, keram. Ada apa?!
 
"Zee...dari Arif!", kata ibunya menyerahkan telpon genggam. Matanya masih betah menatap Aga berharap Aga akan balik menatapnya, memberinya penjelasan.

"Princess.....", Zee diam. Aneh dengan panggilan itu. Sejak kapan?! Ada dingin yang tiba-tiba menjalari setiap inci tubuhnya. Tampaknya memang ada yang salah. Matanya belum berpindah dari Aga yang sedari tadi hanya membeku dalam diam. Zee semakin yakin, ada yang tidak beres.
 
"Mulai saat ini, aku manggil kamu Princess. Nggak pa-pa kan?! Huuuffftttt........ Aku sampai nggak bisa tidur nunggu hari ini datang. Aku nggak nyangka kamu bilang ya. Makasih...  ", suara diseberang terdengar begitu bahagia, sebaliknya terasa ada yang mengiris-iris Zee, suara itu terdengar semakin mengecil, membawa Zee tenggelam dalam usahanya merangkai satu-demi satu kepingan puzzle yang mulai tampak jelas kini. Dan ketika kepingan-kepingan itu telah sempurna, mimpi yang baru saja dirangkainya terpaksa dileburnya. Dan jauh di dalam lubuk hatinya, kini ada luka menganga.
 
"Kak.....aku juga tidak menyangka lamaran ini datangnya dari Kak Arif. Aku senang. Terima kasih". Ada getar dalam nada suaranya. Zee berusaha keras agar tangis itu tak tumpah di sana. "Kita lanjutin nanti aja ngobrolnya ya, Kak". Dia berdiri, menyerahkan cellphone itu bukan pada ibunya. Dia melangkah pelan dengan sisa tenaga yang sepertinya telah terkuras begitu rupa, menghampiri Aga, berdiri tepat di depannya, lalu menyodorkan benda itu padanya. Aga mendongak, menatap mata Zee. Binar-binar kesedihan itu tak lagi mampu disembunyikannya. Luka itu begitu jelas terbaca oleh Aga. Tak ingin lebih lama menyakiti Zee, diambilnya cellphone dari tangan gadis itu yang kemudian berlalu dari hadapannya.
 
"Maafkan aku...", bisik batinnya sementara tangannya menggenggam erat cellphone itu, seakan ingin meremukkannya. Kemarahan itu lebih ditujukan pada dirinya sendiri. "Aku punya penjelasan untuk semua ini, hanya saja belum saatnya ku sampaikan pada mu".

***********************

Dia seperti memiliki dua kepribadian. Satu dari kepribadian itu memberikanku harapan, sedangkan yang lain menganggapku seperti tak pernah ada. Masalahnya adalah, aku tak bisa lepas dari keduanya.... .... ....

Apa yang dia tau tentang rasa? Bahwa rasa adalah sesuatu yang sulit didefenisikan? Yah... mungkin memang hanya itu yang dia mengerti untuk saat ini. Rembesan bening dari kedua sudut matanya masih deras mengalir, betapapun dia coba membendungnya, tak juga berhasil. Jangan tanyakan padanya untuk apa dia bersedih, dia pun tak tau jawabnya. Yang pasti, ada perih yang terasa begitu menyiksa batinnya. Mungkin inilah akibatnya, dia belum mampu mendefenisikan rasa, rasa yang sebenarnya dia simpan untuk Aga. Rasa itu yang selalu mampu membuatnya bertahan meskipun terkadang kesal menggunung di hatinya menerima perlakuan seenaknya dari sosok yang terkadang seperti tak berperasaan itu, namun akan selalu ada kata maaf untuknya. Rasa itu pula yang membuatnya larut dalam tangis, seperti sekarang ini. Rasa yang belum terdefenisi, sampai akhirnya ada yang datang mencoba menafsirkannya. Tentu saja, dia datang dengan penafsiran yang keliru. Sebenarnya, akan sangat mudah meluruskan kesalahpahaman yang terjadi, namun dia ingin pembenaran itu tidak datang darinya, namun dari orang yang bertanggung jawab membuatnya merasakan “rasa”, Aga. Gadis itu masih berharap akan ada penjelasan untuk semua ini, dan akan ada cerita bahagia di akhir episode.
 
“Zee....”, terdengar panggilan dari luar bersamaan dengan ketukan di pintu kamarnya.
 
Gadis itu mencoba mengatur ritme nafasnya. Tak ingin ibunya dapat mendengar keanehan dari suaranya. “Iya, bu?!”, jawabnya setelah terlebih dulu menarik nafas panjang dan menghapus jejak-jejak tangisan dari ke dua sudut mata dan pipinya.
 
“Mereka sudah mau pulang loh, kamu ko’ malah lari ke kamar nggak keluar-keluar lagi?”
 
Zee berjalan menghampiri pintu, bermaksud membukakan pintu untuk ibunya. Dia mengurungkan niatnya saat melihat sekilas pantulan wajahnya di cermin, di samping tempat tidurnya. Dia melangkahkan kaki, mendekat ke cermin itu, memastikan tak ada lagi jejak-jejak tangisan di wajahnya. Terpaku sejenak, tampangnya kusut, matanya masih merah dan bengkak. Tak mungkin keluar sekarang.
 
“Zee..., kamu lagi ngapain sih?”, ibunya kembali mengetuk pintu, ketukannya lebih keras dari sebelumnya.
 
“Mmmm....bu, sampaikan maaf Zee ya bu, ntar sore deh, Zee akan ke sana kalau Kak Arif sudah pulang.” Benarkah? Akankah dia mau ke sana lalu mendapati dirinya terjebak dan mungkin tak kan menemukan jalan keluar? Tidak. Namun dia harus mengatakan sesuatu agar ibunya membiarkannya sendiri.
 
Satu lagi yang kini disadarinya tentang rasa; rasa itu membuatnya selalu tak jujur, bukan hanya pada orang lain, tapi juga pada dirinya sendiri. Sebelumnya, ketidakjujuran itu adalah pilihan, namun sekarang, nampaknya akan menjadi sebuah keharusan.
 
“Ah kamu tuh.... Ya sudah, tapi sebentar kamu beneran ke sana ya!”, tuntut ibunya. Suara langkah kakinya terdengar semakin menjauh.
 
Hhhhhhhhh...... Sesak kembali menjajah batinnya.  Butiran-butiran bening itu sekali lagi mengambang di kedua pelupuk matanya. Tangis memang tak bisa mengubah apapun, tapi sakit itu, diharapkannya kan larut dalam tiap tetes air matanya dan akhirnya mengering.
 
Dia menyeret langkahnya menuju tempat tidurnya. Berbaring di sana, mencoba membawa semua perih itu ke dalam tidurnya dan berharap kan meninggalkannya di sana, dan akhirnya dia kan terbangun tanpa rasa sakit itu lagi. Semoga.

Don't say no, no, no, no, no
Just say yeah, yeah, yeah, yeah, yeah
And we'll go, go, go, go, go
If you're ready, like I'm ready
'Cause it's a beautiful night
We're looking for something dumb to do
Hey baby I think I wanna marry you

 
Suara renyah Bruno Mars dengan Marry You-nya membuatnya terbangun. Matanya yang masih beradaptasi, melihat samar jam di dinding. Pukul 04.00. Sore. Diambilnya hp yg tergeletak di sampingnya. Mr. Perfect. Dia menimbang-nimbang akankah dijawab atau dibiarkan saja. Teringat janjinya pada ibunya tadi.
 
“Ya, Kak?”.
 
“Baru bangun ya?”.
 
“He-eh...”
 
“15 menit lagi aku sampai. Katanya mau ke rumah kalau aku sudah pulang?”
 
“Iya”
 
“Sampai ketemu di rumah.”  Telepon ditutup.

Zee menatap cellphone-nya lama sekali. Ada perang yang berkecamuk dalam pikirannya. Bisakah dia memainkan peranan itu? Menjadi pasangan Mr. Perfect namun masih berharap pada si Bad Boy? Mengharuskannya terjebak karena tak ada lagi pilihan. Dengan langkah berat dia beranjak dari tempat tidurnya, mandi dan bersiap-siap menghadapi perang sebenarnya.

*********************

“Ngapain bengong di depan pintu?”, sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah belakang. Mengagetkannya yang sejak kedatangannya lima menit lalu hanya berdiri bak patung di depan pintu.
 
Zee tak hendak berbalik. Tanpa berbalik pun dia tau siapa pemilik suara itu.
 
“Kak Arif ada di dalam, sudah dari tadi nungguin kamu.” Aga melangkah mendahului Zee, tanpa menoleh, dingin, khas Aga. Namun terasa ada yang hangat menjalari tubuh Zee saat sosok tegap Aga berlalu dari hadapannya.
 
“Ckckckckckckck.....kamu butuh sejam untuk berdandan, dan hasilnya hanya seperti ini?”. Arif yang semenit kemudian muncul dari dalam rumah langsung meneliti tampilan Zee dari kepala sampai kaki. Rambut sebahu gadis itu masih agak basah. Tak ada polesan sama sekali di wajahnya. Kaos oblong hitam dengan jeans abu-abu. Benar-benar polos. Zee mengikuti arah tatapan Arif. Mengerutkan dahi ketika merasa tak ada yang salah dengannya. Melihat ekspresi tanpa dosa Zee, Arif mengacak gemes rambut gadis itu. “Kau membuatku menunggu satu jam. Ku pikir, Princess ku ini akan datang benar-benar sebagai putri. Sayangnya.......”
 
“Kalau begitu, aku pulang....”. Zee benar-benar hendak berbalik. Pulang.  Namun tangan Arif segera menahannya.
 
“Hhmmm....tukang ngambek juga ternyata.” Arif menyunggingkan senyum manisnya. Dia menarik lembut gadis itu memasuki rumah, mendudukkannya di sofa lalu menghilang sejenak untuk kemudian kembali dengan dua gelas hot chocolate. Diberikannya segelas untuk Zee. Gadis itu menerimanya dengan senyum tipis. Arif kemudian mengambil tempat di samping Zee, duduk di sana. Mengawalinya dengan basa-basi, pembahasan keduanya pun berlanjut dengan obrolan ngalor-ngidul dengan topik yang tidak jelas. Arif menikmatinya. Zee pun tak punya alasan untuk tak mencoba terlihat berminat pada setiap topik yang mereka bicarakan. Meskipun pikirannya masih tertuju pada satu nama “Aga”, bagaimanapun dia harus membiasakan diri menempatkan dirinya dalam situasi seperti ini, terlihat nyaman berada di samping Arif, orang yang menghargai dan bersedia mengakuinya. Bukankah itu akan lebih baik daripada memikirkan seseorang yang bahkan mungkin tak peduli? Maka di sinilah Zee sekarang, bersama Arif. Satu yang tak diketahui Zee, ada yang lain yang peduli, bahkan teramat peduli, rela mundur perlahan berharap agar gadis itu mendapat yang lebih baik.
 
Aga. Dia berbaring dalam kamarnya, telentang, kedua tangannya menyilang di belakang kepala, matanya terpejam, namun dia tak tidur. Dapat dengan jelas didengarnya suara-suara itu di telinganya. Ada lega yang terasa, menyadari ada keakraban yang mulai terjalin di antara ke duanya. Itu artinya, dia bisa melepas gadis itu dengan tenang. Yakin bahwa dia berada di tangan yang tepat.

*************

“Princess, mo makan dulu nggak?”, tanya Arif pada gadis di sebelahnya yang selama perjalanan hanya diam. Diliriknya gadis itu yang tak juga merespon pertanyaannya.
 
“Zee...”. Arif menjentikkan jari tengah dan ibu jarinya tepat di depan wajah Zee ketika didapatinya, untuk kesekian kalinya, gadis itu melamun. Tiga bulan sudah mereka terikat dalam sebuah hubungan, namun Arif merasa, gadis itu tak pernah benar-benar bersamanya.
 
“Ya?”. Zee menoleh kaget pada Arif. Dipaksakannya seulas senyum tersungging dari bibirnya.
 
“Nglamun lagi kan?”, sergah Arif tanpa mengalihkan tatapannya dari balik kemudi.

“Nggak ko’...!”, jawab Zee berbohong. Bersamaan dengan itu di dengarnya suara berdecit. Daihatsu Terios putih yang mereka tumpangi berhenti mendadak. Dengan garang, Arif menoleh ke arah Zee, menatap tajam mata hitam gadis itu. Zee bergidik ngeri. Tak pernah dilihatnya tatapan itu sebelumnya. Ada kemarahan yang tergambar jelas di sana.
 
“Kapan kamu benar-benar bersama ku?”.
 
Zee terhenyak mendengar pertanyaan itu. Tubuhnya menegang. Dia menarik pandangannya dari tatapan kemarahan Arif. Tak berani menatap mata itu karena dia pun tak tau jawabannya. Pernahkah dia benar-benar bersama Arif? Tubuhnya mungkin di sana, di samping Arif namun dia tak yakin bahwa pikirannya juga menetap di tempat yang sama atau justru mengembara mencari sosok lain yang belum juga mampu dihilangkannya.
 
“Aku...........”, kalimatnya tak terselesaikan, tak juga mendapat alasan yang tepat. Menggantung.
 
“Aku drop kamu di toko buku, pulangnya biar Aga yang jemput”. Arif berkata tanpa memandang gadis itu. Dari samping, Zee bisa melihat garis-garis tegas di wajahnya yang menegang menandakan kemarahan. Namun gadis itu tak mengurungkan niatnya menolak saran Arif.
 
“Tidak usah, aku bisa pulang sendiri”, Zee bereaksi, gusar mendengar nama itu disebut. Tidak. Jangan sampai dia harus dihadapkan pada situasi dimana dia dan Aga hanya akan berdua saja. Tanpa melihat sosoknya pun, hanya dengan mendengar namanya, dia bisa merasa seperti ini, tak terdefenisi. Tak mengerti apakah dia sedih, marah, kecewa namun yang pasti tersakiti, entah oleh sifat Aga atau pada keputusannya sendiri yang tetap ingin menjalani peran ini.
 
“Tidak, Aga akan jemput kamu.” Ada tekanan dalam kalimat itu yang menandakan Arif tak ingin ada bantahan, namun...
 
“Aku bisa....”
 
“Dengar aku kali ini saja! Aga akan jemput kamu!”. Arif nyaris berteriak. Matanya menatap tajam gadis itu membuatnya tak berani lagi membantah. Perjalanan ke toko buku pun berlanjut dalam suasana tegang dan dingin. Kebisuan menyelimuti keduanya. Mereka larut dalam pikirannya masing-masing. Sesampainya di tempat yang dimaksud, Zee berlalu tanpa kata, terlalu takut menegur sosok yang dikenalnya lembut itu ternyata mampu bertingkah segarang tadi. Bersamaan dengan ditutupnya pintu mobil ketika Zee turun, Arif pun segera menancap gas dan menghilang dari pandangan Zee.
 
Ada rasa bersalah menyapa gadis itu melihat reaksi Arif. Dia menyadari, ketidakmengertiannya akan perasaannya selama ini telah melukai sosok nyaris sempurna itu. Lama dia terpaku ditempat dimana Arif meninggalkannya, memandang Daihatsu Terios putih yang dalam sekejap mata menghilang ditelan hiruk-pikuk kendaraan lain. Apa yang tersisa hanyalah hembusan semilir angin yang sepertinya berbisik pada Zee, memberitahunya betapa terlukanya Arif, membuatnya berpikir bahwa mungkin peranan ini selayaknya memang harus diakhiri. Dia bukan saja membohongi dirinya sendiri, buah dari kebohongan yang disemainya selama ini tak hanya akan dituai olehnya namun juga oleh orang lain yang mungkin tak tau bahwa yang dinantikannya hanyalah benih kosong belaka, yang tak mungkin memberi hasil, sia-sia.
 
“Buat apa ke toko buku kalau nggak niat beli buku?”. Sebuah suara yang amat sangat dikenalnya membuatnya tersadar. Sejam berdiri di tempat yang sama. Tak ada satu buku pun di tangannya.
 
“Sejak kapan tertarik dengan buku seperti ini?”, tangan Aga menunjuk pada tulisan “Perundang-undangan” yang menandai bahwa rak buku dihadapannya itu menawarkan jenis-jenis buku yang tak pernah diliriknya sama sekali. Namun, dia tak hendak beranjak. Dia betah dalam diamnya. Tapi untuk apa dia berdiri di sana? Ada apa dengannya? Sudahkah dia benar-benar kehilangan akal sehatnya? Kalau memang benar, maka satu lagi yang dimengertinya tentang rasa; rasa yang tak mampu terdefenisikan hanya akan membawamu pada penumpulan pikiran dimana kau tak lagi mampu mengontrol jalannya pikiranmu karena terjajah oleh rasa itu sendiri.
 
“Zee...”, Aga menatap sosok gadis dihadapannya penuh rasa khawatir mendapati tak satupun respon yang didapatkannya dari gadis itu. Raut wajahnya yang datar, hanya menggambarkan kelelahan. Lelah yang kemungkinan besar dirasakan gadis itu karena sikapnya. Lelah yang membawa kehampaan. Kehampaan yang terlihat jelas lewat tatapannya. Gadis itu berdiri di sana menatap kosong barisan buku-buku yang diketahui Aga bukanlah seleranya.
 
“Zee!”, diulangnya sekali lagi panggilan itu. Kali ini berhasil. Gadis itu berbalik menatapnya. Aga terdiam, mendapati mata gadis itu seakan menguncinya. Tak pernah seperti ini sebelumnya. Yang dia tau gadis itu selalu menatapnya dengan tatapan menenangkannya, yang membuatnya selalu ingin berlindung dalam kehangatannya. Betapapun mulutnya meracau, memprotes tindakannya yang memang diakuinya kadang keterlaluan, mata gadis itu tetap hanya menawarkan satu hal, kenyamanan, yang dulu dipikirnya tak dapat dilihat orang lain, hanya untuknya. Dan baru diketahuinya beberapa bulan belakangan bahwa Kakaknya, Arif pun merasakan kenyamanan yang sama saat menatap mata hitam gadis itu. Namun, tatapan yang dilihatnya kali ini bukan lagi tatapan menenangkan itu. Ada kemarahan di sana. Kemarahan yang membuatnya seakan diadili. Dan hanya satu yang diyakininya akan memuaskannya, jawaban atas semuanya. Tapi haruskah dia mengungkapkannya saat ini?   Rasa bersalah itu semakin menghimpitnya, namun belum saatnya untuk mengungkap semua jawaban dari tanya tanpa ikrar itu.
 
“Kamu senang, Ga?”, tanya Zee, lirih, nyaris tak terdengar. Matanya memandang lurus mata Aga.
 
“Maksudnya?”. Aga pura-pura tak mengerti.
 
“Inikah yang kamu mau?”, tanya Zee lagi masih dengan suara selirih sebelumnya.
 
“.........” Aga tak mampu menjawab. Resah tiba-tiba menguasainya. Dia mencoba membebaskan diri dari penjara tatapan Zee. Diedarkannya pandangannya menyapu semua ruangan itu, berharap ada satu objek yang dapat menyelamatkannya dari peradilan gadis di depannya.
 
“Kalau memang ini yang kamu mau....dan bisa bikin kamu senang.....aku akan tetap menjalani peranan ini....”
 
Aga menatap kembali gadis itu. Kali ini bukan tatapan mengadili lagi yang terlihat di sana, berganti luka. Aliran bening mulai terbentuk, melahirkan binar-binar yang berusaha bertahan semampunya agar tak tumpah, nyaris menyungai.
 
“Zee....”, Aga mengulurkan tangan hendak menyentuh pipi Zee, namun gadis itu menepisnya, menjauhkan tangan Aga darinya, lalu mundur selangkah.
 
“Aku tak butuh belas kasihan, Ga. Cukup. Tolong jawab saja.”, ada getar dalam suaranya.
 
Aga terdiam di tempatnya. Dia tak ingin menyakiti gadis itu lebih dalam. Seandainya gadis itu tau, betapa berartinya dia bagi dirinya. Seandainya gadis itu tau, betapa lebih terlukanya dia melihat luka itu di matanya, mata yang dulu selalu menawarkan kenyamanan untuknya. Seandainya gadis itu tau, apa yang dilakukannya selama ini adalah demi kebaikannya.

Ddrrrtttt.....ddrrrttt...... Ada yang bergetar di saku celana jeansnya. Bukannya Aga tak mengacuhkan gadis di depannya, namun dia tau, ada yang penting. Dijawabnya telepon itu tanpa mengalihkan pandangan dari Zee yang kini sedang tertunduk, tangannya bergerak-gerak di sekitar wajahnya, menghapus sisa-sisa tangisannya.
 
“Iya, aku ke sana”, jawab Aga  lalu segera menutup telepon.
 
Aga mendekati Zee. Tak perduli gadis itu menolak ketika tangan kokohnya terulur. Aga tetap merengkuh kepalanya, menyeka pipinya yang masih basah, membantunya membersihkan jejak-jejak tangis yang masih tampak di sana. Gadis itu akhirnya menurut. “Aku punya penjelasan untuk semua ini”, bisiknya lalu menarik lembut tangan gadis itu, membawanya pergi dengan Kawasaki Ninjanya.
 
Rumah Sakit. Unit perawatan khusus penyakit kejiwaan. Zee menatap papan pemberitahuan itu. Satu-persatu tanya bermunculan memenuhi kepalanya. Aga yang berjalan di sampingnya, yang menggenggam erat tangannya tak juga menyiratkan akan memberi penjelasan. Sampai akhirnya mereka sampai di sebuah lorong, sempit. Di ujung lorong terdapat sebuah kamar, tertutup. Di pintunya terdapat sebuah papan lagi bertuliskan “Ruang Isolasi”. Dari sini, Zee dapat mendengar teriakan histeris seseorang yang kedengarannya berasal dari kamar itu. Dari suaranya, pastilah seorang wanita. Tiba-tiba pintu itu terbuka. Seorang gadis cantik berseragam putih-putih muncul dari dalam sana. Seketika itu juga Aga melepas genggaman tangan Zee dan menghampiri gadis itu. Mereka berdua terlibat perbincangan. Zee tak mendengar apapun yang mereka bicarakan. Dia pun tak berniat menguping, meskipun tanya itu semakin menumpuk meminta jawaban. Di tengah-tengah kebingungan Zee, Aga berbalik menatapnya, tanpa kata, lalu kembali berbalik kemudian mengikuti sang gadis memasuki kamar itu. Pintu pun kembali tertutup.

************

13 tahun lalu....

Di suatu sore, sepasang suami istri sedang bersantai di teras rumahnya. Sang suami sedang asyik membaca koran ketika sang istri meminta waktunya membicarakan sesuatu yang penting.
 
“Ayah....”, sang istri memulai.
 
“Hmmmm?......”. Sang suami masih enggan melepas korannya.
 
“Bagaimana kalau kita bawa Aga ke sini?”
 
“Maksud Bunda?”, tanya sang suami mulai tertarik. Di lepasnya koran itu lalu ditaruhnya di meja di sampingnya. Memfokuskan diri pada apa yang akan disampaikan istrinya.
 
“Kasian dia, Yah. Ayahnya dipenjara. Entah sampai kapan. Sedangkan ibunya...... “
 
“Bunda yakin?”
 
“Iya. Ayahnya tidak jelas masih punya keluarga atau tidak. Ibunya juga tak punya sanak saudara. Dia tak punya keluarga lain. Ibunya Aga itu kan sahabat Bunda, Yah. Tidak tega rasanya kalau dia harus dititipkan di panti asuhan. Kalau Ayah mengizinkan, Bunda ingin mengangkatnya sebagai anak. Arif juga kan tidak punya teman. Mereka juga sama-sama anak cowok. Pasti cepat akrab,” jelas istrinya panjang lebar.
 
“Sudah menanyakannya pada Arif?”
 
“Ya. Dan dia bilang, Bunda boleh membawanya. Malah dia terlihat bersemangat mendengarnya”.
 
“Ya kalau begitu, bawalah Aga kemari”, jawab suaminya itu dengan senyum.

 *****************

 
Pintu kamar itu akhirnya terbuka lagi. Aga keluar dari sana didampingi gadis yang sama. Dilihatnya Zee masih berdiri di sana, di tempat yang sama ketika dia meninggalkannya tadi. Aga menghampiri gadis itu. Tanpa kata, dia menariknya lembut mendekati bibir pintu. Dari sana Zee dapat melihat jelas sosok wanita paruh baya seumuran ibunya sedang duduk di sebuah kursi menghadap ke jendela. Rambutnya terurai berantakan, tangan kanannya menggenggam sebuah kaos usang bernoda. Dia menatap kosong kaos itu. Zee balik menatap Aga dengan wajah penuh tanda tanya.
 
“Ibuku...”, katanya seakan tau apa yang ada di kepala gadis itu sebelum dia menanyakannya. Matanya menatap lurus wanita itu.
 
“Ibu? Bukankah Aga dan Arif bersaudara. Artinya, ibunya Arif ya ibunya Aga juga. Tapi kenapa sekarang Aga bilang wanita yang di depannya ini adalah ibunya?” Gadis itu semakin tak mengerti.
 
“Aku bukan anak kandung Keluarga Alfian Gunanto”, jelas Aga menjawab tanya yang dilihatnya di wajah Zee.
 
“.......”
 
“Raka....”, wanita yang diakui Aga sebagai ibunya itu tiba-tiba berbalik ke arah mereka, memanggil satu nama.
 
“Ya, Ma?”, Aga menjawabnya. Menghampiri wanita itu.
 
Zee mengikuti Aga dengan matanya. Dia semakin tak mengerti.
 
“Namanya Arini. Bu Arini.” Gadis yang tadi bersama Aga angkat bicara. Pastilah dia salah satu perawat di sini. “Saya baru jadi perawatnya dua tahun belakangan, tapi menurut cerita yang saya dengar tentang asal-usul Bu Arini, dia sudah dirawat di sini sejak 13 tahun lalu. Gangguan jiwa. Setahu saya, suaminya dipenjara karena membunuh putranya sendiri, Raka, kakak kandung Aga. Waktu itu umurnya baru sepuluh tahun. Raka bermaksud melindungi ibunya dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya sendiri. Bukan baru kali itu saja ayahnya melakukannya, memang sudah menjadi kebiasaan ayahnya pulang tengah malam, mabuk-mabukan dan ketika Bu Arini mengajukan protes, hasilnya adalah lebam dan luka-luka di tubuhnya. Dan puncaknya adalah hari itu, dimana Raka nekat membela ibunya. Aga yang waktu itu mungkin belum mengerti apa-apa malah menjadi satu-satunya saksi. Dan karena kesaksiannyalah, Ayahnya dipenjara sampai saat ini.”
 
Zee miris mendengar cerita yang baru saja mengalir dari bibir perawat itu. Matanya memandang nanar Aga dan wanita yang ternyata ibunya. Dari tempatnya berdiri Zee dapat melihat dengan jelas sisi lain dari Aga. Dengan lembut, Aga memapah ibunya ke tempat tidur, membaringkannya, menyelimutinya, mengecup sayang keningnya lalu duduk di samping tempat tidurnya. Dia baru beranjak saat benar-benar yakin ibunya telah terlelap.
 
“Terima kasih lagi ya untuk hari ini.” Aga menepuk pundak perawat itu lembut.
 
“Yap...anytime,” balasnya sambil menyunggingkan senyum. Manis. Setelah pamit, dia berlalu meninggalkan Aga dan Zee.
 
“Raka?”,
 
“Bagi Mama, tak pernah ada Aga. Untuknya, aku Raka. Aga tak pernah lahir.” Aga menjawabnya dengan ekspersi dingin. Beku. Namun lewat tangannya yang mengepal, Zee tau, ada rasa sakit yang coba diredamnya. Tanpa berfikir, Zee mendekat, merangkul sosok tegap itu, berharap dia mau membagi kesedihannya.
 
“Ini alasanku untuk semuanya, Zee.” Lirih suara itu terdengar.
 
“Kenapa nggak pernah cerita?”, tanya Zee. Dia masih enggan melepas pelukannya. Ditaruhnya kepalanya semakin dalam di dada bidang Aga sehingga dapat didengarnya detak jantungnya. Bukan salahnya dia tumbuh sedingin itu. Kini Zee mengerti, sikapnya selama ini adalah usahanya meredam kepahitan yang telah ditutupinya sendiri selama bertahun-tahun.
 
“Aku bukan siapa-siapa. Ceritaku pun bukan apa-apa.” Kembali nada sinis itu terdengar dari mulut Aga.
 
“Aga!” Gadis itu melepas pelukannya menatap tajam sosok yang masih tetap dalam keangkuhannya, tak berani mengakui betapa terlukanya dia sebenarnya.
 
“Apa?!”, jawabnya dengan ekspresinya yang datar.
 
“Kamu tuh kenapa sih? Kamu nggak sadar ya kalau banyak orang yang peduli sama kamu?! Bunda, Kak Arif........ aku........ Tapi dengan sikap dinginmu ini, kamu malah akan menyakiti mereka, menyakiti kami. Menyakiti aku!”
 
“Aku hanya tidak mau siapa pun direpotkan. Apalagi kamu....”
 
“Ga....dengan membagi ceritamu bukan berarti kamu merepotkan orang lain....”
 
“OK. Sekarang kamu sudah tau kan? Jadi tak ada yang perlu dipertanyakan lagi.”
 
“Tidak semudah itu!”

“Tidak mudah? Siapa bilang? Sekarang kau punya Kak Arif. Sosok sempurna di matamu. Apalagi? Jalani saja apa yang sedang kau jalani sekarang. Ikuti arusnya. Gampangkan? Jangan selalu menganggap sesuatu itu sulit, Zee.”
 
Gadis itu terdiam, tak tau lagi apa yang harus dikatakannya demi mencairkan kebekuan hati Aga. Namun sekarang gadis itu telah mampu mendefenisikan rasa yang disimpannya untuk Aga. Dia menyayanginya. Namun sayangnya, ketika dia mampu mendefenisikan rasa, justru penolakanlah yang didapatkannya. Aga tak berharap hal yang sama. Ada perih yang menyelinap ke dalam lubuk hatinya. Haruskah dia tetap bertahan dan berharap pada orang yang tidak mau menerima “rasanya”?
 
“Bukan aku yang membuatnya sulit, Ga, tapi kamu. Kamu yang tak pernah jujur, bahkan pada dirimu sendiri.”
 
“Jangan sok baca pikiranku deh!”
 
“Aku tak perlu membacanya karena kau sendiri yang menunjukkannya.”
 
“Omong kosong!”
 
“Kamu lupa, Ga. Bukan kamu saja yang punya rasa. Kamu mungkin sudah merencanakan sesuatu untuk rasa mu, tapi apakah pernah kamu menanyakan apa yang aku inginkan untuk rasa ku? Tidak. Kamu seenaknya saja mengambil penaku lalu menuliskan cerita ku menurut versi mu. Mungkin dulu aku belum tau alasan ku tetap berada di dekatmu meskipun setelah berpuluh-puluh kecewa yang kamu berikan. Baru aku sadari sekarang, itu karena memang hanya kamu yang aku mau. Aku tidak butuh sosok sempurna. Aku cuma mau kamu. Itu saja. Dan justru itulah kebodohanku, aku berharap padamu. Bahkan sampai saat ini.....” Suara itu bergetar menandakan getir yang meraja.
 
“Kalau begitu, mulailah untuk berhenti berharap...“, lirih kata-kata itu keluar dari mulut Aga namun Zee mampu mendengarnya dengan jelas.
 
“Kau pikir akan semudah itu?”, lelehan butiran-butiran bening itu tak mampu lagi terbendung, menyungai, merefleksikan kecewa yang teramat dalam yang dirasakannya.
 
“Setidaknya kau sedang bersama orang yang tepat bukan? Kau bisa mencoba”. Aga kembali pada kebekuannya.
 
“Kau pikir siapa dirimu sampai kau bisa menentukan siapa yang tepat untukku? Tapi kalau memang itu mau mu, baiklah....aku menyanggupinya.”
 
Cukup sudah. Tak kan ada kata lagi. Zee tak kan menghiba lagi untuk meminta Aga mengerti. Disekanya air mata yang merembes membasahi pipinya. Dia berjanji tak kan menangis lagi. Ditahannya isak itu agar tak terdengar, namun usahanya itu malah membuatnya sesak. Dalam tarikan-tarikan napasnya yang mulai terasa berat, dia bergegas, berlari, meninggalkan Aga sendiri.
 
Dan untuk Aga, seperti ada bagian dirinya yang terenggut ketika Zee melewatinya. Setelah usahanya membangun berlapis-lapis benteng kebekuan itu, untuk pertama kalinya dia merasa takut kehilangan gadis itu. Matanya mengikuti kepergian Zee. Dingin. Hampa. Sanggupkah jika dia benar-benar kehilangan satu-satunya yang bisa membuatnya merasa nyaman? Tanpa disadarinya, tangannya mengepal kuat lalu dengan refleks tinjuan tangan kanannya menghujam benteng rumah sakit yang berdiri kokoh di hadapannya dan sempat membuatnya bergetar untuk beberapa detik. Mungkin dia belum serela yang dipikirnya. Sakit itu baru terasa kini, ketika Zee menyiratkan bahwa gadis itu benar-benar menyerah. Tak digubrisnya tangannya yang beberapa saat kemudian mulai meneteskan darah segar. Ada yang terasa lebih sakit dari itu. Rasa sakit itu menuntunnya mengejar jejak-jejak luka yang tak sengaja tertinggal. Tak lagi perduli pada benteng-benteng kebekuan yang telah dibangunnya justru telah dihancurkannya sendiri. Dia bergegas menyusul Zee berharap ada cara untuk menghapus luka itu dan menggantinya dengan senyum agar dia dapat menemukan lagi tempat kembali satu-satunya, tatapan menenangkan gadis itu.

****************

Zee bergegas menuruni taksi. Dia tau Aga tak jauh dibelakangnya. Sejak tadi mengikutinya. Namun keputusannya sudah final. Tak kan ada lagi kata untuknya. Dia tak mau lagi menyia-nyiakan hati dan pikirannya untuk orang yang jelas-jelas telah menolak “rasanya”. Cukup sudah kebodohannya. Cerita itu harus berakhir di sini, saat ini. Tergesa-gesa gadis itu membuka pagar dan pintu rumahnya ketika mendengar raungan Kawasaki Ninja mendekat. Dibantingnya pintu begitu dia masuk ke rumahnya. Mewanti-wanti Bi Inah agar tak membukakan pintu bagi siapapun yang mengetuk pintu sesudahnya. Setelah yakin Bi Inah mengerti instruksinya, Zee berlari ke kamar, menumpahkan sesak yang menggunung yang sejak tadi ditahannya. Tenggelam dalam lirih tangisnya.
 
Aga menekan nomor yang telah dihapalnya di luar kepala berulang-ulang berharap ada jawaban. Itulah usaha terakhirnya ketika ketukannya di pintu rumah Zee tak berbalas. Namun, hal yang sama terjadi. Gadis itu pun tak hendak menjawab panggilan teleponnya. Di bantingnya cellphone-nya ketika sampai pada panggilan ke 56 nomor itu tak aktif lagi.

****************

“Di antar sampai rumah kan?”, Arif yang ternyata sedang duduk di sofa, membelakangi pintu masuk, tanpa menoleh menyambutnya dengan pertanyaan yang terdengar lebih seperti intimidasi di telinga Aga. Lama dia terdiam merangkai jawaban. Dia mengangguk kecil ketika mendapati kakaknya itu melirik padanya menunggu jawaban. Bohong sebagai usaha meminimalisir konflik yang tak diinginkan nampaknya diterapkan di sini. Berharap anggukannya dapat menyelamatkannya dari tanya lain yang mungkin kan terpikir oleh kakaknya. Baru saja dia merasa usahanya berhasil ketika....

 
“Tidak merasa ingin menyampaikan sesuatu padaku?”, mata Arif fokus pada tangan kanan Aga yg terluka. Menyadari hal itu, refleks Aga menjauhkannya dari jangkauan pandangan Arif,  menyembunyikannya di saku jeansnya. Tak peduli luka itu terasa perih bergesekan dengan permukaan jeans yang kasar.
 
“Tidak Kak”, kebohongan kesekian kalinya terucap.
 
“Ada apa sih?”, Bunda yang muncul dari dapur  menuntut penjelasan ketika menangkap ada yang aneh dengan kedua putranya itu.
 
“Tidak apa-apa, Bunda”, lagi-lagi Aga mencari jalan aman.
 
Arif berdiri. Melangkah menghampiri Bundanya, merengkuh pundaknya sementara matanya mengawasi Aga yang tetap dalam sikap dinginnya. “Putra kesayangan Bunda ini, mau sok jadi pahlawan!”.
 
Mendengar itu, Bunda menatap keduanya bergantian. Aga menatap kakaknya, beku. Arif membalas tatapan itu, tajam.
 
“Kalian ini kenapa sih?”, Bunda semakin tak mengerti akan sikap kedua putranya. Ada perang dingin antara keduanya.
 
“Kau atau aku yang bilang?” Arif menantang. Bunda semakin tidak mengerti, sebelumnya mereka tak pernah terlibat perselisihan sekalipun.
 
“Tak ada yang perlu dijelaskan, Kak.” Aga tetap bertahan dalam penjara kebekuannya.
 
“Ok. Aku yang akan bilang. Anak Bunda ini mungkin tak pernah benar-benar menganganggap kita keluarga sehingga mengira telah berhutang budi pada kita. Dan mungkin juga dia mengira hutangnya itu akan lunas hanya dengan cara seperti yang telah dia lakukan sekarang.”
Aga lekat menatap Arif yang sibuk membeberkan hipotesanya. Bunda hanya menggeleng-geleng tak mengerti. Dia benar-benar tidak tau apa yang dibicarakan Arif.
 
“Maksudnya apa sih? Bunda sama sekali tidak mengerti apa yang kamu katakan Rif.”
 
“Zee...” Arif menyebut nama itu dengan suara berat. Kening Aga berkerut. Gelisah merayap perlahan menghampirinya. Gerah mulai dirasakannya, hawanya perlahan-lahan melelehkan penjara bekunya. Tarikan nafasnya mulai tak beraturan.
 
“Zee?”, tanya Bunda memastikan.
 
“Bunda tidak tahu kalau sebenarnya putra kesayangan bunda ini menyayangi Zee lebih dari sahabat?”
 
“Kak.......”
 
“Apa? Masih mau menyangkal? Dia ini, ketika mengetahui bahwa aku juga menyukai Zee malah merelakan Zee untukku karena dia merasa telah berhutang pada kita. Iyakan?”
 
“Kesimpulan dari mana itu, Kak?”
 
Bunda yang melihat perubahan di raut wajah Aga, mendapati kening putranya itu telah dibanjiri peluh, terlihat begitu gelisah, berjalan menghampiri Aga, meraih pundaknya, membalikkan sosok tegapnya agar berhadapan tepat dengannya, memaksanya menatap matanya demi mencari jawaban jujur yang mungkin saja bersembunyi di baliknya. Mulut mungkin mampu mengatakan apa yang sebaliknya namun mata, tak kan ada yang dapat dilihat di sana selain kejujuran.
 
“Kamu nganggap Bunda ibu kamu kan? Kamu bagian dari keluarga ini kan?”
 
“Aku...”
 
“Ga...tak ada istilah hutang budi untuk kelurga. Bunda menyayangi kamu, karena kamu anak Bunda dan akan selalu seperti itu. Kamu mengerti?”. Di usapnya kepala Aga, lembut. Mata nanarnya mengerjap. Dirangkulnya Aga, didekapnya lama, satu-persatu butiran bening itu menjelajahi pipinya. Aga hanya berdiri diam, nyaris kaku. Bunda mempererat pelukannya. Aga memang tidak lahir dari rahimnya, namun rasa sayang itu sudah tumbuh sejak pertama kali melihat anak itu saat mengunjungi Arini sahabatnya di Rumah Sakit 13 tahun lalu. Dan sejak saat itu dia berjanji akan memberikan kasih sayang seorang ibu untuknya.
 
“Maaf...” seakan tak percaya, 10 menit kemudian, lirih terdengar kata itu di telinganya. Bunda takjub, terlebih lagi ketika Aga membalas pelukannya. Tak pernah Aga berani mendekap Bunda sebelumnya. Dia selalu menciptakan batas untuknya dan keluarganya itu dimana dia sendiri memilih berdiri jauh di belakang batas itu. Dia berterimakasih karena telah dianggap keluarga, namun di usianya yang masih bocah saat itu, setelah mengalami hal setragis itu, dia sudah mampu menanamkan pemikiran di kepalanya bahwa dia sebenarnya hanyalah beban untuk keluarga barunya terlebih lagi ketika sang Ayah meninggal akibat penyakit jantung maka mindsetnya terus-menerus mengharuskannya tak boleh lagi menambahkan beban untuk mereka dan bahwa suatu saat dia harus membayar hutang budi ini. Tapi hari ini, dia membuka hatinya menerima kasih sayang Bunda yang selama ini diblocknya hanya sampai di depan pintu penjara bekunya agar tak lebih banyak lagi hutang budinya. Tak disangka akan senyaman ini rasanya. Barulah disadarinya, saat-saat seperti inilah yang sebenarnya diinginkannya. 

Berada dalam dekapan seorang ibu, dalam lingkaran hangat keluarga, berbagi. Tanpa bisa ditahannya, matanya menghangat. Pantang baginya untuk mengeluarkan air mata, namun satu lagi sentuhan di kepalanya, usapan lembut Arif mematahkan pantangan itu. Dia menangis dalam dekapan Bunda. Menumpahkan segala rasa yang ditumpuknya sejak lama. Ada lega yang kemudian menyelinap, meringankan hati dan pikirannya ketika air mata itu tercurah.
 
“Menangis bukan hanya milik cewek. Menangis bukan tanda kelemahan. Menangis hanya ekspresi dari rasa sedih yang bisa jadi juga merupakan pertolongan pertama untuk mengurangi rasa sedih itu sendiri,” hibur Arif sambil mengusap pelan punggung Aga.  “Jangan takut kehilangan pesona cool mu hanya karena kau menangis hari ini”, ledeknya. Tangannya jahil mengacak rambut Aga.
 
“Arif!”, Bunda yang protes.
 
Aga mengangkat kepalanya dari pundak Bunda. Bunda pun segera melepas pelukannya. Aga menyusut air matanya. Geli sendiri menyadari bahwa dia baru saja menangis tadi. Rekor. Sekali lagi, perlu dicatat, dia tak pernah menangis sebelumnya. Yah...memang tak pernah walaupun hati dan rasanya terluka. Luka yang begitu rupa, dimana sakitnya yang luar biasa mungkin menjadi alasan, membuatnya lupa cara menangis.
 
“Terima kasih”, ucapnya sambil memandang Bunda dan Arif bergantian.
 
“Jangan berterimakasih dulu! Urusan kita belum selesai. Berhenti bertindak bodoh. Soal Zee, sebelum aku berubah pikiran, jelaskan padanya apa yang sebenarnya. Aku tau bukan aku yang diinginkannya tapi kalau kau lagi-lagi menyia-nyiakan kesempatan ini, aku serius, aku tak kan memberimu kesempatan kedua. Kau mengerti?”, tantang Arif.
 
Aga tersenyum. Mengangguk pelan. Dipeluknya kakaknya, lama. Kini, dia benar-benar merasa menjadi bagian utuh dari keluarga itu. Ada Bunda, Arif dan dia.

***********

 
Zee memicingkan mata. Tidurnya yang tak nyenyak semalam membuatnya enggan membuka mata. Namun, dia terbangun mendengar nada tanda pesan masuk di handphonenya. Aneh.....bukankah tadi malam dia telah menon-aktifkannya?! Lalu bagaimana mungkin bisa terdengar nada pesan masuk?! Diraihnya handphonenya. Nama yang tertera: Bad Boy. Aku akan menelponmu, kalau kamu tidak mau mengangkatnya aku akan langsung ke kamarmu. Beberapa detik kemudian, panggilan masuk dengan nama yang sama. Di rejectnya panggilan itu.
 
“Aku kan bilang angkat teleponku” Aga tiba-tiba saja sudah duduk di pinggir tempat tidur Zee membuat gadis itu menjerit.
 
“Good morning,” Aga tersenyum melihat ekspresi kaget Zee. Gadis itu tampak berantakan. Kusut. Matanya terlihat bengkak. Pastilah dia menangis semalaman. Aga yakin, dia punya andil. Semakin bulat niatnya meluruskan semuanya. Dia ingin mengganti kesedihan itu dengan senyum. Untuk itulah dia di sini sekarang. Di kamar Zee. Menyelinap masuk ketika gadis itu masih terlelap, tentu saja setelah meminta izin dari ibu gadis itu terlebih dulu. “Aku kan sudah memperingatkanmu, tapi sayangnya kamu malah menantang, so.....”
 
“Apa yang kau lakukan di sini? Keluar!” Zee bergegas bangkit dari pembaringannya. Dengan kalap, dia melemparkan semua bantal yang berhasil dijangkaunya ke arah Aga. Aga tak gentar, berjalan mendekati gadis itu sampai akhirnya tersudut di pojok kamar. Aga berniat memegang tangan Zee, namun gadis itu lebih dulu mendaratkan tamparan ke pipi Aga. Plaaakkkk. Keras. Namun itu tak juga mampu mengunci Aga di tempatnya. Dia terus berusaha mendekatkan dirinya pada Zee yang masih terpojok di sudut. Putus asa, tak menemukan jalan keluar, butiran-butiran bening itu mulai menghiasi bola mata hitam Zee yang hanya dalam beberapa detik menjelma bak anak sungai. Mengalir membanjiri pipinya. Gadis itu mulai terisak.
 
“Maaf. Tolong jangan menangis lagi....”, pinta Aga lembut.
 
“Tidak usah pedulikan aku, pergi sana!”, tangis Zee menjadi. Isak tangisnya semakin keras.
 
“Aku benar-benar minta maaf. Maafkan aku.”
 
“Aku tidak butuh permintaan maafmu!”
 
“Dengarkan aku dulu”
 
“Aku tidak mau dengar apapun!”
 
“Aku sayang kamu, Zee...”
 
“Heh...lucu....” Sinis.
 
“Zee......”
 
“Cukup!” Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia benar-benar lelah. Tak ingin lagi menaruh harapan pada Aga. Berharap padanya berarti siap terluka. Dan dia tak ingin terluka lagi. Terlalu menyakitkan.
 
“Zee ...aku tau aku salah... aku minta maaf”, pinta Aga.
 
“Terlambat......”, Lirih gadis itu berkata ketika menurunkan kedua tangannya dari wajahnya sembari menyeka sisa-sisa tangisannya sambil menarik nafas berat. Dia benar-benar lelah.
 
“Belum”. Aga berkata pelan. Tangan kokohnya meraih tubuh Zee yang tampak tak bertenaga lagi. Gadis itu pasrah. Tak lagi berontak saat Aga membenamkan kepalanya di dada bidangnya. Mempererat pelukannya berharap kehangatan yang ditawarkan lewat dekapannya mampu meyakinkan gadis itu.
 
“Ga...sudahlah...aku capek..., tolong.....pergilah!” Berbanding terbalik dengan harapan Aga, dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Zee malah mendorong keras tubuh Aga, berusaha lepas.
 
"Zee....., please....", lirih suara Aga tepat ketika Zee berhasil melepaskan dekapannya. Gadis itu memalingkan wajahnya, dengan tangan terulur ke depan, waspada di depan dadanya seperti membentuk benteng demi menghalangi Aga untuk sekali lagi memporak-porandakan hatinya.
 
"It's more than enough, Ga! Just leave!" Setengah berteriak, gadis itu menatap sosok di depannya dengan tatapan penuh kemarahan yang membuat Aga lebih jauh tenggelam dalam rasa bersalahnya. Ketika seorang wanita benar-benar mencintai, dia tak kan meminta lebih selain sebuah ketegasan dan kejelasan. Aga tahu benar itu, namun dia terlalu takut terluka sehingga tanpa sadar menepikan semua rasa yang ditawarkan gadis itu. Ternyata dia memang sepengecut itu.
 
“Aku benar-benar minta maaf.......”, sekali lagi permohonan maaf itu disampaikannya dalam lirih suaranya. Dia mundur perlahan, memberikan ruang bagi Zee. Dan tanpa berpikir lama, gadis itu bergegas ke pintu lalu membukanya. Aga tahu itu berarti pengusiran untuknya. Dia pun melangkah pelan menghampiri pintu. Dia berhenti tepat di depan Zee yang malah memalingkan wajahnya berlawanan dengan tatapannya. “Aku tidak akan pernah bosan meminta satu kesempatan lagi untuk menebus kesalahanku”, janjinya sebelum dia  benar-benar beranjak dari kamar Zee.
 
Tepat setelah Aga melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya, gadis itu membanting pintu. Lama dia terdiam di sana. Dia terlalu lelah dengan semuanya bahkan untuk bergerak sekali pun sampai akhirnya dia merasa tubuhnya begitu lemas dan dia pun jatuh terduduk. Namun tak ada lagi tangis.....entah mengapa. Yang ada hanya sesak. Sesak yang membuatnya sulit bernafas.

**************

“Masih betah berteman dengan yang namanya “diam” yah?”. Arif gemes melihat kelakuan Zee yang anteng saja setelah kurang lebih 10 menit ngoceh sendirian tanpa mendapat feedback berarti dari gadis itu saat dia mengajaknya nge-teh di rumahnya.
 
“Maksudnya apa tuh Kak?” Zee memicingkan mata berlagak tersinggung dengan pertanyaan Arif.
 
“Aku mengajakmu ke sini bukan untuk diam-diaman seperti ini”, jelas Arif sambil menyeruput tehnya.
 
“Ya, kenapa juga Kakak ikutan diam? Kakak yang ngajak ya Kakak lah yang seharusnya ngomong duluan”, balas Zee dengan nada mengejek.
 
“Zee.....dari tadi itu aku dah nanya kamu ini-itu, kamu jawabnya cuma ngegeleng ataukah ngangguk, yang paling parah, cuma dapat deheman “hhhmmmm” dan “he-eh” saja.”
 
“Mang iya? Mungkin karena Kakak yang kurang kreatif mengajukan pertanyaan”, jawab Zee dengan tatapan innocent.
 
“Kamu tuh....” Arif mengacak gemes rambut Zee.
 
Zee hanya tersenyum simpul sambil merapikan rambutnya yang jadi bulan-bulanan Arif.
 
“Kamu juga sediam ini kalau lagi sama Aga?”
 
“....” Zee menatap Arif dengan tatapan yang sulit diterjemahkan.
 
“Kenapa diam?” tuntut Arif ketika tak mendapat jawaban dari gadis itu.
 
“Tergantung....”, jawab Zee akhirnya.
 
“Tergantung apanya?”, selidik Arif lagi.
 
Entahlah...... Dia juga tidak tahu tergantung apanya. Yang pasti, seingatnya, jika dia bersama Aga, maka dialah yang akan sibuk berceloteh karena Aga hanya akan berbaring dan tenggelam dalam diamnya.
 
“Zee.....”,
 
“Heh...”
 
“Kenapa malah melamun?”
 
“Mmmmm....nggak pa-pa”, jawab gadis itu gelagapan.
 
“Sampai kapan kamu mau begini?” Tanya Arif dengan nada serius.
 
“Maksud Kakak?”
 
“Tanpa kamu sadari, saat ini justru kamu sudah bertingkah seperti dia”
 
“Aku nggak ngerti”
 
“Kamu benar-benar nggak ngerti atau cuma pura-pura?”
 
“Kakak ini bicara soal apa sih?”
 
“Aga”
 
“Kenapa sih harus ke dia lagi....”
 
“Karena sejak awal cerita ini memang cuma tentang kalian berdua kan?”
 
“.....” Zee terdiam, tak berani menatap sosok di depannya. Rasa bersalah membuat lidahnya kelu.
 
“Aku sudah tau, Zee. Aku hanya berpesan, jangan sampai rasa tidak enak, rasa segan, rasa bersalah, atau apapun sebutannya membuat mu melakukan hal yang sama seperti yang telah dilakukan Aga. Mengorbankan kebahagian.”
 
“Kak.....aku”, Kata-katanya menggantung seperti tak lagi punya alasan. Alasan apalagi? Bukankah itu memang benar?
 
“Pikirkanlah....”, kata Arif seraya beranjak dari tempatnya duduk hendak meninggalkan Zee, memberikannya waktu berpikir.
 
“Ini bukan hanya soal itu. Aku hanya tidak mau menitipkan rasa yang ku punya pada orang yang bahkan tak mau mengakuinya”, jawab Zee sebelum Arif benar-benar hilang dari pandangannya.
 
“Aku cuma butuh kesempatan kedua untuk membuatmu percaya kalau aku tak hanya akan mengakuinya tapi juga menjaganya, Zee.” Aga tiba-tiba muncul dari arah yang berlawanan dengan Arif dan membuat gadis itu terpaku di tempatnya.  “Maaf, membuatmu harus menunggu selama ini....membuatmu harus merasakan sakit dan menangis. Aku benar-benar minta maaf.”
 
Zee tak bergerak dari tempat duduknya, seakan tak punya tenaga untuk kembali melakukan perlawanan. Langkah pelan Aga yang terdengar semakin dekat membuatnya gusar. Namun dia tak mampu berbuat banyak selain duduk dengan gusar menahan debaran jantungnya yang detakannya terasa lebih cepat.
“Masih marah?”, tanya Aga begitu bertatapan dengan Zee sesaat setelah dia duduk tepat dihadapan gadis itu.
 
Zee memalingkan wajahnya namun tetap saja tak mampu menyembunyikan kegusarannya.
 
“OK. Tak seharusnya aku bertanya seperti itu. Pastilah kamu masih marah. Hhhhh...... Aku benar-benar minta maaf, Zee.”
Gadis itu masih betah dalam diamnya.
 
“Percaya aku, sekali ini saja...”, pinta Aga seraya mngulurkan tangan berusaha menyentuh pipi Zee.
 
Zee menarik dirinya. Menjauhkan tubuhnya dari jangkauan tangan Aga. Zee berdiri, hendak berlalu meninggalkan Aga ketika Aga pun beranjak dari duduknya lalu mencengkram tangan gadis itu.
 
“Apa yang harus aku lakukan agar kamu percaya?”.
 
“Tidak ada”, lirih suara Zee. “Aku hanya butuh waktu”.
 
“Waktu? Berapa lama lagi? Kau sudah mendiamkan ku selama satu bulan. Apa itu belum cukup? Hah?”,
 
“Ga!”
 
“Dengar aku! Aku nggak akan ngasih kamu waktu! Sebulan ini sudah lebih dari cukup!”
 
“Kenapa malah jadi kamu sih yang marah-marah?”
 
“Masih nanya kenapa? Zee.......aku tuh sudah hampir gila! Aku nggak tahan kamu diemin selama itu! Aku tuh sayang sama kamu! Ngerti!”
 
“Ga!”
 
“Jangan nyuruh aku nunggu lagi!”
 
“Tapi......”
 
“Tidak ada tapi...tapi! Cukup! Mulai sekarang, kamu itu calon istri aku!”
 
“Maksudnya apa sih? Seenaknya saja... Sudah tahu kamu yang salah, malah kamu yang lebih marah. Sekarang men jadiin orang calon istri. Kamu pikir segampang itu apa.....kamu tuh.....”
 
Belum sempat Zee meneruskan omelannya, tangan kokoh Aga telah menarik tubuh Zee ke dalam pelukannya lalu membenamkan kepala gadis itu di dada bidangnya. Seketika itu pula Zee berhenti berkata-kata, larut dalam irama detakan jantung Aga yang terasa menenangkan.
 
“Please.....berhenti yah, marahnya....”, bisik Aga lembut tepat di telinga Zee.
 
“Aku sayang banget sama kamu. Aku mau kamu percaya itu. Aku sudah menceritakan semuanya pada Ibu dan Ayahmu. Aku sudah memintamu pada mereka. Mereka menyerahkan keputusannya padamu”.
 
Zee melepaskan tubuhnya dari dekapan Aga dan terdiam. Tak berani berfikir. Takut kalau-kalau fikirannya kan membawanya ke dunia nyata dimana ceritanya tak seperti yang baru saja dikatakan Aga padanya.
 
“Zee...” Jemari Aga mengelus lembut pipinya. “Maafkan aku untuk semuanya. Aku cuma minta satu kesempatan untuk menebusnya. Bisakah?”.
 
Untuk beberapa saat gadis itu memejamkan mata. Meminta bantuan hati memberikan pertimbangan. Bisakah dia percaya untuk kali ini? Selalu ada konsekuensi yang akan diterima setiap mengambil keputusan dan dia harus berani mengambilnya apapun resikonya. Karena itu, saat membuka mata, anggukan pelannya adalah jawaban.
 
“Tapi bisakah aku minta sesuatu?”, tanya Zee pada Aga yang disambut anggukan cepatnya. “Setiap kali kamu ke rumah sakit....bawa aku!”, pintanya dengan tatapan mengharuskannya.
 
“Kau tidak takut?”, tanya Aga.
 
“Dia ibumu, tak ada yang perlu  ku takutkan”, jawab gadis itu, yakin. Aga tersenyum mendengar jawaban gadis itu. Dia mampu melihat kesungguhan Zee lewat tatapan matanya. Dan dia menemukan kembali tatapan menenangkan itu. Tatapan yang selalu mampu membuatnya nyaman. Tatapan yang selalu bisa menjadi tempatnya kembali.

******************************** The End ******************************