Sabtu, 09 November 2013

Rama (Sebuah kisah berbeda tentang Pangeran)

Dipublikasikan pertama kali di tanggal ini "August 20, 2011 at 3:23pm"
 
Sebuah hadiah kecil untuk seorang sahabat yang meyakini bahwa aku bisa menulis. "Thank you so much for believing in me".


"Rama."
Gadis itu terhenyak, menyadari apa yang baru saja terlintas di pikirannnya yang membuatnya mengeja kembali nama itu tanpa diinginkannya. Lalu....tanpa bisa dicegah, rekaman-rekaman masa lalu yang menampilkan sosok itu kini tergambar jelas di depan matanya.

Seragam putih biru. Lapangan basket salah satu sekolah menengah pertama di Kota Daeng yang juga sekolah favorit. Inilah pertama kali gadis itu bertemu dengannya. Dalam pandangannya, sosok itu tak istimewa. Badan tambun, kulit hitam, dan tak bisa dikatakan tampan. Namun, dia memiliki nilai lebih, berdompet tebal yang memungkinnya selalu berpenampilan modis. Dan tentu saja, kemampuannya bermain basket mampu membuatnya menjadi bahan obrolan gadis-gadis di sekolahnya. Dialah..... Rama.

Entah kapan dan bagaimana awalnya, gadis itupun tak tahu-menahu. Rama, yang merupakan kakak kelasnya ternyata jatuh hati padanya. Dia datang menawarkan perhatian layaknya sosok Prince Charming dalam film-film romantis. Seharusnya, selayaknya ending dalam film itu, gadis ini akan terlena, namun....tidak. Rama, mungkin seorang pangeran, tapi dia bukanlah pangeran tampan seperti yang selalu didengar dan dibacanya dalam dongeng. Sampai pada akhirnya hanya penolakanlah yang bisa diberikannya pada sosok itu.

Kecewa kah Rama?! Mungkin... Namun, usahanya belum berhenti sampai di situ. Tak mempan dengan jurus rayuan maut, dia beralih ke jurus lainnya, yang entah dia pungut dimana teorinya. Berbanding terbalik dengan jurus rayuan maut yang mengandalkan perhatian maka jurus kali ini, "anggap saja tidak ada". Kapan dan dimanapun Rama berpapasan dengan gadis itu, dia akan menganggapnya angin lalu, tak ada sapa, tak ada senyum manis.

Gadis itu terjebak. Terasa ada sesuatu yang hilang ketika tak ada lagi perhatian yang sama yang didapatkannya dari sosok itu. Ketidakpedulian Rama padanya setelah semua perhatian-perhatian sebelumnya membuatnya resah. Tanpa disadarinya, dia merasa kehilangan karena sejujurnya dia mulai menikmati apa yang telah dilakukan sosok itu untuknya. Berhasilkah Rama dengan strateginya kali ini?! Yah....perlu proses memang, namun....dia berhasil. Gadis itu menerimanya. Entah siapa yang kemudian memulai kembali.

Tak ada yang salah dengan Rama. Dia masih sama. Perhatiannya, sikap gentlemennya untuk seusianya, sejujurnya membuat gadis itu merasa sangat istimewa. Masalah justru ada pada gadis itu. Dia merasa tak nyaman menjalani hubungan dengan Rama. Ada saja yang mampu membuatnya illfeel pada sosok itu. Mulai dari omongan mengejek dari teman-temannya soal fisik Rama yang tambun dan entah apa lagi. Semua itu membuatnya berpikir untuk mengakhiri saja hubungan yang baru berjalan beberapa minggu itu. Langkah teraman yang dipilihnya adalah, menghindar. Sebisa mungkin tak bertemu dengan Rama di sekolah. Bahkan ketika Rama menelpon ke rumahnya, jawaban-jawaban ketuslah yang akhirnya terucap dari bibirnya.

Begitulah.....sampai benar-benar tak ada komunikasi lagi. Rama sibuk mempersiapkan diri menghadapi ujian kelulusan. Gadis itu sendiri merasa itulah yang terbaik untuknya. Toh, dia masih sangat belia, masih ada waktu untuk mendapatkan sosok Prince Charming seperti dalam khayalannya. Tak ada kata putus. Semuanya berakhir begitu saja. Sebenarnya, sebelum acara penamatan, Rama masih berharap mendapatkan penjelasan tentang perubahan sikap dari gadis itu yang tiba-tiba saja menghindarinya, namun gadis itu tak juga memberikannya. Keinginan Rama untuk bertemu yang disampaikan lewat salah satu temannya, ditolaknya. Mereka pun tak pernah bertemu lagi, kabar terakhir yang didengar gadis itu, Rama pindah ke Jakarta untuk melanjutkan sekolahnya di sana.

Dan kini, nama itu kembali terlintas di kepalanya. Rama. Betapa perhatian dan sikap gentlemennya dulu pada usia yang masih begitu belia mampu membuatnya nyaman dan merasa istimewa. Di usianya yang ke 24, kalau tidak salah hitung, mungkin sudah kurang lebih 10 kisah cinta yang dijalaninya setelah cerita singkatnya dengan Rama. Dan harus diakuinya, tak satupun dari pemeran utama pria dalam kisah-kisah itu yang memperlakukannya semanis Rama memperlakukannya. Bahkan beberapa diantaranya berakhir hanya menorehkan luka penghianatan. Mungkin karena itulah, sekarang dia merindukan Rama. Merindukan perhatian dan sikap gentlemen ala Prince Charmingnya.

"Dimana ya dia sekarang?", tanyanya pada diri sendiri. "Apa dia masih ingat padaku?". Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Dia bergegas menuju lemari tempatnya menaruh rapi buku-bukunya. Di bongkarnya lemari itu, dikeluarkannya buku-bukunya secara serampangan. Selama hampir setengah jam mengobrak-abrik isi lemarinya, dia memekik tertahan. Sebuah buku tulis usang berada erat digenggamannya. "Dapat!" Cepat-cepat dibukanya lembar demi lembar halaman buku itu mencari sesuatu. "What if.....", pikirnya. Letters to Juliet..... Judul film yang baru saja dinontonnya kemarin, yang menjadi topik hangat diperbincangkan dengan teman-temannya di tempatnya mengajar, mendorongnya untuk setidaknya berusaha mencari keberadaan Rama. Dia tak ingn terjebak pada pertanyaan "what if", bagaimana jika, bagaimana kalau seandainya....... Maka dengan semangat itu, matanya teliti mencari nomor telepon rumah Rama yang seingatnya pernah dicatatnya di buku itu. Hampir saja putus asa, seulas senyum lega mengembang menghias bibirnya ketika menemukan deretan nomor yang angkanya sudah buram, nyaris tak terbaca. Dipaksanya matanya berakomodasi penuh untuk memastikan nomor-nomor itu. Dicatatnya ulang. Saatnya mencari tahu keberadaan Rama dengan menghubungi nomor itu.

"Dodol!", pekiknya tetap tertahan, takut kalau orang-orang di luar kamarnya mendengar. "Telepon rumah kan lagi ngadat. Tidak bisa nelpon. Mo nelpon pake' hp, pulsa nihil. Gajian masih harus nunggu 2 minggu lagi. Duh......". Dia menimbang-nimbang. "Aha......", wajah seseorang tiba-tiba saja melintas di kepalanya. Diambilnya hpnya. Kalau untuk SMS, masih bisalah. Dia masih punya ratusan stock SMS gratis. Dia mulai mengetik. Sebenarnya dia pun agak ragu ketika akan menekan tombol send ke nomor itu. Diandra. Sahabatnya itu belum tentu bersedia membantunya. Tabiatnya yang selalu terkesan malu-malu dan kadang memang malu-maluin menjadi alasan kuat untuk menolak permintaannya. Namun.... kembali lagi.... "what if". Maka ditekan juga tombol send itu. Beberapa menit kemudian, balasan Diandra diterima. "Maksudnya?", tulisan di SMS itu. Hampir saja dia mengumpat. Serasa ingin menaruh cap "dong-dong" di jidat salah satu sahabatnya itu ketika dia teringat bahwa dia memang belum menceritakan tentang Rama padanya. Tentu saja Diandra merasa bingung ketika tiba-tiba saja dia memintanya menghubungi nomor telepon seseorang bernama Rama itu. Maka, yang ada kemudian adalah, inbox hp Diandra penuh dengan cerita tentang Rama. Sebenarnya Diandra juga berat untuk mengiyakan menolong sahabatnya itu. Belum pernah dilakukannya sama sekali, menelpon rumah cowok untuk menanyakan dimana keberadaannya. Wooaaww...... rekor akan terpecahkan. Namun..... akhirnya jawaban "ya" jugalah yang diterima gadis itu. Tak cukup hanya dengan jawaban "ya" dari Diandra, dia berniat untuk coba menghubungi sahabat-sahabatnya semasa SMP, berharap ada yang tahu keberadaan Rama. Dan begitulah kegiatannya selama seminggu lebih. Berburu Rama. Diandra tak mampu memberinya kabar bahagia, nomor telepon yang diberikannya ternyata tak aktif lagi. Begitupun yang dikatakan Gwen, sahabatnya satu lagi yang juga turut dikerahkan untuk mencari Rama. Benar-benar nihil. Sia-sia.

Rama..... Entah perasaan macam apa yang sebenarnya membawanya sejauh itu. Menelpon puluhan nomor telepon, berharap ada yang mampu memberitahukan keberadaan Rama. Mencarinya di FB. Tak ada satupun yang bernama Ramadhan Putra Ardiansyah. Mungkin benar, kita tidak akan menyadari bahwa kita memiliki sesuatu yang berharga sebelum kita kehilangan sesuatu itu. Walaupun Rama tak setampan Prince Charming, toh.....dia mampu membuatnya merasa istimewa, diperlakukan tak jauh beda dengan putri dalam dongeng itu. Dulu bukannya dia tak menyadari betapa dia tersanjung, namun rasa terima kasih itu terbekukan oleh omongan-omongan orang lain. "Rama..... aku hanya ingin minta maaf sekaligus berterimakasih untuk semuanya", bisiknya dalam hati.

Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya dia tak bisa tidur. Dia hanya berbaring, bermalas-malasan. Mata sendu yang entah bagaimana di saat bersamaan juga mampu memancarkan aura tajam itu memandang kosong langit-langit kamar. Masih ada Rama yang terus membayangi pikirannya. Tiba-tiba nada dering hpnya berkoar menyentaknya dari lamunannya. Nama Gwen tertera di layar hp. "Keizha, liat berita di tv, channel 5, cepat!", suara Gwen memaksa. Tanpa sempat protes sambungan telah terputus, maka diturutinya Gwen. Dia baru saja akan bertanya kenapa dia harus repot-repot menonton berita kecelakan helikopter ketika sebuah nama terdengar disebut oleh sang reporter. "Ramadhan Putra Ardiansyah, pilot helikopter yang juga satu-satunya korban dalam kecelakaan itu, menghembuskan nafas terakhir dalam perjalanan ke rumah sakit". Nama itu..... Sekujur tubuhnya mulai terasa dingin. Ramakah? Dia tidak mau memikirkan kemungkinan terburuk. Sampai akhirnya sebuah foto yang menghiasi layar tv meyakinkannya bahwa itu memang Rama. Tak setambun dulu memang, sebaliknya, terlihat gagah dengan seragam penerbangnya, namun dia tahu itu Rama. Tanpa disadarinya, wajah Rama ternyata terekam dengan jelas dalam memorinya dan foto itu mengajaknya untuk kembali menjelajahi waktu, kembali ke Rama yang dulu, yang berseragam putih biru. Dan Keizha, gadis itu, mendapati kenyataan bahwa dia memang harus terjebak pada frase hidup "what if...." tanpa punya kesempatan bahkan untuk meminta maaf dan berterimakasih. Yah.... life is not only about a princess who looks her Prince Charming.

"Rama..... aku benar-benar ingin minta maaf. Dan terimakasih untuk semuanya", bisiknya lirih, kemudian melangkah pelan mematikan tv lalu menyambar buku tulis usang berisi nomor-nomor sahabat-sahabat semasa SMPnya yang tergeletak di atas meja di samping tv dan menghampiri lemari. Dibukanya lemari itu, ditaruhnya buku usang itu, diselipkan diantara buku-buku lainnya. Buku usang itu akan tetap disimpannya. Buku usang yang bagi orang lain mungkin akan berakhir di tong sampah. Namun baginya, itulah satu-satunya perantara bagi dirinya untuk mengenang saat-saat terbaik yang dulu pernah diberikan Rama untuknya. "Selamat jalan Rama".

Jumat, 08 November 2013

Saatnya Mengakui (Untuk semua Bapak yang telah menjadi Bapak terbaik bagi keluarganya)

Aku menulisnya di tanggal ini..... "August 7, 2011 at 11:56am"
 
Inilah pertama kali aku mengakuinya. Disela isak tangis, ditemani sesak, kuputuskan untuk mengabadikan pengakuan itu dalam sebuah tulisan. 


Aku tak ingat sudah berapa lama engkau pergi....
Bukan karena aku tak perduli, hanya saja aku tak ingin mengakui bahwa engkau tak akan pernah bersama kami lagi.....

Dan hari ini, lewat tulisan ini, ku kumpulkan keberanian memungut kembali kenangan-kenangan akan engkau yang sejak kepergian mu entah tercecer dimana....
Namun sekali lagi bukan karena aku tak perduli justru karena aku terluka.....
Tak berdarah memang, tapi perih yang ku rasa mampu menyesakkan dada, dan aku masih sulit bernafas....pun sampai saat ini...

Maka.....izinkan aku bercerita tentangmu... pada siapa saja yang sudi mendengarnya sebagai obat untuk sesak ku....
Dan dari sinilah semuanya bermula....
Inilah beberapa kenangan, dalam nanar yang enggan berlalu, ku coba memilahnya satu-satu, samar, tapi masih bisa terbaca....

Berada dibelakangmu, duduk manis, sementara engkau fokus menatap ke depan.....
Ini saat engkau membonceng ku....
Hampir setiap pagi..... sejak SD, SMP, SMA, Kuliah,  bahkan sampai beberapa bulan sebelum kepergianmu untuk selamanya....
Akan ku katakan sekarang.... betapa aku merindukan mu.... rindu untuk berada di boncengan mu lagi....

Cemilan dan kue.....setiap kali terdengar deru mesin motor mu di ujung lorong, kami, kedua putri kecil mu akan berebut membukakan pintu pagar demi menjadi yang pertama mengetahui apa lagi yang engkau bawakan untuk kami hari ini....
Akan ku katakan sekarang....ya....aku memang merindukan mu.... bukan karena cemilan dan kue-kue itu. 
Aku merindukan senyum puas mu ketika kami dengan rakus melahap semuanya....
Engkaulah yang aku rindukan, dan baru ku akui itu sekarang....

Dan aku berhenti di hanya kedua kenangan ini.... untuk melongok lebih dalam dan mengetahui..... masih ada setumpuk kenangan tentang mu yang tak kan cukup tuk ku bagi di sini....
Maka yang perlu mereka tau adalah betapa aku rindu memanggilmu lagi..... "BAPAK"....

Betapa aku bangga memiliki mu karena sejak kecil, yang ku tau, engkaulah pahlawanku, yang kan melakukan apapun, demi melihat senyum di wajah polos kami, kedua putri kecil mu....

Engkau pahlawan.... Engkau lah yang terkuat.... Maka tak pernah sekalipun terlintas di benak ku bahwa engkau bisa sakit.
Aku tak pernah mendengar mu mengeluh.... Maka tak mungkin engkau sakit.... Itu pikirku....

Sampai akhirnya di suatu malam, entah karena apa aku terbangun, samar-samar ku dengar perbincangan mu dengan Ibu....
Malam itu.... Aku sadar. 
Kau bukan Gatot Kaca, juga Bukan Kesatria Baja Hitam.
Engkau hanya seorang Bapak.
Engkau juga bisa sakit....

Dan karena engkau Bapak ku, Pahlawan ku, engkau meminta Ibu untuk merahasiakannya dari kami, kedua putri kecil mu.
"Jangan sampai mereka terganggu", itu kata mu.....
Jadilah aku pun berpura-pura tidak tau bahwa engkau sakit...... Entah karena untuk membuatmu tak mengkhawatirkan kami atau karena aku yang tak bisa menerima bahwa pahlawanku bisa sakit.
Tapi tak mungkin ku tepikan bahwa engkau sudah begitu jauh berbeda.....
Engkau smakin kurus....nampak begitu lemah....dan ringkih....
Aku masih tetap dalam kepura-puraanku.

Aku salah.....aku sadar itu....
Seharusnya aku tak membohongi diriku.... bahwa engkau sehat-sehat saja....
Aku salah.....aku akui itu....
Seharusnya aku tetap di sampingmu berjaga-jaga seumpama kau membutuhkn ku....
Tapi aku salah....aku malah menghindarimu....

Tahukah engkau mengapa?!
Aku takut....sangat takut....terlalu takut....
Engkau pahlawanku, yang terkuat, engkau tak mungkin sakit....tak boleh...
Aku takut....sangat takut....terlalu takut....
Engkau seharusnya tetap kuat....
Aku takut....sangat takut....terlalu takut....
Wajah letih itu....wajah pias itu....
Tubuh lemah itu....tubuh ringkih itu...
Itu bukan Bapak ku.... Bapak ku pahlawan.... Dia kuat.... tak mungkin sakit....

Aku masih terus menyangkal....
Meskipun engkau tak lagi mampu membonceng ku...
Meskipun engkau tak lagi mampu ke kantor....
Meskipun akhirnya engkau hanya mampu berbaring di kamar....
Aku bahkan takut masuk ke kamarmu sekedar untuk menjengukmu.....
Karena engkau tak mungkin sakit..... Aku tak ingin menjenguk orang yang tidak sakit...

Aku masih tetap menyangkal....
Sampai akhirnya aku harus juga masuk ke kamar mu....
Dan kulihat sosok asing itu berbaring di ranjang mu....
Sosok itu bukan bapak ku....
Dia berbeda...benar-benar berbeda....
Aku tak mengenalinya....
Aku semakin ngotot bahwa bukan Bapak ku yang sakit.....

Namun, di saat yang sama aku tau engkau tak akan lama lagi bersama ku....
Aku merasa bahwa engkau akan pergi jauh.....
Dan bodohnya aku.....aku masih tetap dengan penyangkalan ku, bersikeras bahwa engkau baik-baik saja...

Akhirnya, engkau pun diharuskan dirawat di rumah sakit....
Dan akupun terpaksa mengatakan bahwa kau memang sakit....
Tapi aku masih takut....sangat takut....terlalu takut....
Sempat aku hanya memandangimu dari jauh....
Mengamati mu yang hanya mampu menggumam dengan mata terpejam....
Tak juga ku beranjak mendekatimu....
Diam.....diam.....hanya diam....
Dan entah mengapa dalam diam itu aku merasa harus menyampaikan kata selamat tinggal padamu....
Namun....aku tak sanggup....benar-benar tak sanggup.....

Sampai tibalah saat itu....
Ku lihat Ibu ku menangis....meraung....tak pernah sebelumnya....
Ku pandangi wajahmu yang tampak begitu letih....
Ku lirik adik ku yang mulai gusar....
Ku beranikan diriku .... menghampirimu .... meraih tangan mu.... dingin .... lembab ....lengket ....
Ku elus tangan itu....tanpa suara.... masih dalam diam....
Ada perih yg teramat sangat di sini, Bapak,....di dada.....
Aku tak mampu mengucapkannya.......
Maka cukup dalam hati saja......
"Aku rela, Pak. Kalau engkau merasa tidak kuat....engkau bisa pergi sekarang... Aku janji.... Aku yang akan menjaga mereka"
Apakah kau dengar itu, Pak?!.....
Itu janji ku padamu.

Maka, aku harus kuat....
Untuk Ibu dan adik ku....
Maka aku tak mau menangis....
Tak boleh ada air mata dihadapan mereka karena aku memutuskan akulah yang harus kuat....

Namun....di tengah malam, saat aku tak bisa tidur, di sebuah bangku ruang tunggu,
Dan kuyakin semua sudah terlelap.... memandangi wajah polos adik ku yang tengah tertidur. Dia mungkin belum sanggup kehilanganmu, Bapak.....
Aku tak mampu lagi memendamnya....
Akhirnya, aku menangis, Bapak....
Maafkan aku....
Tapi....
Izinkan aku untuk sekali ini saja....
Biarlah ku habiskan rasa sakit ini dulu, lalu akan ku tepati lagi janji ku padamu.
Maka, jadilah aku menangis, bersedu sedan.....
Untunglah hanya sahabatku, yang juga ikut menungguimu, yang terbangun malam itu.
Engkau hebat, Bapak, sahabat ku pun tak ingin kau pergi...dan kami pun menangis bersama....
Tapi....aku benar-benar rela jikalau memang kau sudah tidak kuat.... 
Pergilah....dan kan ku hapus juga air mata ku....
Dan tetap ku jaga janjiku.....
Aku rela.....

Dalam shalat ku di malam di saat aku memutuskan untuk kembali ke rumah, malam terakhir aku melihat mu bernafas, aku meminta lagi pada-Nya Sang Pemilik Ruh...
"Kalau memang Engkau mau mengambilnya sekarang, ambillah. Jikalau itu yang terbaik buatnya, kami rela. Kami akan kuat"
Lalu, aku pun pamitan padamu. 
Kau tampak segar saat itu.
Mereka bilang bahwa kau akan baik-baik saja, jadi aku boleh pulang dulu.
Tapi.... sambil menggenggam tanganmu.... entah mengapa aku merasa bahwa inilah genggaman terakhir. Namun, bodohnya aku, akupun tetap pulang....

Keesokan harinya.... Mentari pagi pun belumlah terbit
Ku dengar dering telepon....
Aku tau.... Engkau telah pergi....
Dan benar....itulah yang terakhir karena engkau tak kan kembali lagi....
Maafkan aku karena aku tak berada di sana, di sampingmu, saat tarikan nafas terakhirmu....
Maafkan aku.... Bapak.

Adikku menangis...pilu....
Sakit....teramat sakit....tapi bukankah aku berjanji padamu, Bapak, aku akan menjaga mereka?!
Maka ada yang harus kuat....
Aku merengkuhnya dalam pelukanku, membelai kepalanya.... tanpa suara....
Mengapa?! Karena kuputuskan akulah yang harus kuat....
Aku menepati janji ku, Bapak....
Aku kuat....
Tangisku tanpa suara.....

Namun...tau kah engkau Bapak?!
Aku tak sekuat itu....
Sampai saat ini, aku tak pernah benar-benar mengakui bahwa kau telah pergi....tak kan bersama kami lagi....
Aku tak sekuat itu....
Aku merindukan mu...
Masih amat sangat merindukan mu
Mengapa?! 
Karena....., tanpa menepikan keberadaan adik tersayangku, seingatku, aku lah yang paling dekat dengan mu.... 
Dalam laporan ingatan yang kutemukan di ujung memoriku, engkau selalu hadir di sana....

Dan salah ku lah, aku tak pernah berterima kasih untuk itu....
Izinkan aku mengatakannya sekarang.....
TERIMA KASIH, BAPAK......
Aku mencintai mu.....
Aku merindukan mu.....