Jumat, 27 Desember 2013

Let Love Lead The Way



Aku hanya mampu mengintip mu dari sebuah celah sempit yang bernama gengsi. Mungkin karena itu kau tidak menyadari keberadaan ku. Dan jika itu adalah sebuah kesalahan karenanya lah aku minta maaf.

“Bagaimana kabar keluarga di sana, Om?”, tanya gadis itu pada pemilik suara di ujung line telepon, di seberang sana.
“Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri bagaimana? Ayah-Ibumu? Kapan kamu ke sini lagi?” balas suara itu.
“Kami di sini juga alhamdulillah dalam keadaan baik. Soal keinginan untuk ke situ.....” gadis itu menimbang sejenak, “saya belum bisa. Masih ada kerjaan di sini.”
“Padahal ada yang merindukanmu di sini....,” suara itu lagi.
Perkataan seseorang di seberang sana itu tak pelak membuat kenangan-kenangan ketika sang gadis menjadi bagian dari keseharian keluarga itu menjelma slide-slide yang berkelebatan di pikirannya. 7 tahun yang lalu, dia yang diterima menjadi mahasiswi dari salah satu perguruan tinggi di kota itu, meninggalkan rumah orang tuanya untuk kemudian tinggal dengan keluarga pamannya demi menuntut ilmu. 5 tahun dihabiskannya dengan keluarga pamannya itu sebelum dia memutuskan untuk kembali ke kota tempat kedua orang tua dan saudara-saudaranya tinggal tepat setelah dia menyelesaikan kuliahnya. 5 tahun mungkin bukanlah waktu yang lama namun juga tak bisa dikatakan singkat untuk mengesampingkan keakaraban yang telah ditawarkan keluarga pamannya itu selama dia menumpang di sana. Jujur, ada rasa rindu untuk kembali ke sana, ke tengah kehangatan mereka. Hanya saja...............
“Halow......,” suara Om nya di ujung telepon berganti suara manja bocah kecil. “Kak Emma....”
“Rifky?” tanya gadis itu memastikan. Bocah itu pastilah Rifky, anak pamannya yang masih berusia 2,5 tahun. Dia memang sudah tak berada di sana saat Rifky lahir, tapi apa sih yang tidak bisa dilakukan di zaman gadget seperti sekarang? Dia sering memantau pertumbuhan adik sepupunya itu dengan berkomunikasi lewat skype, facebook, atau sekedar menengok foto-foto Rifky yang diposting tantenya di instagram. Rifky pun mengenalnya dengan cara yang sama. Hanya sebatas itu, tapi itupun sudah cukup untuk membuat mereka merasa dekat.
“Kak Emma.... Mmmmm....”, suara itu terdengar ragu. Dibelakangnya samar terdengar seseorang sedang memberikan instruksi, lalu.... “Lownan.... Lownan.... Yes!”
“Low-nan?” diulangnya lagi seruan yang terlontar tak jelas dari sepupunya itu dengan kening berkerut.
“Hahahaha.....”, suara tawa Om nya menggantikan suara manja Rifky. Tampaknya Om nya itu telah mengambil alih telepon. “Maksud Rifky itu.... Ronan.... Ronan.... Yes!”
“Ronan. Nama itu.... Kenapa?! Masih?! Belum berhenti juga?! Oooohhhh.... Please come on!” pintanya dalam hati.
“Ko’ diam?” tanya suara di seberang.
“Ampun deh, Om. Rifky itu masih kecil. Jangan diajari yang macam-macam dulu.” Gadis itu berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia sedang tidak berminat membahas soal itu.
“Hahaha.... Justru begitulah cara saya mengajarinya mengucapkan huruf –R-, Emma.”
“Om.... tolong deh, berhenti mengejekku seperti itu. Lagipula kasihan nanti anak orang, tersedak karena diomongin”, pintanya. Dia sebenarnya justru berharap dialah yang dikasihani untuk tak lagi mengungkit nama itu. Mereka tak tahu saja kalau sebenarnya pernah ada cerita diantara mereka, yang menggantung, belum menemukan akhir atau memang sebenarnya tak pernah ada akhir dalam kisah itu, akan tetap mengawang-awang, selayaknya kertas-kertas penuh impian yang digantungkan pada sebatang pohon bernama pohon pengharapan, menanti tuk dikabulkan, entah kapan, sampai akhirnya terlupakan. Terlupakan. Mungkin sang pemilik nama itu sudah lupa akan cerita yang pernah ditulis waktu dengan menyertakan namanya sebagai pelakon wanita untuk mendampinginya. Tapi tidak untuk gadis itu. Dia tak sepenuhnya lupa. Ibarat perjalanan jarum jam, yang selalu kembali pada titik angka yang telah ditinggalkannya, gadis itu pun tak punya pilihan selain berhadapan kembali dengan kenangan itu. Kenangan yang dulu disangkanya akan punah, tak berfosil, setelah dia merangkai kenangan lain bersama beberapa nama yang sayangnya juga berakhir di pohon yang sama, pohon pengharapan. Hanya saja, untuk nama-nama ini, dia menyisipkan waktu, melepaskan ikatannya, menjatuhkannya ke tanah sampai akhirnya disaksikannya sendiri terinjak, terkoyak oleh panas dan hujan. Karenanya, dia tahu, dia tak perlu berharap lagi. Namun, entah mengapa, dia lupa mencari nama seseorang itu, atau memang dia masih ingin berharap? Untuk itukah, dia masih membiarkan namanya tergantung di sana? Entahlah.
“Kamu sudah pernah bertemu dengannya lagi?”
Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Mencoba memanipulasi getir yang terasa. “Belum,” jawabnya lirih. Bibirnya perih namun getir itu tidak juga beranjak.
“Kamu sudah dengar kabar terbaru darinya?”
 Gadis itu berharap bahwa jawabannya adalah belum dan tidak agar dia tak perlu kembali pada kenangan itu. Kenangan yang seharusnya masih menggantung di tempat yang sama. Tetap menggantung di sana sampai dia lupa pernah ada satu nama yang pernah menjadi pengharapannya. Tapi.... kenyataan memang tak selalunya mengabulkan harapan. Pemilik nama itu, yang memang masih terhitung kerabatnya, hadir kembali dalam hidup Emma lewat kabar yang dibawa salah satu tantenya yang berkunjung ke kediaman gadis itu. Lewat tantenya  itulah, Emma tahu sang pemilik nama itu telah menjelma sebagai seorang pria impian, tak hanya tampan tapi juga mapan. Tunggu.... Tampan? Yah.... tak serupawan para model memang, tapi gadis itu masih ingat, kulitnya yang sewarna sawo matang, potongan rambutnya yang selalu cepak demi menyamarkan kekeritingan yang mungkin saja membuatnya tak nyaman memanjangkannya, dan senyumannya yang memikat, manis. Ah, Emma memang tak pernah lupa pada sosoknya yang meskipun tak terlalu tinggi tetapi mampu mengangkatnya, mengawang-awang dan berharap. Dia, yang dengan menyebut namanya saja bisa membuat desir hangat di hati gadis itu, kini kabarnya bukan lagi mahasiswa tapi sudah menjadi pengajar mahasiswa. Seandainya saja dulu tak ada gengsi yang mencegahnya untuk berkata “ya” dan tak ada nama-nama lain yang menginterupsi sehingga mereka berdua bisa berkata berbarengan “baiklah....ayo kita jalani ini bersama!”. Seandainya.......
“Sudah dengar sih dari Tante Maya, tapi memang kami belum pernah bertemu lagi. Nantilah, Om, kalau saya ke sana, sekalian bersilaturahmi dengan dia”. Gadis itu berbohong. Beranikah dia? Tidak. Dia sangsi sesangsi-sangsinya.
“Oh... ya ... Bagus itu. Kami tunggu.”
“Om... kalau begitu, saya tutup dulu ya. Nanti kapan-kapan kita sambung lagi.” Saatnya menghindar agar tak terjatuh dan terperosok lebih dalam.
“Baiklah. Salam sama semua yang di sana ya. Assalamu’alaikum”.
“Iya, Om. Salam juga untuk yang di sana. Waalaikumsalam.” Telepon ditutup. Gadis itu menarik napas panjang. Huuuffftttt....... Kepalanya tiba-tiba pening. Dipijitnya keningnya. “Tidak.... Jangan! Aku selalu punya saran untuk menenangkan orang-orang galau yang datang padaku. Ini jadi tidak lucu ketika aku sendiri yang mengalaminya tapi tak mampu berbuat apa-apa,” bisiknya dalam hati.

                                                                   *****      *****

Ronan Dewanto. Sebenarnya Emma Anindyia sudah tak asing lagi mendengar nama pemuda itu. Namanya acapkali menjadi bahan eluk-elukkan di keluarganya. Ronan yang smart, yang diterima di salah satu perguruan ternama di kawasan Indonesia timur, UNHAS. Ronan yang lowprofile. Ronan yang ramah. Ronan yang bla...bla...bla...   Emma mengenal sosok pemuda itu dari cerita tante, paman dan kerabat mereka lainnya. Ronan dan Emma memang masih terhitung sebagai kerabat. Tapi keduanya belum pernah bertemu. Sebelum pertemuan pertama mereka, Emma masih menganggap Ronan hanya sebagai salah satu kerabatnya. Tak ada yang istimewa dengan itu. Sudah tidak heran lagi, ketika kumpul bersama ada satu orang yang menjadi on the spot, dan dikeluarganya Ronan inilah orangnya.
Sampai tiba hari itu. Ronan yang kuliah di kota tempat keluarga Emma tinggal, pulang ke kotanya untuk libur lebaran. Emma yang kuliah di kota tempat keluarga Ronan tinggal dan sedang tak pulang kampung, berkunjung ke rumah Ronan dalam rangka silaturrahim. Di sanalah Emma melihat Ronan untuk pertama kalinya. Jika memang cinta pada pandangan pertama itu ada, mungkin Emma mengalaminya. Gadis itu melihat sesuatu yang berbeda pada Ronan. Dan entah mendapat kekuatan dari mana, gadis itu menjelma menjadi tak ubahnya detektif wanita on duty. Dia berusaha mencari tahu segala sesuatu yang lebih spesifik berkenaan dengan Ronan. Bukan hanya dari sepupu dan kerabat-kerabat lain yang seumuran dengannya, gadis itu bahkan berhasil mendapatkan nomor telepon Ronan dari ayah Ronan sendiri. Ketika anaknya adalah sasaranmu, maka orangtuanya adalah umpan yang paling ampuh. Emma telah terlebih dahulu dekat dengan keluarga Ronan. Namun, karena mereka berkuliah di kota yang berbeda, umpan yang dilemparkan Emma tidak mampu menarik Ronan untuk menjumpainya.
Berhentikah gadis itu sampai di situ? Tidak. Gadis itu tak kehilangan ide. Dia memberanikan diri menghubungi Ronan setelah terlebih dahulu menyiapkan skenario tentang seseorang yang menghubungi nomor yang keliru, salah sambung. Kali ini Emma berhasil. Ronan menanggapinya. Berkirim dan berbalas pesan berlangsung lumayan sering. Emma merasa mempunyai kesempatan untuk berharap. Pada liburannya, Ronan berjanji untuk menemui gadis itu. Serasa menemukan oase setelah berhari-hari berjalan di tengah padang tandus tanpa tahu akan berujung dimanakah perjalanan itu, Emma menantikannya mewujudkan janjinya. Setelah kepulangannya dari jadwal kuliahnya yang padat di kota lain, Ronan kembali ke kotanya. Mendengar kepulangannya, selama 3 hari berturut-turut, dari waktu dimana senja mengantar mentari tuk rebah sejenak, digantikan rembulan, sampai denting jam dinding berdentang 9 kali, seperti yang dijanjikan Ronan sebagai saat dimana mereka akan bertemu, Emma duduk dalam penantiannya yang resah, berharap sebuah ketukan di pintu dan Ronan ada dibaliknya demi memenuhi janjinya. Namun, tak satupun dari ketiga hari itu, tak sedetikpun dari waktu yang dijanjikannya itu yang sanggup mengantar Ronan mengetuk pintu dimana dibaliknya lah Emma telah menunggu. Satu-satunya yang berani dilakukan pemuda itu adalah mengirimkan berbagai alasan kebelum-hadirannya lewat pesan-pesan singkat yang terbaca di layar ponsel Emma. Sementara itu, bulir-bulir embun yang menggantung di kelopak mata gadis itu ketika membaca kata “maaf” di layar ponselnya, terlalu sesak untuk tak membuncah keluar namun juga terlalu malu untuk mengalir, menjadi penanda ada luka yang belum ingin diakuinya, bahkan sebelum dia membaca keseluruhan pesan yang tertulis di sana. Dia tak butuh alasan. Kata maaf saja sudah cukup untuk menandai ketidakseriusan Ronan untuk menepati janjinya. Itulah yang terpikir olehnya. Terluka kah gadis itu? Tidak. Emma tak boleh merasa telah dilukai karena Ronan memang belum menjanjikan apa-apa selain kedatangannya yang bukanlah urgensi.
Sehari sebelum kepulangannya untuk kembali ke kota tempatnya kuliah, Ronan akhirnya benar-benar datang ke rumah Emma. Bukan untuk menepati janjinya yang lalu, lebih karena Emma punya alasan lain yang berhasil membuatnya datang. Gadis itu, di pagi sebelum mentari menyapa embun yang membuatnya mengering, sirna,  telah mengirimkan pesan untuk Ronan. Sebuah pesan, permintaan tolong. Emma bertanya apakah Ronan keberatan jika gadis itu menitipkan sesuatu padanya untuk disampaikan pada adiknya. Ronan menyatakan kesediaannya mengantar titipan itu. Dan di sanalah dia, berbincang beberapa menit dengan Emma. Pemuda itu tak menyadari, betapa beberapa menit itu berarti beberapa bulan bahkan tahun untuk gadis itu. Setidaknya Emma mempunyai simpanan kenangan tentang perbincangannya dengan Ronan jika dia dan pemuda itu tak lagi bertemu untuk waktu yang lama. Yah... Ronan selalu mempunyai alasan untuk menghindari pertemuan dengan Emma namun Emma menolak untuk menyerah untuk membuat Ronan datang menemuinya.
Ketika kau jatuh cinta, kau hanya punya satu alasan mengapa kau ingin selalu berada di sisinya, ya karena kau tak bisa jauh darinya. Dan seribu satu ketidakmungkinan yang siap menghadangmu untuk tak menemuinya tak pernah cukup untuk menjadi alasan untuk mu tuk mengatakan “tidak” ketika dia bertanya padamu “bisakah kau menemuiku sekarang?” Kau selalu di sana.

*****      *****

Ronan kembali ke kota tempatnya kuliah. Emma masih menggantungkan harapan yang sama. Gadis itu masih rajin menanyakan kabar Ronan lewat pesan-pesan singkat. Berkirim dan berbalas pesan dengan Ronan sudah menjadi ritual bagi gadis itu. Namun, beberapa bulan kemudian, nomor Ronan tak dapat lagi dihubungi. Penjelasan yang sampai pada Emma adalah, Ronan ternyata telah mengganti nomor ponselnya. Setidakpenting itu kah dia di mata Ronan sampai pemuda itu pergi tanpa terlebih dahulu pamit padanya? Dia mulai kehilangan harapan. Harapan yang dulunya terpampang 30 cm jaraknya di depan matanya, kini mulai mengabur, nge-blurr. Emma tak lagi yakin apakah dia masih punya kesempatan untuk mewujudkan harapannya itu.
Serasa bermandi ratusan kelopak mawar merah di depan Menara Eiffel, itulah yang dirasakannya ketika di suatu hari di tahun 2006, kurang lebih setahun setelah Emma kehilangan kontak dengan Ronan, dia mendapat nomor telepon Ronan yang baru dari seorang kerabat. Gadis itu, melalui pesan-pesan singkat yang dikirimkannya untuk Ronan, dia berusaha sekali lagi menuliskan harapannya. Sayangnya, respon yang didapatkannya dari Ronan tak sehangat yang diharapkannya. Kecewa. Emma pun menyerah. Gadis itu tak lagi berani berharap pada Ronan.
Akhirnya, dia menerima perjodohan yang diatur oleh temannya. Dengan hati yang masih separuhnya untuk Ronan, dia menerima seseorang bernama Arya sebagai kekasihnya. Emma tak bermaksud menjadikan Arya sebagai pelarian, toh sebelum Arya memintanya benar-benar menjadi kekasihnya seperti yang disarankan teman Emma, gadis itu telah menceritakan perihal Ronan padanya. Namun Arya sepertinya tak ambil pusing dengan hati Emma yang masih tertambat pada seorang Ronan. Pemuda itu tak keberatan. Mereka pun menjalani hubungan selama 1 tahun sampai akhirnya Emma mengetahui bahwa ternyata Arya bermain dibelakangnya. Arya yang ketahuan selingkuh mencari pembenaran akan keputusannya menduakan Emma. Dia beralasan bahwa gadis itu ternyata benar-benar belum bisa menjauhkan dirinya dari kenangan Ronan. Kalau Emma bisa membagi hatinya, maka gadis itu tidak berhak marah ketika Arya pun memutuskan memiliki kekasih lain. Emma tetap saja merasa dikhianati sampai pada puncaknya gadis itu meminta Arya memutuskannya.
Emma benar-benar terluka. Setelah rasa yang ditawarkannya pada Ronan tak bersambut, dia kembali harus merasakan perih diduakan Arya. Dia merasa harus membalas dendam. Entah pada siapa. Yang pasti dia merasa harus melakukan sesuatu demi meringankan beban di hatinya. Untuk itu, Emma kembali mengiyakan ketika sahabatnya sendiri, Kak Randy, memintanya tuk menjadi kekasihnya. Di saat yang sama ketika dia menjalani hubungan itu dengan Kak Randy, dia pun membuka hati pada seseorang di belahan lain dunia lewat chatting di YM. Seseorang itu bernama Pierre, pemuda dari Perancis.  Sosok Pierre inilah yang memperkenalkannya dengan Perancis sampai akhirnya Emma tergila-gila dan terobsesi pada segala sesuatu yang berbau Paris. Sementara itu, hubungannya dengan Kak Randy hanya mampu bertahan kurang dari 1 tahun. Terlalu banyak ketidakcocokan yang ditemukan Emma pada sosok yang sebenarnya adalah sahabatnya itu. Mereka mungkin memang ditakdirkan hanya sebagai sahabat, bukan yang lain. Akhirnya mereka pun sepakat untuk tak lagi menambahkan kata kekasih  sebagai embel-embel penjelas pada nama mereka. Mereka kembali menjadi sahabat.

*****      *****

Rasanya yang tak bersambut, kisah pengkhianatan Arya dan keinginannya untuk membalas dendam ternyata berdampak buruk bagi kuliahnya. Emma tak dapat berkonsentrasi pada pelajaran-pelajaran di kampusnya. Nilainya anjlok. Gadis itu benar-benar butuh rehat. Akhirnya pada pertengahan 2009 dia mengajukan cuti pada kampus tempatnya kuliah. Emma memutuskan untuk kembali ke kotanya.
Di tengah usahanya menata hati, Ronan kembali muncul. Kedatangannya yang tiba-tiba, meminta sebuah kesempatan untuk mencoba membuat Emma bimbang. Gadis itu ragu takut kalau-kalau hatinya akan berakhir sama, terluka. Namun, Emma juga tak dapat memungkiri bahwa rasa itu masih ada. Diapun menyetujui untuk memberikan kesempatan kedua untuk Ronan. Dan sekali lagi, Ronan berjanji akan menemuinya di rumah. Emma mendapat suntikkan semangat yang sama besarnya seperti ketika pertama kali Ronan berjanji menemuinya. Gadis itu seperti tak kenal lelah, dia menyapu, mengepel lantai, melap kaca jendela dan apa saja yang berpotensi ternoda debu, menyiapkan cemilan, membantu ibunya menyiapkan makanan, dan berdandan sejak pagi. Sebenarnya Emma tidaklah serajin itu. Semuanya dia lakukan semata-mata hanya untuk menyambut Ronan. Namun, sekali lagi, Ronan menyia-nyiakan kesempatan yang diberikannya. Gadis itu harus kembali menelan kecewa ketika sampai pada jam 8 malam, waktu maksimal untuk berkunjung, Ronan tak juga muncul. Pada akhirnya yang datang hanyalah another reason yang disampaikannya lewat telepon. Emma terluka sekali lagi, namun yang ini terasa lebih perih dari yang sebelumnya. Dia memutuskan meluapkan kekesalannya via YM, mengobrol sepanjang malam dengan Pierre, pemuda dari Perancis yang belum pernah ditemuinya. Namun kesal itu  masih ada. Ronan tak pernah datang sekalipun setelah kejadian itu. Perasaan tak dianggap itu terasa jelas sudah. Emma benar-benar menyerah sekarang. Hanya saja dia menolak tuk menghabiskan harinya dengan meratapi kemalangannya. Dia memutuskan untuk kembali melanjutkan hidupnya, melanjutkan kuliahnya.
Sekembalinya ke kampus, Emma yang tinggi semampai, dengan rambut hitam sebahu yang berkilau ketika ditimpa cahaya mentari, serta mata yang melankolis dengan tatapan mengintimidasi, sebuah perpaduan yang menarik, tentu saja tak butuh berapa lama untuk membuat seseorang bernama Saka ingin mengenalnya lebih jauh. Gadis itupun tak keberatan untuk kembali membuka hati. Luka hatinya mungkin belumlah mengering, tapi itu bukan alasan yang bisa dijadikannya sebuah pembenaran untuk menutup hati. Emma mengizinkan Saka untuk membuktikan seberapa ingin pemuda itu menjadi kekasihnya. Dan usaha Saka tak sia-sia. Emma menghargai usahanya dan menerimanya sebagai kekasihnya.

*****      *****

Di tengah hubungannya dengan Saka, Emma mendapat kabar bahwa Ronan datang mencarinya ke rumahnya. Ronan mengira gadis itu masih berada di kota yang sama dengannya. Emma tak bisa menebak apa yang diinginkan pemuda itu lagi darinya setelah berkali-kali kecewa yang diberikannya. Ronan terlalu tidak jelas. Dia tak ingin lagi berharap pada satu-satunya yang bisa ditawarkan olehnya, ketidakjelasan.
Namun ketika bulan puasa tiba, di tahun 2010, Ronan yang sedang berlibur, pulang ke kotanya, kembali menghubungi Emma. Ronan meminta waktu Emma untuk bertemu. Emma yang masih terluka atas semua ketidakjelasan yang ditawarkan Ronan entah mengapa menyanggupinya. Masihkah pengharapan Emma untuk Ronan?
Malam itu, tak seperti sebelumnya, Ronan memenuhi janjinya, dia benar-benar datang. Diajaknya Emma menikmati malam yang dihiasi lampu-lampu Tumbilotohe. Sesampainya di pinggir Danau Limboto, Ronan meminta Emma duduk di sampingnya di antara perahu-perahu tua. Ada jeda yang lama yang melingkupi mereka. Tanpa kata. Mereka hanya saling berdiam diri, bergantian mengamati satu-satu perahu yang tertambat di sana.
“I went to your house couple of months ago,” Ronan akhirnya membuka obrolan setelah 10 menit  kebekuan yang tercipta. Matanya masih menatap perahu-perahu tua itu.
“Hhhmmm... Ya...” Hanya itu yang sanggup terucap dari bibir Emma. Tangannya saling meremas, resah.
“I thought your still there. That day..... I wanted to tell you something....”   Tatapan Ronan beralih pada jemari Emma yang masih saling meremas.
“Yah... I came back here to continue my study...” jelas Emma masih dengan keresahan yang sama.
Ronan memperbaiki posisi duduknya. Diraihnya tangan Emma, digenggamnya. Gadis itu tak berontak. Dibiarkannya kedua tanggannya berada dalam genggaman Ronan. Ditatapnya gadis itu. Sementara pandangan gadis itu sendiri tak sejengkalpun berpindah dari perahu-perahu tua dan riak-riak kecil di danau. Sebenarnya gadis itu tak berani menatap pemuda di hadapannya ini. Dia sibuk menata debaran jantungnya, dia sendiri mampu mendengarnya. Apakah Ronan juga bisa? Bukankah itu memalukan?
“I was little bit upset when I couldn’t find you there.”
“Why?”
“Because I can’t wait. I really need to  ask you.......”
Deggg..... Degggg..... Deggggg...............
“Would you please...........” Ronan berhenti sejenak “be my girlfriend?”.
Emma serasa beku. Serasa dihujani beratus-ratus ice cube, tubuhnya kaku.
“My family likes you. And...... I’m sure your family will give me their blesses too. So......... As our family wish. I would like you to be my future wife. What do you think?”
Slide-slide yang memutar kenangan ketika Ronan pertama kalinya berjanji padanya, membuatnya menunggu lalu mengingkarinya, saat dimana dia mengetahui perselingkuhan Arya dengan menggunakan Ronan sebagai pembenaran, lalu sewaktu Ronan datang kembali hanya untuk membuatnya kecewa untuk kedua kalinya. Ronan... Ronan... Ronan... Bukankah semua yang terjadi padanya hanya karena dia terlalu berharap pada pemuda ini? Sejak 2005 sampai sekarang, 2010. 5 tahun. Pemuda ini perlu waktu 5 tahun untuk memintanya seperti ini? Hanya untuk seorang Ronan, tanpa dia inginkan, dia harus merasakan tidak jelasnya tergantung. Lalu jawaban seperti apa yang harus diberikannya pada Ronan? Perih dari lukanya kembali terasa. Slide terakhir yang muncul adalah kebersamaannya dengan Saka. Yah... Dia sudah bersama Saka sekarang. Pemuda ini sudah terlambat.
“Sorry....,” Emma menarik tangannya, melepaskannya dari genggaman Ronan. “I can not!” lanjutnya sambil berdiri. Gadis itu membelakangi Ronan. “Please....take me home. I wanna go home now!”
Ronan menarik napas pelan dan berat sebelum akhirnya berdiri, mensejajari Emma, berdiri tepat di sampingnya. “Ok... I’ll take you home. Come on!”
Tak ada kata. Lampu-lampu di sepanjang jalan mengawal perjalanan yang berlalu dalam kebisuan itu. Lalu setelah 20 menit berjalan, tibalah mereka pada sebuah jalan berbatu. Sunyi. Hanya diterangi remang dari lampu-lampu jalan. Ronan mengajak Emma istirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan ke rumah gadis itu yang masih menyisakan waktu sekitar 15 menit lagi untuk sampai. Ronan mengajaknya duduk di batu.
“Will you fasting tomorrow?,” tanya Ronan memulai percakapan.
“No... I won’t. I get my pregnant....”, jawabnya tanpa menyadari ucapannya.
“Sorry.... Pregnant?” Ronan mencoba memastikan bahwa dia tidak salah dengar.
“What? Pregnant? Did I say that word?” Emma menyadari kekeliruannya. Pipinya menyemburat merah. Dia benar-benar grogi dihadapkan pada situasi seperti ini. Kegugupannya tak berdaya menyortir kata yang seharusnya terlontar dari mulutnya. Malu. Berharap gelapnya malam akan menelannya, membuatnya tak kasat mata. Hhhuuuffftttt... Andai saja.....
“I heard that word too...” Ronan tersenyum.
“What I meant to say was – I got my period-” jawab Emma sembari berharap itu akan mengurangi rasa malunya. Tak berhasil. Dia terlanjur menunjukkan betapa groginya dia.
“It’s Ok. I know. Don’t worry.”
“Hhhmmm.....”
“Emma....,” Ronan menatap gadis di sampingnya yang masih mencoba memanipulasi kegugupannya lewat jari-jemarinya yang masih saling meremas.
“Ya....”
“Is there any possibility....that you will change your mind, and be my girlfriend?”
“Don’t you remember? We are cousins.”
“No. We are not. We are just relatives,” sanggah Ronan. Dia masih berusaha meyakinkan Emma. “Don’t you know that our big family want us to be together?”
Emma terdiam. Jari-jemarinya basah kini. Keraguannya atas kesungguhan Ronan semakin nyata. “Jadi, mungkinkah semua yang kau katakan sekarang hanya karena dorongan keluarga? Bukan karena kau benar-benar menginginkannya? Begitukah?” bisik batinnya. Gadis itu semakin terluka. Pemuda yang dinantikannya selama bertahun-tahun datang padanya bukan karena gadis itu benar-benar berarti untuknya tapi karena keluarganya mengharapkannya bersama gadis itu. Bisakah dia menerima itu? “Tapi kalaupun dia memintanya dengan hati, akankah aku tega menduakan Saka? Ada Saka sekarang. Aku tahu sakitnya diduakan. Aku tak kan melakukannya. Aku tidak bisa.”
“Emma.... I need your answer.”
“It’s still the same... sorry,” jawab Emma lirih.
Dan.... Sisa malam itu pun kembali diliputi kebisuan. Ronan mengantar Emma pulang. Di sepanjang jalan itu tak ada kata. Selayaknya bibir mereka kaku, dikunci udara malam yang dingin.
   Setelah penolakan Emma, Ronan tak lagi menanggapi SMS dan telepon dari Emma. Sepertinya pemuda itu tak terima atas keputusan Emma. Ronan pun menghilang.... Lagi.... Emma mungkin sudah mulai terbiasa. Ronan.... datang.... lalu pergi.. kemudian datang lagi... namun setelahnya menghilang kembali.
Setelah benar-benar  kehilangan kontak dengan Ronan, Emma berjanji untuk tak lagi memikirkan pemuda itu. Dia toh sudah memiliki Saka. Dia mencoba menjadi kekasih sepenuhnya bagi Saka. Dukungan dan motivasi setulusnya dia berikan agar Saka yang tadinya menghabiskan hampir seluruh waktunya di kampus hanya untuk kegiatan aktivis kampus, juga dapat mengimbanginya dengan kegiatan akademik perkuliahan. Emma berhasil. Saka memang masih aktif sebagai aktivis kampus, namun nilai-nilai mata kuliahnya pun bagus. Emma mencoba menikmati kebersamaannya dengan Saka. Gadis itu sedang dalam perjalanan menjemput kebahagiannya, bukan dengan Ronan, mungkin dengan Saka. Sayangnya.... Mungkin Saka juga bukan jalan untuknya meraih bahagia. Hanya dengan alasan bahwa Saka tak lagi menemukan kecocokan dengannya, Saka memutuskannya. Dalam ketakmengertiannya akan alasan Saka, belakangan diketahuinya bahwa sebenarnya Saka sudah memiliki orang lain di sampingnya. Emma terluka untuk kesekian kalinya. Setelah dia membuang kesempatan untuk orang yang dinanti-nantikannya selama 5 tahun untuk seorang Saka, justru pengkhianatan yang dia dapatkan. Dia tidak bisa menerima itu. Gadis itu kembali teringat pada Ronan. Dia menyesal telah menolak pinangan pemuda itu. Jika saja waktu dapat diputar kembali, Emma ingin kembali ke waktu di mana Ronan memintanya menjadi pasangannya. Masihkah ada kesempatan untuknya jika dia memberanikan untuk balik meminta Ronan? Masihkah Ronan menunggu kemungkinan itu, kemungkinan untuknya merubah keputusannya? Terlambatkah dia jika dia memintanya sekarang?
“What if” stands between “hope” and “regret”.

*****   *****

Hello...
Is it me you’re looking for?
‘Cause I wonder where you are
And I wonder what you do
Are you somewhere feeling lonely?
Or is someone loving you?
Tell me how to win your heart
For I haven’t got a clue
But let me start by saying
I LOVE YOU

Setelah perdebatan panjang dengan hati dan pikirannya, Emma memutuskan akan mencoba. Untuk mendapatkan jawaban dia harus mengajukan pertanyaan. Dia berhak tahu apakah dia masih memiiki kesempatan itu, karena ternyata nama Ronan masih menggantung di pohon pengharapan, dan Emma masih menunggu hari dimana harapannya kan dikabulkan. Namun, jikalaupun memang dia tak lagi diperbolehkan untuk berharap, dia ingin mengetahui itu secepatnya.
Diketiknya penggalan lirik lagu lawas milik Lionel Ritchie, Hello, lalu dicarinya nama Ronan di daftar kontaknya. Ditariknya nafas berat dan panjang sebelum dia menekan tombol kirim. Hhhhhhhh..... Sekarang atau tidak sama sekali. Kirim.
Dengan debar jantung yang berpacu, seakan baru saja mengikuti lomba lari marathon 10 kilometer, Emma menatap layar ponselnya, menanti balasan dari Ronan. Selang beberapa menit kemudian.... Ddddrrrrtttt..... Ponselnya bergetar. 1 pesan diterima. Dibukanya dengan pelan pesan itu. Dari Ronan. Disiapkannya hatinya untuk kemungkinan terburuk sebelum dia benar-benar membaca isi pesan itu.
“I’m sorry. I have a girlfriend already.”
Duuuggggghhhhhh........
Seakan dinding di sekelilingnya runtuh dan menimpanya. Untuk sepersekian detik dia merasa sulit untuk bernafas. Dia memang sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk namun dia tidak tahu kalau rasanya akan tetap sama. Sakit. Sesak. Tapi bagaimanapun, Emma bersyukur, dia sudah lega. Dia sudah menemukan jawaban dari pertanyaannya. Meskipun jawaban itu bukanlah jawaban yang diharapkannya, dia harus menerimanya. Diketiknya beberapa kata. Kirim.
“Ok... I’m glad for you then...”
Ronan mungkin memang tidak berjodoh dengannya. Saatnya dia berhenti mengharapkan pemuda itu. Namun....

*****   *****

Memaafkan bukan hanya sekedar kata “ya”, anggukan kepala atau uluran tangan yang menjabat erat yang kau berikan pada seseorang yang memintanya. Memaafkan berarti tersenyum untuk setiap kenangan pahit yang tercipta karenanya. Jika tak mampu melupakan, maka berdamailah dengan kenangannya.

“Kak Emma, kenapa belum siap-siap? Bukannya check in-nya jam 10 pagi ini ya? Ini sudah jam 8 loh.”
Emma mengalihkan pandangannya dari awan putih yang berarak di luar sana. Dari jendelanya yang terkuak, awan putih itu tampak seperti cotton candy. Dia melirik jam dindingnya. Pukul 8 tepat.
“Thanks, Dea. Ini kan tinggal manggil taksi juga.”
Beberapa menit kemudian, dia sudah siap berangkat. Taksinya pun sudah berada di depan pagar rumahnya. Setelah berpamitan pada kedua orang tua dan adik-adiknya, Emma meminta sang supir taksi membawanya ke bandara.
Seingatnya, cinta yang tak sampai berjodoh akan selalu berakhir dengan kebencian. Itu dulu. Tidak untuk Ronan. Bagi Emma, Ronan adalah rasa sayang yang sedang dalam perjalanannya menemukan rumah. 2014. Emma ternyata masih sama. Nama Ronan masih tergantung di pohon pengharapan itu. Dia belum melepaskan ikatannya. Dia berharap kalaupun Emma bukan rumah yang dicari Ronan, dia rela menjadi salah satu persinggahan untuknya kapanpun pemuda itu merasa lelah dan perlu beristirahat. Kapanpun Ronan menoleh ke arahnya, akan selalu ada maaf untuknya. Apakah ini yang dinamakan cinta sejati? Ataukah inilah salah satu kebodohannya yang nyata? Entahlah. Namun yang pasti, meskipun sekarang dia tak ubahnya kemarau yang merindukan hujan, gadis itu tetap menatap satu kertas bertuliskan nama Ronan di sana, masih tergantung di pohon pengharapan.
“Kepada para penumpang...............”
Panggilan di ruang keberangkatan membuyarkan lamunannya. Gerbang pun telah dibuka. Maka di sinilah dia, dengan langkah pasti, Emma bertolak ke suatu tempat bukan untuk melupakan Ronan, hanya mencoba mencari cara berdamai dengan kenangannya. Dan Paris adalah pilihan pertamanya.   
"Untuk mu, aku percaya, jika cinta memang ditakdirkan ada di antara kita, maka cinta itulah yang akan menuntun kita, mencari jalan, menyatukan kita. Di saat itulah aku akan kembali ."