Senin, 01 Agustus 2016

Pejuang ASI

Prolog

Baby Aisy... Usianya belum genap 3 bulan ketika aku menulis curhatan ini. Peri kecil buah cinta aku dan suami yang Alhamdulillah terlahir normal, sehat, tanpa kurang suatu apapun. Terimakasih ya Rabb, Engkau begitu menyayangi kami. PemberianMu ini adalah hadiah terindah untuk pernikahan kami.

Jangan tanya bagaimana rasanya menjadi seorang ibu. Aku tak sanggup menjabarkannya hanya dengan kata-kata. Rasa bahagia ketika pertama kali mengetahui ada bakal makhluk mungil yang bertumbuh di rahimmu, menjadi bagian dari dirimu, dimana apapun yang kau lakukan akan berdampak padanya. Was-was apakah dia akan tumbuh optimal di dalam sana sementara selera makanmu jadi absurd. Takut akan proses persalinan, dimana dari kata-kata mereka yang pernah mengalaminya bercerita bagaimana menyakitkannya. "Apakah aku sanggup?" Namun, ketakutan itu kau singkirkan demi bertemu dengannya, melihatnya, memeluknya dengan tanganmu sendiri. Dan tibalah hari itu. Yah.... benar, prosesnya begitu menyakitkan. Barulah menyadari betapa kerasnya perjuangan seorang ibu.  Ma.... maafkan anakmu ini... :'(

Hari itu hari Sabtu. Sejak pagi badan sudah lemas. Sebagai calon ibu baru, aku belum berpengalaman tentang tanda-tanda akan melahirkan. Di sore hari, tak hanya lemas, perut sudah terasa sangat kencang. Aku masih belum menyadari bahwa sudah saatnya... Kemudian datanglah sang Mama bertanya, apakah aku merasa akan melahirkan. Aku hanya menjawab "Tidak tahu." Namun melihat keadaanku yang tak henti-hentinya berkeringat, Mama yakin bahwa waktu persalinanku sudah dekat. Maka beliau pun berinisiatif menelepon suamiku untuk memberitahunya. Beberapa menit kemudian datanglah sang suami beserta sang mertua dan juga kakak ipar. Aku tak bisa menebak apa yang difikirkan suamiku saat itu. Wajahnya datar, bukan wajah bahagia, bukan pula wajah khawatir. Dia mondar-mandir, tapi tak sampai komat-kamit sih. Ah, atau mungkin dalam hati? Aku tersenyum geli melihatnya, reaksinya, dia malah manyun, bertanya sebab aku tertawa. "Aaaiiissshhh... tampangmu lucu saat ini, lelaki kesayanganku", jawabku dalam hati. Yang menjadi jawabanku untuknya adalah gelengan. Dia beringsut ke sampingku yang tengah berbaring lalu memijat kakiku. Hanya saja pijatan itu tak begitu membantu, aku merasa begitu "aneh" dengan keadaan tubuhku.  Tapi... apapun itu, "Terimakasih untuk pijatan mu waktu itu, Yang" 😃 Sebenarnya saat itu belum ada kontraksi -keadaan dimana perut terasa sangat kencang, sakit sampai menembus punggung- begitu orang menyebutnya. Walaupun demikian, rasanya tetap saja tak karuan. Sehabis Isya aku sudah merasa kesakitan, sudah timbul flek ketika aku mengecek ke kamar mandi. Segera setelah itu, kami berangkat ke rumah sakit. Sesampai di sana, bidan mengecek, mengobok-obok mencari tanda persalinan. Belum ada pembukaan, aku disarankan untuk pulang dulu, kembali ke rumah, beristirahat, menyiapkan tenaga untuk persalinan yang kata bidannya mungkin baru akan terjadi sehari atau dua hari lagi. Kami pun pulang. Tapi malam itu aku tak bisa benar-benar tidur. Rasa sakit itu tak bisa kuelakkan. Akhirnya keesokan paginya, di hari Minggu yang cerah itu aku meminta suami dan ibuku untuk membawaku ke rumah sakit saja. Aku sudah kesakitan. Mungkin bidan punya saran untuk meringankan rasa sakit itu. Sesampainya di rumah sakit sang bidan kembali memeriksa tanda-tanda persalinan. Yap... pembukaan satu. Sesakit ini... dan baru pembukaan satu... Bidan tak memberiku apapun untuk meringankan rasa sakitnya. Harus dijalani. Hhhuuuffff... baiklah... masih ada 9 pembukaan lagi. Semangat!!! Ayo Nak, kita bisa!!! Tapi, rasa optimis itu perlahan-lahan tergerus ketika sampai di jam 9 malam harinya pembukaan hanya bertambah 1 cm. Pembukaan 2 namun rasa sakitnya terasa bertambah 10x lipat dari sebelumnya. Astaghfirullah... Ampuni dosa-dosaku ya Rabb... Semua kata-kata menguatkan dari Mama dan bidan yang membantu persalinanku tak mempan. Rasa sakitnya... TERLALU. Aku hampir putus asa. Dua hari dua malam merasakan sakit. Dalam tangis yang mengiris aku tak henti-hentinya memohon maaf pada Mama dan suami untuk segala khilaf yang pernah kulakukan. Dengan menghiba, -semenghiba-menghibanya- memohon mereka untuk mendoakan kelancaran dan kemudahan proses persalinan. Sang suami yang mungkin tak tega melihatku bergantian, memeluk-mengelus kepala-mengurut punggung, tak juga bisa mengurangi rasa sakit itu. Allahuakbar... Mama menjadi saksi betapa aku kesakitan. Tangannya mungkin saja terasa ngilu akibat genggamanku. Suamiku tak bisa ikut menemani karena hanya akhwat yang boleh berada di ruang bersalin. Akhirnya, di jam 12 malam, optimis itu merangkak kembali, perlahan. Pembukaan bertambah seiring meningkatnya intensitas rasa sakit. Aku tak bisa mengontrol mulutku yang terus-menerus meracau, berharap mengurangi rasa sakit. Tapi ternyata aku masih harus menunggu. Tak ada induksi untukku. Tak boleh. Aku alergi antibiotik, maka mau tak mau aku harus berjuang sendiri tanpa obat-obatan. Namun, karena riwayat asma yang aku punya, bidan akhirnya memberiku bantuan pernafasan, takut kalau-kalau aku tak kuat mengedan nantinya. Sebotol cairan infus pun harus masuk ke dalam tubuhku untuk membantu menguatkanku. Dan... penantian itupun berakhir. Pembukaan 10, sempurna, ketika jam menunjukkan pukul 4 dini hari. Bidan masih sempat mengajariku bagaimana cara mengedan yang benar. Di hari Senin, Baby Aisy lahir tepat ketika Adzan shubuh berkumandang. "Alhamdulillah!". Aku memekik bahagia. Rasa sakit itu terbayar, lenyap tak bersisa ketika melihat badan mungilnya diangkat ke arahku, ketika pertama kali melihat wajahnya. Suara tangisannya seperti nyanyian selamat tidur yang menenangkan. Aku seperti mati rasa ketika sang bidan melakukan pekerjaan terakhirnya, menjahit apa yang sudah "terobrak-abrik". "Lakukan apa saja yang mau Anda lakukan, aku tidak akan bersuara lagi". Sentuhan kulit Baby Aisy di kulitku sudah menjadi antibiotik  alami untukku. Dan akhirnya... Aku punya anak... Yyyyeeaaayy!!!


Sakitnya tuh DI SINI!

Baiklah... sekarang... ini yang coba untuk ku sampaikan...

Sewaktu kuliah, kita akan ditanyai "kapan lulus?". Ketika sudah lulus orang-orang mau tahu kapan kita bekerja. Setelah bekerja kita masih harus menjawab kapan kita menikah. Belum berhenti sampai di situ, setelah menikah orang-orang akan mempertanyakan kapan kita punya anak. Thanks Rabb aku sudah melalui semua pertanyaan itu. Aku pikir aku tak perlu lagi menjawab pertanyaan-pertanyaan serupa itu. Pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya menyakitkan hati mendengarnya karena kita pun sesungguhnya tak tahu jawaban pastinya.

Hanya saja... 

"Kenapa tidak diberi ASI saja? ASI kan yang paling bagus untuk bayi." Yah... inilah yang harus aku jawab sekarang. Bagaimana rasanya mendapat pertanyaan seperti itu? SAKIT. Ibu mana yang tidak mau memberikan yang terbaik untuk anaknya? Jawabannya. Ibu sakit jiwa! Dan aku masih waras. Aku pun berusaha memberikan ASI bagi Baby Aisy. Sehari setelah Baby Aisy lahir, dia harus dirawat di rumah sakit, badannya menguning karena infeksi akibat kekurangan cairan. Aku terluka ketika harus pulang ke rumah sementara dia harus tidur bersama suster di rumah sakit. Aku tak bisa menyusuinya. Mengapa tidak dipompa lalu diberikan padanya? Sudah. Percayalah. Tapi yang keluar hanya seperti setetes embun di pagi hari. Karenanya... itulah perkenalan pertamanya dengan sufor. Dia dirawat selama 2 hari di sana. Seminggu setelah pulang ke rumah,  aku memutuskan untuk menghentikan pemberian sufor padanya. Aku ingin memberinya ASI ekslusif seperti yang seharusnya. Namun, aku merasa ada yang aneh dengannya. Ketika bayi-bayi yang lain akan bertambah besar seiring bertambahnya usianya, dia justru terlihat semakin kecil dan ringkih. Apalagi hampir sebulan dia tidak PUP. 3x ke dokter, dokter tak menemukan kelainan apapun, dia normal. Sejumlah artikel tentang kejadian serupa jadi santapanku di sela-sela waktu aku menyusuinya. Beberapa dari artikel itu menenangkanku ketika sampai pada baris yang menulis tentang kandungan ASI yang bisa terserap sempurna oleh bayi. Beberapa bayi memang mengalami hal itu, tidak BAB selama beberapa hari. Tapi bagaimanapun aku khawatir. Bayangkan, hampir sebulan bayiku belum BAB. Sekali lagi aku dan suami membawanya ke dokter. Ini dokter yang berbeda dari sebelumnya. Ketika pemeriksaan itu, ketika dia ditimbang, aku serasa tertampar. Beratnya hanya 2,6 kg di usianya yang sudah sebulan. Hampir menyentuh garis merah. Gizi buruk. Ya Rabb... Setelah menanyaiku beberapa hal, akhirnya dokter memeriksa ASIku. Itulah sebabnya. ASIku kurang. Tak cukup untuknya. Aku ingin bayiku mendapatkan yang terbaik, tapi jika bayiku harus menunggu ASIku cukup untuknya kemungkinan keadaannya akan lebih buruk lagi. Dia bisa dehidrasi. Dengan terpaksa, Baby Aisy harus disupport dengan sufor tanpa berhenti berusaha memberinya ASI. Aku tak punya pilihan. Semua saran yang ku dengar dari mereka yang prihatin telah ku coba. Mulai dari yang masih sejalan dengan logika sampai yang tak biasa. Suplemen pelancar ASI dari merek A-Z. Pijat Laktasi. Makan kacang asin, sayur jantung pisang, bubur kacang hijau, dsb. Tetap saja ketika dipompa, dari dua PD selama sejam hanya mendapat 20 ml. Tahukah bagaimana rasanya ketika melihat angka itu di botol ASIP yang sudah disiapkan beberapa bulan sebelum kelahiran Baby Aisy? Hancur. Beberapa kali menangis menyesali diri. Stress. Tapi... kalau aku terus terpuruk, apa kabar dengan bayiku? Tolong... jangan cap aku tak berusaha. Aku berusaha. Aku juga pejuang ASI, hanya saja aku mungkin pejuang yang tak bisa merayakan kemenangan karena sudah terlebih dahulu gugur di medan perang.

Epilog

Bukan baju-baju model terbaru atau tas-tas branded juga kosmetik-kosmetik import yang membuatku iri. Aku tak perduli dengan itu. Aku justru merasa nelangsa ketika mendengar seorang ibu yang bercerita tentang sudah berapa botol ASIP yang mampu dia pompa seharian ini untuk bayinya.


I love you "Aisyah"...