Sabtu, 21 Januari 2012

Rasa: Tentang Hati, Otak, dan Mulut

HATI...... Sayangnya dia tak bisa mengungkapkan sendiri keinginannya. HATI terlebih dahulu harus berkonsultasi pada OTAK sebelum mengutarakan RASA yang dimilikinya. OTAK lah yang kemudian menjadi penentu pantas tidaknya RASA yang dimiliki HATI untuk diutarakan atau cukup dibekukan saja. Saat OTAK telah memberikan persetujuannya, maka ia akan mengirimkan sinyal kepada MULUT untuk bersuara agar RASA itu tersampaikan. 
Di saat HATI, OTAK dan MULUT berada di satu garis lurus, menghadap ke arah yang sama, tentu tak jadi masalah. Namun, ketika HATI meminta sesuatu, sementara OTAK tak begitu yakin bahwa HATI betul-betul membutuhkannya, dan MULUT pun bersuara "tidak" meskipun yang sebenarnya ingin dikatakannya adalah "iya", lalu kepada apakah kita akan berpihak?! Pada HATI kah yang selalu jujur namun tak jarang terlalu rapuh?! Pada OTAK kah yang selalu setia menelaah baik buruk, konsekuensi dan resiko dari sebuah keputusan hingga terlalu naif?! Ataukah pada MULUT yang selalu siap menjadi perantara penyampai RASA meskipun tak jarang yang terucap kemudian adalah dusta?! Sulit menentukan pilihan?! Tepat! Yang muncul kemudian adalah keragu-raguan yang bermuara pada sebuah ketidakpastian.


Akhirnya....apakah yang terjadi pada RASA ketika HATI, OTAK, dan MULUT tidak berada pada satu garis lurus, menghadap pada arah yang berbeda?! Maka RASA hanya bisa menunggu di bilik kelam, terkunci, menunggu sampai ketidakjelasan menemukan jawaban pasti. Pertanyaannya kemudian adalah....butuh berapa lama?! Hhhhh...... entahlah. Jika saja RASA tak serumit itu untuk diterjemahkan..... Jika saja HATI tak serapuh itu untuk dihadapkan pada kenyataan.... Jika saja OTAK tak selogis itu untuk disandingkan dengan nurani..... Jika saja MULUT tak segentar itu untuk diminta berkata jujur.... Jika saja..... 


Hei.....tapi bukankah justru di situlah seninya?! Diamnya HATI mengajarkan kita betapa leganya mampu mengungkapkan RASA. Bimbangnya OTAK menentukan pilihan mengajarkan kita betapa bangganya ketika mampu memilih satu. Tak jujurnya MULUT mengajarkan kita betapa indahnya mengatakan kebenaran. Ini adalah proses menjadi manusia seutuhnya. Lalu mengapa tidak kita jalani saja proses itu?!