Sabtu, 13 April 2013

Aku, Dia dan Mereka (Ketika Introvert Menjadi sebuah Kesalahan)


Duniaku adalah dimana lembaran-lembaran novel bertransformasi menjadi sebuah lokomotif yang membawaku pada sebuah petualangan. Duniaku adalah dimana cokelat dan es krim menjelma menjadi dopping pembangkit semangat. Duniaku adalah dimana denting jam terlalu lemah untuk terdengar sehingga tak perlu peduli pada waktu. Duniaku adalah dimana gelap dan keheningan menjadi teman yang paling menyenangkan justru ketika aku ingin sendiri. Duniaku adalah dimana aku setiap harinya menghabiskan separuh waktuku, tempat yang kan selalu menerimaku tanpa syarat apapun, tempat untuk ku pulang. Tanpa ragu kan ku titipkan peluh dan keluh ku di pintu depannya, dijaga oleh sebaris kata “Jangan diganggu, sedang istirahat!”. Dan di dalamnya aku akan kembali menjadi aku; tersenyum pada bait-bait lagu yang mengalun bahkan terkadang berjingkrak seolah setuju akan setiap melodi yang terdengar; terkikik dan tersedu, kadang bergantian namun tak jarang pula bersamaan, karena tulisan-tulisan penuh imajinasi yang terbaca dari lembaran-lembaran inspirasi yang mampu membuatku betah tanpa peduli pada waktu; berterimakasih pada rasa pahit cokelat yang menawarkan sensasi rasa manis di akhir sebagai hadiah bagi yang bersabar dan menikmati prosesnya meleleh. Dunia ku adalah dunia dimana ada aku, bait-bait lagu dan melodi, lembaran-lembaran novel serta batangan-batangan cokelat. Ku pikir tak ada yang salah dengan itu.
Siapapun bebas menentukan dengan cara apa dan bagaimana dia menciptakan kenyamanan dan kebahagiaannya sendiri. Karena bahagia itu relatif, maka beginilah bahagia menurut versi ku. Aku lebih betah menyimak orang-orang disekelilingku bertukar cerita. Wujudku memang menjadi bagian dari mereka, namun tidak untuk cerita-ceritaku karena mereka adalah konsumsi terbatas. Satu-satunya keahlian ku adalah tersenyum sebagai sebuah penghargaan untuk mereka yang telah berbagi. Selebihnya, aku akan sibuk menebak-menebak apa yang ada dipikiran mereka melalui ekspresi yang hadir secara spontan bersamaan dengan kalimat-kalimat panjang yang terlontar dari mulut mereka yang selalu menimbulkan tanya untuk ku “bagaimana mungkin mereka bisa merangkai kata dan mengeluarkannya selancar itu sementara aku akan tersendat  bahkan pada kata ya atau tidak, lalu harus puas diakhiri dengan gelengan, anggukan, deheman, atau gumaman?!”. Adalah sebuah pencapaian tersendiri bagi ku ketika aku mampu mengutarakan apa yang ku pikirkan secara lisan walaupun hanya dalam sebuah kalimat pendek dan sederhana. Dan ketika aku sudah merasa lelah lebih ke bosan, aku pun pamit undur diri. Hilang. Sekali lagi, ku pikir tak ada yang salah dengan itu.
Lalu tibalah pada suatu saat dimana aku harus meninggalkan beberapa bagian dari duniaku. Untuk beberapa lama, tak kan ada pintu tuk kutitipi peluh dan keluhku. Mungkin pula tak ada lagu dan melodi, tak juga ada lembaran-lembaran novel. Ada resah memang, namun aku mencoba tuk tetap tenang, “ini hanya sementara,” bisik ku pada otak ku sendiri yang sedang sibuk menghalau pikiran-pikiran negatif yang melemahkan ketenanganku yang juga masih ragu. “Lalu kau akan kembali pulang pada pintu itu dimana dipintunya kau kan kembali menitipkan peluh dan keluh, dimana di dalamnya akan ada lagu dan melodi serta lembaran-lembaran imajinasi penuh inspirasi”. Semoga....
Aku dihadapkan pada sebuah keadaan dimana aku harus berkenalan dengan orang baru, tempat baru dan rutinitas baru. Dan kalau boleh jujur, aku tak begitu menyukainya. Sesuatu yang baru selalu membuatku cemas. Namun sebuah proses tak bisa melompat bukan?! Aku menguatkan hati untuk menghadapinya dengan sebuah pemikiran, “Anggap saja aku sedang menikmati beberapa gigitan dark chocolate dengan sensasi rasa pahit pada gigitan awal namun menjanjikan kelembutan dan rasa manis di akhir, dan inilah prosesnya”. Maka di sanalah aku, di sebuah tempat baru bersama orang-orang baru dengan rutinitas baru.
Saat ini aku tak sedang membagi kisah romantis. Ini hanya sebuah penggalan cerita tentang aku dan sedikit juga tentang dia dan beberapa orang lagi yang ku jadikan satu sebagai mereka. Aku yang adalah orang tanpa keahlian berbasa-basi dan berbaur yang lebih senang memamerkan senyum. Dia adalah orang dengan penampilan cuek lebih ke preman karena rambut gondrongnya terkesan urakan. Aku dan dia memiliki satu persamaan, kami jarang berkata-kata. Dan aku boleh dikatakan mensyukuri keberadaannya  karena itu berarti aku tak sendiri. Bisa ku bayangkan, betapa pun orang-orang bijak berkata menjadi berbeda adalah anugerah karena itulah yang bisa membuat seseorang mendapatkan perhatian lebih, tapi aku akan tetap mengatakan menjadi berbeda tak begitu menyenangkan. Aku, tentu saja berbeda dari mereka karena mereka adalah orang-orang dengan kemampuan sosialisasi tingkat lumayan dan pandai bergaul. Kami, yaitu aku, dia dan mereka ditakdirkan tinggal dalam satu rumah.
Awalnya hari-hariku tak sesulit yang ku pikirkan. Aku mengerjakan yang bisa ku kerjakan, lalu beberapa menit meluangkan waktu untuk menjadi bagian dari mereka walaupun hanya dalam bentuk perwujudan karena sebenarnya aku tak lebih dari sekedar perekam yang juga takkan diputarkan hasilnya, sesekali berdiri di teras hanya untuk memamerkan senyum sebagai tanda “bukan hanya ada mereka dan dia tapi juga ada aku” pada orang-orang yang melintas.
Dia lebih beruntung. Dia masih mungkin menciptakan sebuah eksistensi, keberadaannya. Kerja bakti memperbaiki jalan, bermain bulutangkis dan bermain bola tak perlu banyak kata. Cukup ada di sana, bermandi peluh, dia dikenal. Sementara aku.... Bersosialisasi berarti duduk berkumpul di satu titik bersama beberapa ibu dan hasil akhirnya adalah “berita terbaru tentang ini dan itu, si anu dan si itu”. Tak ada yang bisa ku lakukan selain tersenyum. Merasa tak begitu penting mencampuri urusan para tokoh yang terlibat dalam cerita yang dibicarakan, dan belum tentu kebenarannya, dan mungkin saja mereka keberatan menjadi tajuk, membuatku sering kehilangan minat. Rindu pada tulisan-tulisan imajinatif yang bisa membawaku berkelana membuatku serasa menemukan harta karun ketika salah satu dari mereka ternyata membawa beberapa judul yang sepertinya menarik. Setelah mengantongi izin dari yang empunya, aku akhirnya lebih memilih menikmati waktu di dalam kamar terbawa alur oleh cerita imajinasi daripada mendengarkan suara-suara lain yang membuatku berprasangka pada orang yang bahkan tak ku kenal. Lagi-lagi aku pikir tak ada yang salah, maka aku terus seperti itu.
Pada suatu hari... Aku sedang menekuni beberapa lembaran terakhir dari novel yang dipinjamkan salah satu dari mereka itu. Aku bersandar di dinding kamar menghadap tepat di depan pintu dengan novel di pangkuan. Terusik oleh aktivitas di depan kamar yang pintunya terbuka lebar, aku mengangkat pandangan dari tulisan di atas kertas. Mataku menangkap sosok dia dengan pakaian kebesarannya, kaos oblong hitam dan celana jeans warna krem dengan beberapa sobekan di lutut, tangan kanannya memegang sapu. Dia berdiri tepat di depan pintu dan juga sedang menatapku dengan senyum tipis. Dahiku berkerut dan dia berhasil menangkapnya sebagai pertanyaan “ada apa?”. Aku rasa kemampuan inilah yang menjadi nilai tambah bagi orang-orang seperti kami; kami mungkin tak pandai merangkai kata, namun kami cukup ahli menafsirkan ekspresi. Dia menggeleng sebagai jawaban, masih dengan senyum dia berujar, intonasi suaranya lebih kepada bertanya, lirih “Terharu sampai terkadang menangis hanya karena membaca cerita di dalam novel?!”. Tanpa menunggu jawaban dia berlalu melanjutkan kegiatannya, menyapu. Aku terpaku beberapa detik. Setelah tersadar, mataku mengerjap beberapa kali. Refleks, punggung telunjuk kananku terangkat menghampiri sudut kedua mataku. Basah. Aku menghentikan pengembaraanku dalam tulisan-tulisan itu, kembali ke dunia nyata.
“Terharu sampai terkadang menangis hanya karena membaca cerita di dalam novel?!”. Pertanyaan itu membuatku berpikir, mencari jawaban. Lama..... Lalu..... Mungkin karena lisanku tak begitu pandai merangkai kata maka aku tak pernah benar-benar tahu ragam rasa. Ketika berada di antara orang-orang, aku hanyalah wujud yang terprogram untuk memamerkan senyum, berusaha terlihat tegar dan bahagia. Di luar pintuku, tempatku menitipkan peluh dan keluh, aku hanya tahu tentang ketiga hal itu; senyum, tegar dan bahagia. Namun, ketika membaca, aku menemukan defenisi dari setiap rasa yang ingin ku mengerti. Malu, kecewa, sedih dan tangis, terkejut, penasaran, geregetan, tawa dan bahagia, aku mampu merasakannya.  Lalu?! Memangnya kenapa?! Salahkah itu?! Keyakinanku tentang duniaku yang ku pikir tak ada masalah mulai tergerus. Namun aku masih terus menjalani rutenya.
Tapi kemudian aku mulai mendengar omongan-omongan tak bersahabat. Tak pernah terdengar secara langsung memang, tapi justru omongan yang dibelakang itu yang selalu mengganggu apalagi ketika mendengarnya hanya dari balik dinding yang seolah-olah menggemakan rahasia yang tak seharusnya didengar. Aku tak pernah benar-benar tahu apa alasan mereka untuk semua omongan tak bersahabat itu. Mereka tak pernah datang memberi sebuah penjelasan dan aku pun tak merasa perlu untuk menuntut kejelasan itu. Maka cerita ini akan membuat kalian membaca begitu banyak kata mungkin. Karena ini adalah ceritaku, aku hanya dapat mereka-reka dasar dari ketidaksenangan mereka. Dan cerita itu pun berlanjut.... Entah sejak kapan, salah satu dari mereka atau mungkin juga mereka tak suka pada ku dan dunia ku yang mungkin dari tempat mereka berdiri tampak begitu gelap sehingga tak terbaca. Mungkin karena ketidakmampuan mereka untuk membaca itulah sehingga mereka berlaku selayaknya bocah usia dini yang disuguhkan sebuah buku penuh tulisan, mereka tak suka, mereka berontak, tak terima. Dan entah sejak kapan pula salah satu dari mereka atau mungkin juga mereka mulai bertukar cerita, mengeluarkan satu persatu keluhannya dan itu tentang aku. Yang aku tahu, entah bagaimana, tiba-tiba aku merasa asing. Tapi aku, entah karena terlalu tak peduli, terlalu egois atau bodoh, aku tetap memilih rute yang sama dengan sebelumnya.
Tibalah saat itu.... Aku menjadi bagian dari mereka. Aku berada dalam lingkaran yang sama, duduk bersama. Hari itu berlangsung sebuah rapat. Agendanya pasti akan sama seperti agenda rapat sebelumnya, itu dugaanku. Aku masih menjadi sekedar wujud saat salah satu dari mereka, yang memang telah ditunjuk bersama sebagai pemimpin kami, membuka rapat. Basa-basi di awal. Sepuluh menit berlalu, rapat berlangsung memang masih seperti biasa. Namun selanjutnya.... Namaku disebut. Aku tak kan keberatan jika seandainya namaku tak dilabeli dengan keterangan sebagai orang yang tak melakukan apa-apa selama kami berada di rumah itu. Aku yang awalnya hanya mendengarkan sambil menghitung sudah berapa semut di lantai yang hilir mudik di dekat kaki ku mau tak mau mengangkat pandanganku menatap si pemimpin. Aku mengerutkan keningku, tapi tak ada reaksi. Aku lupa kalau si pemimpin bukan dia, si pemimpin adalah salah satu dari mereka. Si pemimpin tak mengerti arti kerutan di keningku. Aku tak kan mendapatkan jawaban dari sekedar memamerkan kerutan di kening.
“Melakukan apa ini, maksudnya?!” Aku bersuara sebagai reaksi sebuah ketidakterimaan atas keterangan penjelas yang mereka tempelkan pada namaku.
Si pemimpin mengatas namakan “kami” mungkin untuk mewakili keberatan-keberatan mereka. “Kamu terlalu sering di kamar, jarang bersosialisasi dengan masyarakat di sini padahal setahu kami justru sosialisasi dengan masyarakat itulah yang menjadi tujuan kita di sini”, si pemimpin berbicara tanpa menatapku, pandangannya jatuh pada tangannya yang sibuk menggulung buku yang seharusnya digunakannya untuk mencatat hasil rapat kali itu.
“Apa pernah aku tidak mengikuti satupun kegiatan yang telah kita tetapkan bersama?! Apa pernah aku berada di kamar saat aku tahu kalian sedang mengerjakan sesuatu?! Apa pernah aku mengatakan keberatan, menolak apa yang kamu tugaskan padaku?!”
“Memang tidak, tapi bukan itu yang menjadi masalah”. Si pemimpin mulai membingungkan. Di awal, si pemimpin, ah, katanya bukan hanya si pemimpin saja sih, tapi mereka, mempermasalahkan aku yang menurutnya, tak melakukan apa-apa selama di sana. Tapi sekarang si pemimpin membenarkan bahwa aku tak pernah sama sekali mangkir dari kegiatan yang memang telah menjadi agenda kami. Kontradiktif.
Aku ke kamar kalau aku yakin kita sedang tidak punya agenda apa-apa. Aku kebanyakan berada di kamar karena memang kita tak punya banyak agenda untuk dilakukan. Apa yang harus aku lakukan di sini kalau kita tak sedang mengerjakan sesuatu?! Menonton kalian main game?!”, aku mulai menyala.
“Maksudnya bukan seperti itu,” satu suara lagi dari mereka, seorang gadis yang juga teman sekamarku, terkesan membela si pemimpin. Pandanganku teralih padanya. Persis seperti si pemimpin, gadis itu berbicara tanpa memandangku. Gadis itu sibuk memainkan jarinya. “Tidak baik kalau kamu keseringan di kamar. Aku juga tidak tahu mau menjawab apalagi kalau orang-orang di sini bertanya padaku tentang keberadaanmu saat aku sedang ngobrol dengan mereka”. Jawaban gadis itu membuatku kecewa. Gadis itu tahu benar apa yang aku lakukan di kamar, membaca novel yang dipinjamkannya padaku. Bagaimana mungkin gadis itu tidak tahu jawaban apa yang harus dikatakannya saat orang-orang menanyakan apa yang sedang aku lakukan?! Dalam hati aku berontak. Jikalau itu yang dijadikannya alasan, aku punya pertanyaan yang lebih masuk akal untuknya. “Sakit apa lagi yang harus ku kambinghitamkan saat orang-orang bertanya mengapa kamu pulang ke kampung lagi untuk kesekian kalinya?!” Kalau gadis itu mungkin saja lupa telah meminjamkan novel untuk ku baca di kamar, sementara aku, aku benar-benar tidak tahu mengapa gadis itu sering sekali mengajukan izin pulang ke kampungnya. Mungkin aku terlalu naif, tapi betulkah hal seperti itu bisa dijadikan alasan untuk menyidangku sebagai seorang yang bersalah?!
Aku berusaha mencari jawaban namun aku hanya mendapati mereka tertunduk, entah mengapa, mungkinkah melanjutkan keisenganku menghitung semut?!  Aku mengerutkan dahi, mencari sosok dia.  Aku menemukannya. Dia tak sedang menunduk seperti yang lain. Dia sedang menatapku. Beberapa detik kemudian dia tersenyum.
 “Sosialisasi apa yang kalian harapkan aku untuk ada?! Ikut sama kalian cowok-cowok main bola?! Atau bergosip dengan ibu-ibu di sekitar sini?!
“Ya setidaknya janganlah terlalu sering di kamar”. Si pemimpin kembali bersuara. Tak ingin memperpanjang masalah akhirnya aku pun menyetujui keinginan mereka tapi itu bukan berarti membenarkan sikap mereka yang telah menempatlkanku pada posisi bersalah. Aku bukannya tidak pernah menyapa orang-orang di sekitar situ, aku tidak pernah berlaku angkuh, aku merasa telah berlaku sopan dan ramah, tapi aku memang tidak betah bercerita ngalor-ngidul terlalu lama. “Kalau kamu bisa, lakukanlah!” Aku berharap dapat mengatakan ini pada gadis itu, tapi, ya sudahlah...
Dengan beberapa pertimbangan, aku pun mengikuti ritme yang mereka inginkan. Aku melakukan pekerjaan rumah yang telah kulakukan secara rutin sejak awal, yang mungkin justru karena rutin itulah mereka tak menganggapnya lagi sebuah konstribusi yang berarti bagi mereka. Atau mungkin aku perlu memberikan pengumuman lewat speaker ketika aku akan mencuci piring dan memasak agar orang-orang tak perlu repot bertanya dan gadis itu tak perlu bingung menjawab?! Sebenarnya aku masih tak habis pikir. Namun aku akhirnya bersedia meluangkan beberapa menit ku di setiap sore untuk mencari dan duduk mengobrol dengan beberapa ibu di sekitar rumah. Yah...walaupun aku hadir hanya dengan senyum, tak lebih.
Aku pikir setelah aku memutuskan untuk mengikuti ritme yang mereka inginkan, semuanya akan baik-baik saja. Tapi ternyata aku salah. Namaku kembali diangkat dalam rapat karena ada seseorang yang memberikan pengaduan. Si pemimpin kembali berbicara dan ternyata gadis itu lah yang mengajukan keberatan. Akibat dari rapat yang pertama, gadis itu merasa telah dimusuhi. Gadis itu merasa asing di tengah-tengah kami. Kami di sini adalah aku, teman sekamarku, serta dia dan teman sekamarnya. Sementara gadis itu membeberkan keberatannya, aku memiliki kesempatan untuk menyusun puzzle, merangkai kata demi kata dari mulut gadis itu, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi. Lalu aku tiba pada sebuah kesimpulan, mungkin “kami” yang dimaksud oleh si pemimpin bukanlah mereka tapi hanya gadis itu dan si pemimpin itu sendiri.
Hubunganku dan gadis itu memang tak lagi bisa seakrab dulu. Aku tak lagi ingin meminjam novel-novel yang dibawanya setiap kali dia kembali dari kampung, betapapun baik hatinya ia menawarkan. Aku tidak tahu kalau ini adalah manifestasi dari dendam akibat kekecewaanku atas perkataannya yang memberatkanku,  tapi aku sadar telah menghindarinya dengan menyibukkan diri melakukan pekerjaan rumah saat gadis itu sedang tak pulang kampung agar kami tak punya kesempatan mengobrol. Dendam, sakit hati atau apapun namanya, aku tak peduli, yang aku tahu, aku hanya punya satu cara untuk menghadapi orang yang telah membuatku kecewa, yaitu menghindar karena berada di dekatnya hanya kan membuatku merasa tak nyaman. Teman sekamarku yang satu lagi pun ternyata bertingkah sama. Sebenarnya dia pun tak sepenuhnya setuju dengan apa yang si pemimpin dan gadis itu katakan tentangku sebelumnya. Apalagi sebenarnya teman sekamarku itu memang telah mengenalku sejak lama. Dibandingkan yang lain, teman sekamarku itu tahu betul kalau aku memang lebih suka berdiam diri di kamar sambil membaca daripada harus berbasa-basi dengan orang yang baru dikenal. Mungkin teman sekamarku itupun tak begitu menyukai tabiatku karena teman sekamarku itu adalah orang yang bertipe sama dengan mereka, pandai berbasa-basi dan bergaul, hanya saja teman sekamarku ini sudah sampai pada tahap memakluminya. Alhasil aku dan teman sekamarku sibuk melakukan pekerjaan berdua, dan membiarkan gadis itu mencari kesibukannya sendiri. Mungkin karena itulah gadis itu merasa terasing.
Maka aku kembali menjadi bagian dari mereka, berada dalam sebuah lingkaran, duduk bersama. Namaku kembali disebut, tapi kali ini aku tak sendiri, nama teman sekamarku juga ikut terseret hanya karena kami selalu melakukan setiap pekerjaan berdua. Hhhuuuufffttt.... Setelah ini masihkah ada sidang karena alasan yang menurutku lebih absurd lagi?! Aku sudah merelakan ruteku berbelok ke ritme yang si pemimpin dan gadis itu inginkan, namun lagi-lagi, keduanya mencari kesalahanku. Apa yang ingin keduanya tahu dengan mengadakan rapat seperti ini?! Jawaban mengapa gadis itu merasa terasing dan dimusuhi?! Apa keduanya lupa agenda rapat sebelumnya?! Ibarat seorang manula yang mencari kacamata yang sudah dipakainya sejak tadi. Aku merasa semua ini menggelikan. Aku mendapati diriku berada diantara dua orang yang begitu lucu tapi sayangnya aku tak bisa menertawakan keduanya. Jika aku tertawa mungkin kedua orang ini akan punya bukti lebih betapa salahnya aku. Aku pun memilih diam. Namun ketika aku diam, teman sekamarku melakukan pembelaan untukku dan dirinya sendiri. Tapi dari yang kuamati betapapun teman sekamarku itu membela diri, si pemimpin dan gadis itu tetap pada kelucuan mereka. Dan ternyata bukan hanya teman sekamarku yang merasa harus bicara, dia yang selama ini hanya menjadi penonton pun akhirnya angkat bicara. Dia mengatakan bahwa dia sebenarnya juga tak sepenuhnya setuju dengan apa yang dikatakan pada rapat sebelumnya oleh si pemimpin dan gadis itu. Teman sekamar dia pun mengangguk-angguk setuju. Tapi lagi-lagi dari pengamatanku, tampaknya si pemimpin dan gadis itu tetap kekeuh mempertahankan kelucuan keduanya. Sampai akhirnya, tensi rapat itu memanas. Intonasi suara yang terdengar tak lagi wajar. Cukup sudah! Daripada semakin panas, aku berdiri tanpa berkata sedikitpun, menarik tangan teman sekamarku, mengajaknya pergi, meninggalkan mereka, kami mengungsi ke rumah salah satu warga yang sangat dengan kami, yang telah kami anggap keluarga. Kami disambut hangat, diberikan tempat untuk tidur tapi aku tiba-tiba rindu rumah. Aku rindu pada kamarku. Aku rindu pada pintu yang selalu jadi tempat untukku menitipkan peluh dan keluh. Aku rindu pada remang dan heningnya kamarku. Aku ingin pulang. Aku tak lagi berminat menertawakan kelucuan si pemimpin dan gadis itu. Aku justru mendapati betapa sedihnya aku. Kurasakan mataku memanas, ada yang berusaha aku tahan namun pertahanan itu runtuh dan aku menangis. “Aku mau pulang...,” bisikku lirih pada teman sekamarku yang kemudian merangkulku. “Sabar, tinggal 2 minggu lagi!,” jawabnya berusaha menenangkan tapi lewat suaranya yang bergetar aku tahu teman sekamarku itu pun menyimpan getir yang sama. Akhirnya kami terisak bersama.
Keesokan harinya, setelah shalat subuh, bapak sang pemilik rumah tempat aku dan teman sekamarku mengungsi mengajak kami mengobrol. Rupanya sang bapak tahu bahwa kami sedang dalam pelarian dari apa yang tidak menyenangkan. Berdua kami menceritakan yang terjadi, dan tentu saja, dengan versi ku dan teman sekamarku. Obrolan itu pun menyadarkanku sesuatu bahwa seorang yang periang dan pandai bergaul memang selalu lebih dapat diterima dibandingkan dengan orang tertutup dan hanya bisa tersenyum sepertiku. Sang bapak bilang kalau sang bapak itu pun sebenarnya tak begitu respect dengan keberadaanku karena aku sering tak terlihat. Karena sering tak terlihat itulah sang bapak juga beranggapan bahwa aku tak pernah melakukan apa-apa. Aku pun menggaris bawahi kata sering. Hari itu bagiku kata sering pun menjadi sesuatu yang relatif. Sering bagimu dan bagiku, serta baginya dan mungkin juga bagi mereka memiliki intensitas yang berbeda dan hadir pada waktu yang tak sama, maka ketika aku, kamu, dia dan mereka bersumpah sering ke suatu tempat yang sama, jangan heran ketika tak satu waktupun kita pernah bertemu.
Hhhhhhhh..... Aku memang punya hak untuk menjadi apa yang membuatku nyaman. Tapi orang lain juga punya hak untuk tak menyukai apa yang menjadi pilihanku. Lalu mengapa aku perlu repot-repot memikirkan cara agar mereka menyukaiku?! Kupikir ketika aku tak bisa menjadikan orang-orang menyukaiku, aku hanya perlu menghargai itu. Aku tak perlu menjadi orang lain. Aku harus tetap menjadi diriku sendiri. Jika aku menyibukkan diri mengikuti apa yang orang lain inginkan untuk ku, maka aku akan kehilangan waktu untuk membahagiakan diriku sendiri. Karena itu, aku memutuskan akan tetap setiap pada duniaku. Selebihnya aku hanya harus mengerti, berempati dan bertoleransi atas ketidaksukaan orang lain akan itu. Akan ada waktu dimana aku harus muncul walaupun hanya untuk tersenyum, bertegur sapa, berbasi-basi. Aku harus tahu, aku adalah bagian dari mereka, seberapa tak terkenalpun aku, tapi aku memiliki wujud dan sudah menjadi kewajibanku untuk memperkenalkan wujud itu agar mereka punya kalimat untuk melabelinya betapapun pada akhirnya aku akan terlupakan.
“Untuk sebuah pertengkaran, menghindar mungkin akan menjadi jalan yang paling aman, namun dalam menghadapi masalah, menghindar tak pernah membuat masalah itu selesai. Kembalilah ke teman-temanmu.”, ujar sang bapak menasehati.
Aku dan teman sekamarku pun memutuskan kembali ke rumah tempat kami tinggal. Aku tak begitu peduli lagi akan apa yang ada di pikiran mereka. Jika mereka tak bisa memaklumi pembawaanku maka aku yang harus menerima dan bertoleransi terhadap ketaksukaan mereka atasku. Itulah yang akan menjadikan aku lebih baik dari mereka. Bukan karena kita berbeda yang akan membuat kita menjadi dikenal namun kemampuan kita untuk menerima dan menghargai perbedaan kita dengan orang lain lah yang menjadikan kita berada satu tingkat di atas mereka.
Aku dan teman sekamarku mendapati rumah itu sepi, keadaan yang terjadi hampir setiap hari di rumah ini. Aku hanya melihat seorang dia sedang duduk menghadap komputer. Dia sedang asyik bermain game. Aku dan teman sekamarku pun masuk ke kamar, di sana tak ada siapa-siapa. Aku keluar lagi. “Mana yang lain?”, tanyaku pada dia.
“Pulang kampung lagi, entah sakit apalagi, tadi malam diantar sama pembelanya”, jawabnya tanpa berbalik. Dia hanya menyebutkan dua orang. Dia tahu kalau aku memang hanya mencari kedua orang itu karena teman sekamar dia pastilah sedang tidur di kamarnya. Teman sekamar dia itu memang tak bisa bangun sepagi ini.
Lalu....
“Sarapan apa hari ini?!”
Aku terkekeh, dia berbalik. “Bagaimana kalau nasi goreng?!
“Ok,” jawabnya dengan senyum.
Dua minggu... Dua minggu adalah waktu yang tersisa untukku bertoleransi pada kelucuan dua orang yang tak bisa memaklumi duniaku. Dan aku pikir aku akan baik-baik saja, harus baik-baik saja karena dua minggu lagi aku dapat kembali seutuhnya pada duniaku dimana hanya ada aku, bait-bait lagu dan melodi, lembaran-lembaran novel serta batangan-batangan cokelat.
 


      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar